DNA
Anti-korupsi
Adnan Topan Husodo ;
Koordinator ICW
KOMPAS, 02 Januari
2017
DNA
Anti-korupsi
Adnan Topan Husodo ;
Koordinator ICW
|
Pelaku korupsi sangat beragam, baik latar belakang
pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat ekonomi, identitas yang terkait dengan
SARA, maupun jenis kelamin. Semua keragaman itu tidak ada kaitannya dengan
pertanyaan: mengapa korupsi sangat diminati banyak orang?
Korupsi tak bisa dihubungkan dengan atribut tertentu yang
melekat pada diri individu, terutama dikaitkan dengan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) ataupun jender. Sebagai contoh, jika data dan fakta
menunjukkan lebih banyak laki-laki yang terlibat korupsi, itu semata-mata
karena mereka lebih banyak memegang kendali kekuasaan, baik pada jabatan
publik maupun jabatan di sektor swasta.
Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mempelajari
mengapa orang korupsi. Namun, jawabannya berbeda-beda karena faktor orang
korupsi juga beragam. Oleh karena itu, jurus untuk menangkal atau mencegah
orang melakukan korupsi pun tumbuh dengan berbagai macam preferensi, yang
dikuatkan dengan konsep dan kajian empirik atas fenomena korupsi. Korupsi itu
sendiri merupakan sebuah fenomena yang selama ini didekati secara
multidisipliner, baik dalam perspektif hukum, ekonomi, politik, psikologi,
pendidikan, manajemen, administrasi, governance, akuntansi,
kriminologi, filsafat, sosiologi, bisnis, etika, maupun lain sebagainya.
Ongkos gaya hidup
Meskipun anti-korupsi dan korupsi sebagai obyek kajian
sekaligus kebijakan publik sangat kompleks, bisa dipastikan bahwa setiap orang
yang korupsi itu semua dilakukan dengan kesadaran penuh. Kalaupun ada
segelintir individu yang terjebak dalam praktik koruptif, kasus semacam ini
tidak bisa mewakili gejala umum yang berkembang.
Oleh karena dilakukan dengan kesadaran penuh, penyangkalan
dari terdakwa korupsi yang sering kita dengar dalam persidangan juga pasti
dilakukan dengan kesadaran yang penuh pula. Bahwa, ia sadar jika dirinya
tengah mengelak dari tuduhan.
Korupsi merupakan sebuah praktik yang sulit dianggap
sebagai kejahatan yang hanya sekali dilakukan oleh pelakunya. Kejahatan ini
merupakan praktik yang berkelanjutan, terutama dalam situasi di mana sistem
deteksi atas penyimpangan tidak bekerja secara efektif. Disfungsi pengawasan
internal dan audit internal, tidak bekerjanya mekanisme perlindungan terhadap
peniup aib, buruknya kepemimpinan, pembiaran, mandulnya penegakan hukum,
tiadanya mekanisme stick and carrot atau rewards and
punishments, corporate culture, dan lain sebagainya membentuk sebuah
perilaku menyimpang yang kemudian mendapatkan legitimasi untuk terus
dilakukan.
Asumsinya, orang yang melakukan korupsi untuk pertama
kali, ia biasanya akan meningkatkan standar hidup: dari yang biasa menjadi
sesuatu yang lebih glamour sifatnya. Pada titik ini, mulailah mereka berkenalan
dengan barang-barang mewah, gaya hidup ala selebritas, menggunakan aksesori
dari produk merek ternama, menyekolahkan anak di luar negeri, dan
lain sebagainya meskipun dari perhitungan gaji bulanan yang wajar, pendapatan
resmi itu tidak akan bisa menopang gaya hidupnya.
Alhasil, korupsi kemudian menjadi kebutuhan untuk terus
dilakukan, terutama dalam rangka mempertahankan gaya hidupnya. Tak heran
apabila banyak yang mengaitkan korupsi yang semakin serius dengan masyarakat
yang kian terpesona dengan kapitalisme dan konsumerisme.
Ketika mencapai titik nyaman, tidak mungkin situasinya
dikembalikan ke posisi semula. Gaya hidup yang sudah meningkat membutuhkan
pemasukan yang makin besar. Korupsi kemudian ditempatkan sebagai instrumen
untuk memfasilitasi semua hal itu. Inilah poin di mana korupsi menjadi
sesuatu yang rutin, berkelanjutan, dan dilakukan secara terus-menerus, serta
tidak ada kepastian kapan penyimpangan itu secara sadar dihentikan.
Karakter
Di luar efektivitas sistem pengawasan, sistem pencegahan,
dan aturan hukum, korupsi juga merupakan masalah karakter. Dalam sebuah sesi
pidato, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyampaikan sesuatu yang
singkat, tetapi pesannya sangat kuat. Ia mengatakan, reputasi adalah sesuatu
yang sementara, tetapi karakter adalah sesuatu yang permanen. Ia melanjutkan,
"Di negeri ini (baca: Singapura) kita bisa membedakan dengan jelas mana
orang jujur dan mana orang yang tidak jujur. Karakter Singapura adalah pada
anti-korupsi dan kepemimpinan politik yang sangat tegas melawan
korupsi."
Karakter itu sendiri lahir, dibentuk, dan dipelihara oleh
sebuah proses yang terus terjadi dalam lingkungan sosial, baik di keluarga,
lembaga pendidikan, masyarakat umum, maupun negara. Anti-korupsi bisa
ditempatkan sebagai sebuah karakter, sesuatu yang menjadi fondasi bagi
individu dan masyarakat untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia dan
komunitas.
Oleh karena anti-korupsi adalah bagian dari karakter,
sifat-sifat anti-korupsi tidak mungkin bisa diinjeksi dan bekerja efektif pada
tahap di mana individu atau masyarakat telah memiliki karakter tertentu yang
sangat permisif dengan perilaku koruptif. Kita bisa melihatnya dari banyak
kasus, termasuk dalam perkara di mana AKBP Brotoseno, tersangka kasus
penyuapan, yang dicokok tim Saber Pungli Mabes Polri dalam sebuah operasi
yang berhasil. Brotoseno adalah eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang kembali bertugas sebagai penyidik di kepolisian. Meski pernah
bekerja dalam kultur lembaga yang integritasnya dianggap baik, sebagai
individu yang telah memiliki nilai-nilai tertentu, periode bekerja di KPK
tidak bisa mengubahnya sebagai pribadi yang baru atau berbeda.
Di sinilah membangun karakter anti-korupsi menjadi sangat
penting dilakukan. Korupsi dan pemberantasannya tidak bisa disandarkan pada
lembaga penegak hukum, yang sebagiannya masih terlibat dan terjebak dalam
praktik yang korup. Anti-korupsi sebagai sebuah karakter harus merupakan
sebuah kebutuhan bagi bangsa ini secara keseluruhan, bukan semata tugas hukum
untuk membawa pelakunya ke pengadilan.
Membangun karakter anti-korupsi pada prinsipnya bisa
bermula dari sesuatu yang sederhana, tetapi fundamental. Memulai untuk
mendidik generasi anak-anak kita untuk menghargai hak orang lain di mana pun
ia berada, membangun nilai-nilai kejujuran pada setiap hal dalam hidupnya,
membangun kesadaran untuk patuh terhadap berbagai macam ketentuan yang ada
untuk menjaga ketertiban bersama, bertanggung jawab atas semua perilakunya,
dan berbagai hal yang mungkin sebagian dari kita menganggapnya sebagai
sesuatu yang tidak penting.
Pada suatu kesempatan, saya meminta mahasiswa intern dari
Monash University untuk mencari data korupsi di negaranya, Australia. Ia tak
sanggup memenuhinya. Bukan karena secara teknis sulit dilakukan, melainkan
karena faktanya tidak banyak kasus korupsi yang terjadi di sana. Saya
lanjutkan dengan pertanyaan, mengapa Australia bisa menjadi seperti itu? Ia
tidak bisa menjelaskannya, kecuali dengan jawaban singkat: seperti itulah
masyarakat Australia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar