Antisipasi
Risiko Ekonomi 2017
Ronny P. Sasmita ; Staf
Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional RI
|
JAWA POS, 30 Desember
2016
LANGKAH
pemerintah menunda kenaikan tarif listrik dan BBM tampaknya sangat tepat
sebagai upaya untuk menjaga daya beli masyarakat. Kenaikan harga barang dan
jasa yang diatur pemerintah (administered price) seperti listrik dan BBM
diperkirakan akan memberikan efek domino dan menyeret inflasi. Dampak
buruknya adalah kenaikan suku bunga. Karena itu, kebijakan penundaan layak
dianggap sebagai strategi yang cukup baik untuk mengakhiri tahun 2016.
Sebagaimana
diketahui, komponen inflasi meliputi tiga kelompok barang dan jasa. Pertama
adalah barang dan jasa yang diatur pemerintah. Kedua adalah kelompok pangan
yang harganya kerap fluktuatif dan bergejolak (volatile food). Ketiga adalah
sisanya, semua kelompok barang dan jasa di luar itu atau yang selama ini
dikenal dengan inflasi inti (core inflation).
Jadi,
tekanan inflasi tahun depan selain bersumber dari kenaikan tarif listrik dan
harga BBM, juga berasal dari potensi kenaikan harga pangan (volatile food).
Nah, tahun ini inflasi relatif terkendali karena harga barang yang diatur
pemerintah tercatat tidak naik.
Selain
itu, tekanan inflasi 2017 juga terkait dengan potensi pelemahan nilai tukar
rupiah, sebagai imbas dari kenaikan suku bunga global yang dimotori Bank
Sentral Amerika Serikat (The Fed). The Fed sudah mengisyaratkan kenaikan suku
bunga tiga kali pada tahun depan, yang berpotensi memicu keluarnya arus modal
dari negara pasar berkembang ( emerging markets), termasuk Indonesia.
Fenomena tersebut diperkirakan juga akan menekan kurs rupiah.
Dengan
gambaran seperti itu, semua pemangku kepentingan harus bersinergi untuk
meredam tekanan inflasi pada tahun depan, baik pemerintah, Bank Indonesia,
dan Otoritas Jasa Keuangan. Pemerintah harus mampu mengendalikan harga
pangan, terutama yang kerap bergejolak karena kelangkaan suplai, baik akibat
rendahnya produksi maupun ulah kartel yang kerap mempermainkan harga barang
tertentu.
Sedangkan
untuk mengendalikan inflasi yang bersumber dari pelemahan kurs, pemerintah
harus mengundang sebanyak-banyaknya investasi asing (foreign direct
investment), mendorong asing masuk pasar modal, menggenjot ekspor, serta
membangun industri yang kandungan impornya tinggi. Dengan demikian, arus
modal masuk mampu memperkuat kurs rupiah dan menambah cadangan devisa.
Pendeknya, inflasi tinggi harus dijinakkan, karena bukan hanya menggerus daya
beli masyarakat, tapi juga menghambat perwujudan suku bunga satu digit yang
akhir-akhir ini susah payah diupayakan pemerintah dan Bank Indonesia.
Menjelang
tutup tahun, mayoritas ekonom, lembaga riset, dan lembaga keuangan domestik
maupun internasional memprediksi kondisi perekonomian tahun depan sedikit
lebih baik daripada tahun ini. Memang tidak ada kenaikan yang signifikan
karena mesin dan motor pertumbuhan ekonomi global tampaknya belum terlalu
pulih. Bahkan, tak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa tahun depan
ketidakpastian masih akan menyelimuti.
Demikian
pula Indonesia. Peme- rintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi yang
relatif sama dengan tahun ini, sekitar 5,1 persen. Bank Indonesia
memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar
5,1–5,3 persen. Yang menarik, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia
memiliki optimisme lebih besar daripada pemerintah, yang mematok pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen tahun depan.
Optimisme
kondisi perekonomian tahun depan terutama bersumber dari kekuatan ekonomi
domestik. Konsumsi domestik masih menjadi penopang pertumbuhan utama, sekitar
55 persen. Investasi diharapkan juga lebih baik. Belanja APBN pun relatif
lebih baik daripada tahun ini, khususnya kenaikan anggaran infrastruktur dan
dana transfer daerah. Sedangkan ekspor belum terlalu bisa diharapkan.
Namun,
ada hal krusial yang mengancam perekonomian tahun depan, yakni laju inflasi.
Hal tersebut terkait dengan rencana kenaikan tarif listrik untuk golongan
menengah atas dan pencabutan subsidi bagi jutaan golongan pelanggan kelas 900
VA yang selama ini sejatinya tidak layak mendapatkannya. Pencabutan subsidi
kelompok itu akan menghe- mat subsidi sekitar Rp 20 triliun.
Ancaman
kedua bersumber dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seiring dengan
tren kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. Pemangkasan
produksi yang ditempuh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC)
serta permintaan minyak global yang meningkat adalah pemicu kenaikan
tersebut. Tapi, layak diberi apresiasi, pemerintah tampaknya segera menyadari
bahaya ancaman inflasi.
Presiden
Joko Widodo segera memerintah menteri ESDM untuk menunda kenaikan tarif
listrik dan harga BBM setidaknya sampai Maret 2017. Dengan demikian, harga
BBM bersubsidi dan penugasan tidak bergerak sejak 1 April 2016.
Konsekuensinya,
Pertamina mungkin akan menanggung kerugian sementara. Jika harga minyak
berada pada level USD 50–60 per barel, Pertamina harus nombok jika harga
solar tetap dipatok pada level saat ini, yakni Rp 5.150 per liter. Untuk
harga premium, relatif tidak ada masalah dengan harga jual Rp 6.450 per
liter. Karena itu, Pertamina harus melakukan efisiensi agar tidak menanggung
kerugian lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar