Teror
Istana, Kebangkitan Gender Jihad
Akh. Muzakki ; Guru
Besar serta Dekan FISIP dan FEBI
UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA POS, 12 Desember
2016
PENANGKAPAN tiga orang tersangka bom
bunuh diri dengan menggunakan panci yang berencana meledakkan Istana Negara
oleh Densus 88 (10/12/2016) harus menjadi pelajaran bersama. Khususnya untuk
mendalami pola baru tindak kejahatan terorisme dan pembibitan terorisme.
Tiga tersangka yang ditangkap aparat
adalah Nur Solihin (NS), Agus Supriyadi (AS), dan Dian Yulia Novi (DYN) –nama
terakhir adalah sosok perempuan muda. DYN ditangkap setelah penangkapan nama
yang disebut pertama dan kedua di bawah flyover Kalimalang, Jakarta Timur,
saat mereka mengendarai mobil. Tersangka DYN diamankan kepolisian di rumah
kos milik Bukit Kimangunsong di Jalan Bintara Jaya VIII, Bekasi, Jawa Barat.
Sebagaimana keterangan kepolisian,
tiga tersangka berencana meledakkan bom panci di Istana Negara saat serah
terima ganti jaga Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Bom panci
tersebut memiliki daya ledak tinggi.
Yang menarik adalah keterlibatan
tersangka perempuan DYN yang sangat vital dalam kelompok bom panci itu. Dia
tidak saja akan menjadi ’’pengantin’’ bom panci tersebut, tetapi juga
penyimpan bom yang berdaya ledak tinggi itu.
Meminjam perspektif keilmuan pemikiran
Islam, pelaku tindak kejahatan terorisme kini juga mengadopsi dan
mempraktikkan apa yang disebut dengan gender jihad. Amina Wadud, seorang
ilmuwan perempuan muslim, dalam bukunya Inside The Gender Jihad (2008)
menjelaskan bahwa gender jihad merupakan konsep yang lahir untuk melawan
dominasi laki-laki dalam interpretasi agama.
Selama ini, menurut dia, hegemoni
laki-laki dan hak-hak istimewa yang telah dinikmati mendominasi wacana
intelektual dalam Islam. Akibatnya, perempuan sekadar menjadi objek, bukan
subjek aktif, dalam wacana hukum Islam. Amina Wadud mengembangkan gender
jihad sebagai upaya yang diyakini bisa berkontribusi untuk pengembangan
sistem keadilan sosial yang sesuai dengan semangat keadilan Islam tanpa
mengingkari hak-hak perempuan.
Dalam kasus DYN pada rencana teror bom
panci, keterlibatan perempuan sebagai agensi aktif dalam tindak terorisme
adalah sesuatu yang baru. Sebelumnya, para pelaku tindak kejahatan terorisme
mampu merekrut pria usia muda untuk menjadi pengikut baru hingga
’’pengantin’’ bom bunuh diri.
Tujuh tahun lalu, sebagai contoh,
pelaku tindak kejahatan terorisme masih dalam kategori anak remaja. Dia
adalah Dani Dwi Permana, salah seorang otak pelaku bom bunuh diri di Hotel JW
Marriott dan Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada 2009. Saat itu
Dani Dwi Permana berusia 17 tahun 11 bulan (lahir 17/8/1991 dan meninggal
17/7/2009).
Yang terbaru, pada awal September
2016, percobaan bom bunuh diri dan pencederaan Pastor Albert Pandiangan di
Gereja Katolik Stasi Santo Medan dilakukan juga oleh teroris remaja.
Pasalnya, pelaku bernama Ivan Armadi Hasugian baru menginjak usia 17 tahun 10
bulan.
Tetapi, kejadian bahwa perempuan
menjadi pelaku aktif dan calon ’’pengantin’’ bom bunuh diri baru kali ini
muncul. Dan, itu dilakukan DYN. Karena itu, berkaitan dengan tindak kejahatan
terorisme, DYN telah melakukan kali pertama gender jihad. Dia telah mampu
membongkar dominasi laki-laki sebagai pelaku aktif.
Dalam konteks global, pelaku terorisme
memang sudah mulai banyak diperankan individu perempuan. Mulai Eropa Timur
hingga Asia Selatan, fenomena tersebut memang bukan baru sama sekali. Sudah
cukup banyak preseden.
Bahkan, dalam reportase majalah jihad
paling top dalam sejarah Indonesa modern, Jihad Magazine ( Jihadmagz), kasus
pelaku perempuan dengan mudah dijumpai di wilayah-wilayah konflik. Mereka
semua diikat oleh satu semangat: jihad.
Nah, kasus DYN ini seharusnya
memberikan pelajaran berharga buat kita semua bahwa ancaman terorisme sudah
tidak mengenal usia. Tua dan muda kini dalam ancaman yang sama untuk menjadi
sasaran perekrutan.
Juga sudah tidak ada lagi dominasi
jenis kelamin. Laki dan perempuan juga menjadi incaran pelaku terorisme.
Semua menjadi sasaran empuk untuk ditarik masuk menjadi bagian dari jaringan
tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.
Oleh karena itu, fungsi pencegahan
primer ( primary prevention) harus mulai secara rapi disusun pemegang amanah
negeri ini dan sekaligus dengan kuat dikampanyekan kepada semua pihak. Desain
yang baik harus diperkuat dengan kampanye yang sistemis, terstruktur, dan
masif.
Selama ini desain kontraterorisme
cenderung struktural dan elitis. Polisi dan TNI ditempatkan di garda paling
depan dan cenderung sendirian. Akibatnya, problem terorisme seakan-akan hanya
menjadi tanggung jawab aparat keamanan. Tidak ada kesadaran kritis yang masif
dari seluruh komponen warga bangsa ini atas tanggung jawab penanganan
terorisme.
Atas pertimbangan itu, unsur
masyarakat harus segera dilibatkan secara kuat untuk mampu menjalankan fungsi
pencegahan primer tersebut. Caranya, membentuk sikap anak sejak kecil melalui
pembelajaran dan pengembangan berpikir kritis (critical thinking) dan sekaligus menjadi teladan yang utama (good role model) bagi mereka.
Pencegahan primer itu penting difungsikan agar pencucian otak dan
indoktrinasi yang akan dilakukan perekrut terorisme-ekstermisme tidak mudah
memengaruhi basis kognitif, emosi, dan tindakan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar