Pengendalian
Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Edy Priyono ; Direktur
Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika;
Dosen di Universitas Djuanda dan
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 01 Agustus
2016
Wacana kebijakan publik kembali diguncang oleh
rumor tentang masuknya 10 juta tenaga kerja asing asal Tiongkok. Angka 10
juta jelas berlebihan, tetapi itu tidak menghilangkan urgensi persoalan
pengendalian penggunaan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Masuknya TKA
sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Secara implisit, masuknya TKA
menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja di Indonesia relatif baik
dibandingkan dengan negara-negara asal TKA. Kalau tidak, untuk apa mereka
jauh-jauh pergi dari negaranya untuk bekerja di sini?
Selain itu, masuknya TKA biasanya merupakan
implikasi masuknya investasi asing. Dari sisi ketenagakerjaan, investasi
asing itu diperlukan untuk membuka lebih banyak lapangan kerja daripada jika
hanya mengandalkan investasi dalam negeri. Dalam hal ini, TKA dianggap
pelengkap bagi penyerapan tenaga kerja domestik karena tak mungkin investor
asing hanya mempekerjakan TKA di perusahaannya.
Arah kebijakan
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait
TKA sejak dulu sudah jelas. Di satu sisi pemerintah memberi kemudahan
pemberian izin bagi TKA. Di sisi lain, jumlah TKA dikendalikan agar tidak
berdampak buruk terhadap penyerapan tenaga kerja domestik.
Terdapat serangkaian peraturan menteri
ketenagakerjaan yang pada intinya membatasi sektor apa saja yang bisa
dimasuki dan jabatan apa saja yang boleh diduduki oleh TKA. Sebagai
ilustrasi, dalam lingkup sektor pertanian, hanya usaha peternakan saja yang
terbuka bagi TKA. Untuk sektor industri, ada sembilan jenis industri yang
terbuka bagi TKA, yaitu industri minuman, logam bukan mesin, rokok/cerutu,
gula, pakaian jadi, furnitur, tekstil, alas kaki, dan makanan. Untuk sektor
jasa, hanya tiga jenis usaha yang terbuka, yaitu penyediaan akomodasi,
penyediaan makanan/minuman, dan pengelolaan limbah.
Pembatasan juga dilakukan dari sisi jabatan.
Beragam peraturan menteri tersebut juga mengatur level jabatan apa saja yang
terbuka bagi TKA. Secara ringkas dapat disampaikan bahwa TKA hanya boleh
bekerja di jabatan manajerial menengah ke atas, yaitu pengawas/penasihat,
ahli, manajer, direktur, atau komisaris. Jelas bahwa tenaga operasional/ produksi
tidak termasuk dalam jabatan yang terbuka bagi TKA.
Selain itu, ada keputusan menteri yang khusus
dan eksplisit mengatur jabatan apa saja yang tertutup bagi TKA. Ada 19
jabatan yang dinyatakan tertutup bagi TKA, yang intinya merupakan jabatan
yang terkait perekrutan, personalia, hubungan industrial, dan keselamatan
kerja. Daftar negatif itu bisa dianggap sebagai pengecualian bagi beragam
peraturan tentang jabatan yang terbuka bagi TKA yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Kebijakan lain yang cukup penting adalah
kewajiban bagi pengguna TKA untuk melakukan alih pengetahuan dan keahlian
kepada tenaga kerja lokal. Selain itu, untuk setiap penggunaan satu TKA,
pengguna diwajibkan membayar uang kompensasi kepada pemerintah sebesar 100
dollar AS. Di atas kertas, dana kompensasi tersebut dapat digunakan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal.
Jika diamati secara lebih teliti, ada beberapa
perubahan kebijakan yang pada intinya mempermudah masuknya TKA ke Indonesia.
Perubahan tersebut antara lain: penghapusan kewajiban merekrut setidaknya 10
tenaga kerja lokal untuk setiap perekrutan satu TKA serta TKA dapat dibayar
langsung dengan menggunakan mata uang asing tanpa harus dikonversi ke rupiah.
Seperti disinggung sebelumnya, perubahan tersebut tampaknya ditujukan untuk
menarik lebih banyak investor (asing) ke Indonesia.
Data dan pengawasan
Dengan beragam kebijakan tersebut, data resmi
Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemennakertrans) tahun 2014
menunjukkan bahwa jumlah TKA di Indonesia adalah 68.742 orang. Angka itu
jelas sangat jauh dari 10 juta seperti yang sempat menjadi rumor itu.
Dilihat menurut negara asal TKA, Tiongkok
mendominasi dengan 24,5 persen, disusul Jepang (16,2 persen), Korea Selatan
(9,2 persen), India (7,5 persen), dan Malaysia (6 persen). Negara lain juga
berperan, tetapi masing-masing nilainya tidak sampai 5 persen dari total TKA.
Rendahnya jumlah TKA dalam data resmi tersebut
bukannya tidak mengundang pertanyaan. Memang belum ada studi independen yang
secara komprehensif mengestimasi jumlah TKA. Namun, hasil pengamatan di
lapangan mengindikasikan bahwa jumlah TKA jauh lebih besar daripada angka
(resmi) tersebut.
Kuat dugaan, data resmi Kemennakertrans hanya
mengacu pada jumlah izin yang dikeluarkan oleh instansi tersebut. Dugaan itu
kian menguat karena sampai saat ini tidak ada mekanisme yang secara efektif
dapat mengawasi penggunaan TKA di lapangan, termasuk yang tidak resmi.
Oleh karena itu, terkait rumor ”10 juta TKA”,
perdebatan tentang angka sebaiknya dihindari dulu. Yang lebih diperlukan
adalah evaluasi apakah kebijakan pemerintah saat ini sudah berada di jalur
yang tepat ataukah tidak.
Pemerintah punya banyak regulasi tentang
bagaimana mengurus izin bagi TKA, tetapi nyaris tak ada regulasi tentang
bagaimana mendata dan mengawasi mereka yang tidak mengurus izin. Beberapa
kali menteri ketenagakerjaan melakukan inspeksi mendadak, tetapi langkah
sporadis seperti itu tak akan efektif jika tidak ditindaklanjuti dengan
penyusunan kebijakan yang lebih sistematis.
Banyak yang menyalahkan otonomi daerah karena
telah memutus hubungan langsung antara Kemennakertrans dan dinas tenaga kerja
di daerah sehingga pengawasan jadi lemah. Tudingan tersebut jelas absurd
karena lemahnya pengawasan sudah terjadi sejak sebelum otonomi daerah
diterapkan. Hanya saja, masalah ini menguat karena kecenderungan semakin
tingginya mobilitas tenaga kerja antarnegara.
Aspek pengawasan ini yang harus diperbaiki
jika pemerintah benar-benar ingin mengendalikan penggunaan TKA di Indonesia.
Sistem pengawasan perlu dibangun dengan menerapkan mekanisme pengawasan aktif
ataupun pasif. Pengawasan tidak hanya dilakukan terhadap keberadaan TKA,
tetapi juga apakah syarat-syarat penggunaan TKA telah dipenuhi, baik oleh TKA
sendiri maupun penggunanya.
Dalam mekanisme pengawasan aktif, pemerintah
(pusat) sebaiknya bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk melakukan
pengecekan secara acak di lapangan. Sanksi berat harus diberikan kepada
pelanggar (baik TKA maupun penggunanya) yang ”tertangkap tangan”.
Selain itu, pemerintah juga perlu
mengembangkan mekanisme pengawasan pasif yang berbasis pada laporan
masyarakat. Perlu dibuat saluran, agar pihak-pihak yang melihat dugaan
pelanggaran peraturan penggunaan TKA dapat melapor kepada pemerintah. Tentu
perlu dukungan teknologi informasi yang sesuai, khususnya yang berbasis
telepon seluler, karena sarana itu yang paling banyak diakses oleh
masyarakat. Sistem daring berbasis internet tidak disarankan karena akses
masyarakat biasanya tidak terlalu tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar