Indonesia
Tanpa Google, Kenapa Tidak
Maulana Akbar ; Peneliti Kebijakan Iptek
Pusat Penelitian Perkembangan
Iptek, LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
18 Januari 2017
DALAM
beberapa bulan terakhir perusahaan daring raksasa asal Amerika Serikat, yaitu
Google Inc, bersitegang dengan pemerintah Indonesia dalam masalah perhitungan
pajak. Google dianggap tidak memenuhi kewajiban membayar pajak atas kegiatan
usaha yang selama ini berjalan di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Google
bisa saja dikenai nominal pajak dan denda sebesar Rp400 triliun.
Hal
tersebut merupakan satu dari gugusan usaha pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan dari sektor pajak. Tidak pandang bulu, dari perseorangan hingga
perusahaan raksasa dituntut untuk membayar kewajiban pajak mereka, atau akan
denda berlipat-lipat. Sejauh ini kebanyakan perusahaan mempan, tapi belum
dengan Google. Sejak didirikan Larry Page pada 1998, Google telah menjadi
perusahaan raksasa dengan pendapatan sebesar US$66 miliar (2015). Bahkan
majalah bisnis ternama, Fortune, telah menobatkan Google sebagai daftar
perusahaan terbaik dalam 10 tahun terakhir, dengan tujuh kali di antaranya
menempati posisi nomor satu.
Selain
itu kekuatan Google dalam industri daring makin kuat dengan pengembangan
bisnis yang begitu masif. Kini lini bisnis utama mereka bukan hanya mesin
pencari, tetapi sudah melebar pada produk surel, peta digital, sistem operasi
(android), dan banyak lainnya. Bahkan Google terus membuka peluang dengan
melakukan banyak inovasi untuk terus menguasai peluang bisnis teknologi di
masa depan.
Prestasi
tersebut bukanlah hal yang janggal, karena tiap tahunnya di Indonesia pun
Google hampir selalu menempati posisi teratas dari laman yang sering diakses
masyarakat Indonesia. Bahkan kata googling sudah menjadi kata yang lumrah
untuk merepresentasikan aktivitas mencari sesuatu dalam daring.
Ketergantungan masyarakat Indonesia pula begitu tinggi dengan produk-produk
Google lainnya, seperti, perangkat mobil pintar (OS Android) yang
terintegrasi pada aplikasi buatan Google, yaitu surel (gmail), video
(youtube), penerjemah, dan lainnya.
Hemat
penulis, ada dua sisi mata uang yang menarik dilihat. Pertama adalah Google
masih enggan melepas pasar Indonesia yang begitu potensial. Mengingat
pengguna internet di Indonesia terbesar ke-12 di dunia dengan jumlahnya 50
jutaan (2016). Di sisi lain, Google seakan keberatan menyepakati kewajiban
pajak atas usahanya di Indonesia. Padahal jumlah pajak di Indonesia bukanlah
perkara sulit apabila dibandingkan keuntungan dan pasar yang potensial di
masa depan.
Angkat kaki
Preferensi
yang khalayak harapkan adalah Google menyepakati nominal dan tunduk atas
peraturan dalam negeri, terutama dalam hal pajak. Lalu bagaimana apabila
mufakat tidak terjadi? Ketegasan Indonesia sangat penulis tunggu dalam
perkara ini. Apabila Google masih tetap besar kepala, mestinya pemerintah
sudah dapat memberikan kebijakan yang tegas, Google dipersilakan angkat kaki
dari Indonesia.
Angkat
kakinya Google dari Indonesia sangat wajar dipandang kecewa oleh khalayak.
Sebabnya adalah ketergantungan akan produk Google telah banyak memengaruhi di
banyak sektor, terutama bisnis-bisnis yang kecil ataupun besar yang
berafiliasi. Itu menjadi perkara utama, belum yang lainnya. Namun, hemat
penulis ada dua hal yang bisa menjadikan keuntungan bagi Indonesia apabila
kita meniadakan Google di dalam negeri.
Pertama,
adalah memberikan kesempatan untuk berkembangnya potensi lokal. Berkaca pada
Tiongkok yang sudah lebih dulu melarang perusahaan daring terkemuka seperti
Google, Twitter, Whatsapp, dan Facebook beroperasi di negaranya, berdampak
pada banyak perusahaan lokal yang berkembang untuk menggantikan produk
serupa, seperti Baidu, Wechat, Youku, dan Weibo. Bahkan Baidu mencetak
keuntungan sebesar US$10,25 miliar pada 2015. Hampir 1/6 dari keuntungan
Google karena Baidu hanya kebanyakan beroperasi di Tiongkok.
Untuk
mengembangkan potensi lokal di bidang iptek, pada dasarnya bukan hal yang
sulit bagi Indonesia. Sebenarnya SDM iptek di Indonesia sangat mampu untuk
menyokong berkembangnya industri teknologi saat ini dan masa depan.
Berdasarkan penelitian Pappiptek-LIPI (Indri dkk, 2015-2016), Indonesia kini
punya SDM iptek berjumlah 7,1 juta orang (2014) yang siap dikembangkan.
Kedua,
akan ada kontrol penuh dari pemerintah atas konten-konten yang dilarang.
Misalnya, kita akan lebih mudah membatasi konten pornografi yang mempunyai
definisi berbeda dengan kebanyakan negara Barat. Selain itu masalah yang
akhir-akhir ini muncul, yaitu berita-berita hoax yang tersebar, akan lebih mudah
dibatasi dengan otoritas penuh. Informasi penting lainnya yang terkoleksi
dari daring yang jumlahnya sangat besar bisa dimiliki, disimpan aman, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan negeri dalam pelaksanaan kebijakan dan menjaga
rahasia negara.
Terlepas
dari pandangan penulis, tentunya ada atau tidak adanya Google di Indonesia
mestinya harus turut merubah pola pikir bangsa kita. Indonesia bukan hanya
harus siap menghadapi perkembangan teknologi yang begitu cepat, tapi harus
berani menjadi pemain utama dalam perkembangannya. Karena tanpa kita sadari,
bisa jadi kita terlena dengan eksploitasi teknologi dari asing tanpa mau
untuk menyainginya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar