Relasi
Simbiotis Terorisme dan Media Massa
Ahmad Safril ; Dosen
Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 26 Desember
2016
SEPANJANG Rabu dan Kamis
(21–22/12), hampir semua media massa di Indonesia menyajikan berita utama
tentang penangkapan terduga teroris yang terjadi secara serentak di Tangerang
Selatan, Payakumbuh, Deli Serdang, dan Batam. Dalam operasi antiteror di
empat kota itu, Densus 88 Polri berhasil melumpuhkan tujuh terduga teroris,
tiga di antaranya tewas. Menurut keterangan polisi, jaringan teroris itu
berencana melancarkan serangan ke pos kepolisian dengan terlebih dulu menusuk
anggota Polri. Hal tersebut dilakukan untuk menarik perhatian massa agar
datang mendekat. Ketika massa telah terkumpul, mereka akan meledakkan bom
bunuh diri.
Bagaikan
sebuah koreografi drama, skenario teatrikal semacam itu sangat ampuh untuk
menarik perhatian media massa guna memublikasikannya secara gegap gempita.
Meskipun akhirnya aksi gagal terealisasi, salah satu tujuan teroris menebar
ancaman ketakutan meluas melalui media massa telah terwujud karena publikasi
intensif berbagai media. Baik cetak, elektronik, maupun situs berita daring (online).
Sebagian
besar media cetak di negeri ini menempatkan kejadian itu sebagai headline news di halaman utama. Sedangkan sejumlah
media elektronik menjadikannya breaking news. Di sisi
lain, detik demi detik peristiwa tersebut dilaporkan secara terperinci dan
cepat di media daring sehingga langsung dikonsumsi publik dalam waktu sekejap.
Segala
hal terkait dengan terorisme selalu menjadi perhatian utama media massa.
Pasalnya, seperti yang diungkapkan Walter Laqueur (2004), the
media are the terrorist’s best friends. The terrorist’s act by itself is
nothing, publicity is all. Sebagai sahabat baik, teroris dan
media massa sesungguhnya memiliki relasi simbiotis. Keduanya saling
membutuhkan satu sama lain untuk kepentingan masing-masing dengan tujuan
berbeda.
Kepentingan Teroris
Bagi
jaringan teroris, media massa perlu dimanfaatkan demi mencapai tiga
kepentingan. Pertama, jaringan teroris membutuhkan media massa untuk
mengomunikasikan pesan perlawanan secara efektif. Jaringan teroris merasa
selama ini banyak orang tidak dapat memahami aksi mereka lantaran publik
tidak memiliki informasi cukup tentang perlawanan mereka terhadap
ketidakadilan yang diciptakan penguasa. Melalui pemberitaan media massa,
jaringan teroris ingin pesan tersebut tersebar meluas melintasi batas-batas
geografis. Sehingga orang kian paham bahwa mereka sesungguhnya sedang
berjuang melawan ketidakadilan.
Kedua,
karena sifat aksi terorisme adalah menebar ketakutan, media massa membuat
tugas teroris untuk meneror menjadi lebih mudah dilakukan. Bayangkan saja,
untuk menebar ancaman ketakutan secara meluas kepada masyarakat, teroris
tidak perlu melancarkan aksi di berbagai tempat. Seperti yang dilakukan Elmi,
Irwan, dan Omen yang tewas setelah baku tembak dengan polisi di Tangerang
Selatan. Agar aksinya diliput besar-besaran oleh media massa, mereka cukup
melawan polisi yang menyerbu hingga titik darah penghabisan. Alhasil, publik
yang merasa terancam bukan hanya orang-orang yang tinggal di sekitar lokasi
kejadian, tapi juga mereka yang hidup jauh dari pusat serangan.
Ketiga,
publikasi media massa dimaksudkan sebagai pesan terselubung kepada jaringan
lain agar ikut bergerak melawan musuh. Karena itu, setiap peristiwa terorisme
hampir pasti diikuti aksi-aksi teror lainnya. Realitas itulah yang terjadi
ketika bom meledak di Samarinda (17/11) dan lantas diiringi terungkapnya rencana
serangan ke Istana Negara serta pos kepolisian sebulan terakhir. Dengan
begitu, kian tampak eksistensi kelompok teroris sejatinya masih terjaga
meskipun telah banyak anggotanya yang tewas atau tertangkap.
Kepentingan Media
Media
massa memublikasikan aksi terorisme secara besar-besaran karena tiga
kepentingan. Pertama, terorisme merupakan isu seksi yang menjadi perhatian
serius masyarakat sehingga liputan tentangnya bakal mampu meningkatkan rating
media massa yang memberitakan. Media massa memahami bahwa publik pasti sangat
ingin mengetahui perkembangan terkini seputar isu terorisme. Sebab, hal itu
sangat terkait dengan keamanan individu, masyarakat, bahkan bangsa dan
negara. Demi memenuhi rasa ingin tahu publik, media massa pasti mengemas
pemberitaan soal terorisme secara mendalam.
Kedua,
untuk memenuhi unsur cover both sides dalam pemberitaannya, media massa
kadang kala merasa perlu memberitakan aksi sekelompok orang yang merasa
bersimpati pada aksi dan misi jaringan teroris. Meskipun kelompok semacam itu
tidak banyak, bagaimanapun mereka tetaplah konsumen media massa. Bagi media
massa, mereka adalah kalangan yang unik lantaran memiliki pandangan berbeda
dibanding pendapat mayoritas.
Ketiga,
media memublikasikan aksi terorisme karena merasa publik memintanya agar
menjadi tahu persis aspek-aspek kehidupan yang mengancam mereka. Berita
dengan kandungan kekerasan semacam itu memang terasa menakutkan. Tetapi,
dengan begitu, publik menjadi menyadari adanya ancaman keamanan dalam
kehidupan mereka. Hal itu bakal disikapi dengan semakin mengintensifkan
program-program kontraterorisme. Di sinilah media berperan meningkatkan
kewaspadaan publik atas ancaman potensial yang mungkin bisa menjadi aktual
sewaktu-waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar