Pendidikan
Karakter dan UN
Syamsul Rizal ; Profesor
di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh;
Alumnus Universitaet Hamburg, Jerman
|
KOMPAS, 07 Desember
2016
Siapakah olahragawan yang paling berkarakter yang pernah lahir
di dunia? Dalam cabang tinju, hampir semua kita sepakat bahwa Muhammad Ali
adalah petinju yang paling berkarakter. Di dalam ring, Ali tidak pernah
kehilangan akal dan siap mengubah strategi sesuai dengan tantangan yang
dihadapinya di dalam ring. Di luar ring, Ali juga sangat pandai memancing
emosi calon lawan yang akan dihadapi di dalam ring. Ali tidak hanya genius,
tetapi juga memiliki karakter yang hebat.
Dalam cabang sepak bola, kita barangkali sangat sulit untuk
mencapai kesepakatan karena begitu banyak pemain yang memiliki karakter yang
hebat. Dari sedemikian banyak calon, saya lebih memilih Franz Beckenbauer
sebagai pesepak bola yang paling berkarakter. Franz, sebagai kapten tim sepak
bola Jerman, pernah menjuarai Kejuaraan Piala Dunia pada tahun 1974. Sebagai
pelatih, Franz juga sukses membawa timnya menjadi juara dunia pada tahun
1990.
Sebagai analis sepak bola, pendapat Franz sampai sekarang masih
didengar dan diburu. Di dalam dan di luar lapangan, Franz begitu superior dan
sangat berkarakter.
Dalam cabang bulu tangkis, tampaknya kita juga bersepakat bahwa
pemain yang paling berkarakter di dunia adalah Rudy Hartono. Untung kita
memiliki Rudy. Kalau tidak, sepanjang sejarah perjalanan olahraga kita, tidak
ada yang bisa kita andalkan dan ceritakan bahwa kita, bangsa Indonesia,
pernah memiliki olahragawan terhebat di dunia dengan prestasi yang sangat
konsisten.
Apa sebab ketiga olahragawan tersebut begitu superior dan
memiliki karakter yang hebat? Tentu banyak aspek yang mendukungnya. Namun,
yang sudah pasti, ketiga olahragawan tersebut harus menguasai kemampuan dasar
yang sempurna dalam setiap bidang olahraga yang mereka tekuni. Di samping
itu, mereka harus didukung tiga kemampuan tambahan berikut, yaitu disiplin,
mempunyai kondisi fisik yang prima, dan latihan keras yang terus-menerus.
Akhirnya, setelah adanya empat prasyarat di atas barulah mereka
mempunyai potensi untuk menjadi pemain yang berkarakter. Tidak semua atlet
yang telah memiliki empat persyaratan tersebut secara otomatis akan menjadi
atlet yang berkarakter. Tidak ada resepnya untuk memiliki karakter yang
hebat. Ini sifatnya sangat personal.
Rudy Hartono, misalnya, selain memiliki prestasi hebat yang
sangat konsisten, ia juga dikenal sebagai olahragawan yang rendah hati.
Komentarnya tidak pernah membuat orang lain tersinggung dan sakit hati. Rudy
disayangi dan dicintai oleh masyarakat Indonesia, tanpa kecuali.
Pendidikan
karakter
Yang aneh di negara kita, kita ingin mendesain pendidikan
karakter di level pendidikan dasar dan menengah. Sudah menjadi tipikal
pemikir di negara kita bahwa kita selalu ingin berjuang di bagian akhir. Kita
ingin berhasiltanpa proses, tanpa usaha, dan malas. Yang sangat celaka,
konsep pendidikan karakter ini diaplikasikan kepada anak-anak kita dari sejak
sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas.
Kalaupun yang dimaksud pendidikan karakter adalah ajaran
nilai-nilai inti (core values) yang secara umum mempunyai sifat- sifat
berikut: layak dipercaya (trustworthiness), saling menghormati (respect),
bertanggung jawab (responsibility),bersikap adil (fairness), merasa senasib
dan peduli (caring), serta menjadi warga negara yang baik (citizenship),
tetap saja enam sifat suci tersebut terlalu abstrak untuk diajarkan.
Enam sifat suci tersebut harus dicontohkan oleh lingkungan yang
membentuk siswa, yaitu lingkungan kelas, sekolah, rumah tangga, desa,
kabupaten, provinsi, dan negara.
Kalau di negara kita banyak korupsi, teroris, dan lain-lain,
bukan berarti sistem pendidikan formal yang salah. Kalau lingkungan busuk
yang terbentuk, enam sifat suci tersebut tidak akan diperoleh oleh siswa
kita.
Kalaupun pendidikan karakter ini ingin dipelajari, hendaknya
kajian ini tidak diberikan kepada siswa. Kajian ini cukup dijadikan pelajaran
di level universitas. Kita tidak perlu membuang waktu yang terbatas untuk
memperkenalkannya kepada siswa. Yang sudah pasti, sangat sulit menilai dan
mengevaluasi hasil dari pendidikan karakter ini. Konsep pendidikan karakter
ini sangat abstrak. Kita tidak bisa mendidik seseorang menjadi seperti
Muhammad Ali, Franz Beckenbauer, ataupun Rudy Hartono.
Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan anak didik kita
untuk memenuhi empat prasyarat di atas, yaitu mempersiapkan kemampuan dasar
yang harus dikuasai, disiplin, kondisi fisik yang prima, dan latihan keras
yang terus-menerus. Pemaknaan latihan keras ini tentu berbeda pada setiap
jenjang pendidikan. Latihan keras siswa SD tentu berbeda dengan latihan keras
anak SMA.
Tanpa adanya empat prasyarat di atas, siswa kita tidak mungkin
berpotensi menjadi siswa-siswa yang berkarakter. Sangat jauh panggang dari
api.
Fakta yang
kita hadapi
Kompas (28/11) memberitakan bahwa Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan, ada tiga opsi yang disiapkan terkait
ujian nasional (UN). Ketiga opsi itu ialah penghapusan ujian nasional dari
sistem pendidikan, penghentian sementara UN pada 2017, dan tetap menjalankan
UN dengan teknis pelaksanaan diserahkan kepada daerah.
Diberitakan juga bahwa sejumlah organisasi guru—yakni Persatuan
Guru Republik Indonesia, Ikatan Guru Indonesia, dan Federasi Serikat Guru
Indonesia—mendukung moratorium UN. ”Anak-anak belajar tidak jujur akibat
ujian nasional. Kami mendukung moratorium,” kata Retno Listyarti, Sekretaris
Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, UN masih
diperlukan untuk dijadikan standar penilaian. ”Kalau tidak ada standar,
bagaimana mengetahui kita sampai di mana,” ujar Kalla di kantor Wapres.
Membaca Kompas (28/11) tentang masalah UN ini membuat perasaan
kita bercampur aduk, tetapi arahnya semua negatif. Mengapa? Apa sebab terjadi
perilaku tidak jujur? Jawabnya jelas: mayoritas siswa kita tidak siap untuk
ikut UN karena mereka tak punya kompetensi untuk lulus SMA, SMP, dan bahkan
SD.
Siswa yang telah lulus SD tidak punya kompetensi untuk lulus SD.
Kemudian dengan modal ala kadarnya, mayoritas siswa ini melanjutkan
pendidikannya ke SMP. Lalu, mereka lulus SMP lagi tanpa kompetensi untuk
lulus SD dan SMP. Seterusnya, sampai mereka lulus SMA.
Begitu mereka ikut UN SMA dan SMP, aneh sekali, hampir 100
persen bisa lulus. Tiba-tiba, hampir 100 persen siswa kita punya kompetensi
yang hebat sekali! Ini sama halnya seperti kita memasukkan air ke dalam
keranjang. Tidak ada seleksi, tidak ada evaluasi. Yang ada hanyalah kegiatan
mubazir, yang kita lakukan secara massal, yang menghabiskan uang yang tidak
terkira jumlahnya serta waktu dan tenaga yang sia-sia. Persoalan ini pernah
saya tulis di Kompas (21/9) dengan judul ”Masa Depan Indonesia 2045” dan
Kompas (18/10) dengan judul ”Pekerjaan Rumah Pendidikan Dasar”.
Oleh sebab itu, langkah pertama yang penting kita lakukan
sekarang adalah tobat nasional. Mengapa? Karena, sudah begitu lama, yaitu
sejak UN diberlakukan, kita semua sepakat untuk bersikap munafik dan tidak
jujur. Kita secara sempurna telah mempertontonkan kepada seluruh siswa bahwa
pendidikan karakter yang kita berikan hanya teori di dalam kelas belaka.
Ujian nasional yang kita gelar selama ini tidak sesuai dan
bahkan bertabrakan secara diametral dengan core values dari pendidikan karakter itu sendiri, yaitu trustworthiness, respect, responsibility,
fairness, caring, dan citizenship.
Bagaimana mungkin membangun pendidikan karakter di atas fondasi yang sangat
rapuh seperti ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar