"Outlook"
Penuntasan Pelanggaran HAM yang Berat di Tahun 2017
Agus Suntoro ; Pemantau
dan Penyelidik Komnas HAM RI
|
KOMPAS.COM, 27 Desember
2016
SEBENTAR
lagi, tahun 2016 berlalu dan kita menyongsong era 2017. Harapan dan optimisme
perlu dikembangkan lagi. Meski demikian, melihat realitas pelanggaran HAM
pada 2016 lalu, rasanya cukup berlebihan jika meminta terlalu tinggi dari
pemerintahan era Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam penuntasan pelanggaran HAM
di Indonesia.
Diakui
situasi HAM di Indonesia pada 2016 belum terlalu menggembirakan, serangkaian
catatan pelanggaran terus saja berkelindan. Kondisi ini sebenarnya disadari
oleh pemerintah dalam peringatan hari HAM pada 10 Desember 2016 lalu.
Secara
tegas disampaikan catatan pelanggaran HAM yang masih terjadi, di antaranya
terkait dengan problem kebebasan beragama, pelanggaran hak-hak masyarakat
adat, praktik perdagangan manusia, kejahatan seksual terhadap anak-anak,
serta yang paling menyakitkan belum adanya penuntasan peristiwa pelanggaran
HAM yang berat di 2016.
Penuntasan pelanggaran HAM
yang berat
Dalam
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa pelanggaran
HAM yang berat di Indonesia terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida.
Sampai
saat ini, sekurang-kurangnya masih ada 7 (tujuh) kasus pelanggaran HAM yang
berat yang penuntasannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan di
Indonesia.
Beberapa
kasus di antaranya Peristiwa 1965 -1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982
-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa,
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Triksakti, Semanggi I dan Semanggi
II, dan Peristiwa Wasior dan Wamena.
Belum
lagi, Peristiwa Paniai 2014 yang masih dalam penyelidikan Komnas HAM dan
meletus beberapa bulan setelah pelantikan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Sebetulnya,
upaya penuntasan pelanggaran HAM yang berat ini menjadi salah satu program
kerja yang ditawarakan oleh pemerintaahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam
pemerintahannya.
Hal
ini juga tercermin dalam RPJMN tahun 2015 – 2019, yang secara substantif
berupa komitmen menyelesaikan secara berkeadilan atas pelanggaran HAM masa
lalu.
Konsensus
bersama dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM merupakan langkah
penting untuk membangun kesadaran baru dalam masyarakat, bahwa pelanggaran
HAM tidak dapat dibiarkan dan tak boleh terulang kembali di masa yang akan
datang.
Dengan
memfasilitasi proses pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu, maka
implementasi perintah putusan Mahkamah Konstitusi, untuk segera mengeluarkan
kebijakan menangani pelanggaran hak asasi di masa lampau, maupun realisasi
mandat TAP MPR No V Tahun 2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional, menjadi wadah yang kuat untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM.
Strategi
penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu akan dilakukan melalui pembentukan
suatu komisi yang yang bersifat ad-hoc atau temporer, dengan tugas
memfasilitasi proses pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu yang berada
langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presiden.
Meski
demikian, tampaknya masih ada kendala-kendala yang terjadi di lapangan
sehingga proses penuntasan pelanggaran HAM masih terlihat bermasalah.
Indikasi tersebut tercermin dari hal sebagai berikut:
Pertama,
secara hukum mandatori penyelesaian pelanggaran HAM yang berat adalah
rangkaian kewenangan secara berjenjang yang dimiliki Komnas HAM RI, Kejaksaan
Agung RI dan badan peradilan (HAM).
Dengan
demikian, seharusnya seluruh pihak, terutama Komnas HAM RI selaku penyelidik
dan Kejaksaan Agung RI selaku penyidik dan penuntut untuk bersama-sama
mencari solusi penyelesaian permasalahan yang ada dalam pemberkasan atas
peristiwa-peristiwa tersebut, apakah menyangkut aspek formil maupun materiil.
Jika
masih ada kelemahan-kelemahan dalam kedua aspek tersebut, maka diperlukan
pembahasan melalui gelar perkara atau expose sesuai dengan mekanisme hukum
dan HAM.
Dengan
demikian, maka tidak ada lagi cerita-cerita berkas pemeriksaan yang
bolak-balik antara Komnas HAM RI dan Kejaksaan RI dan menjadi bola panas pada
penuntasan pelanggaran HAM yang berat.
Tidak
saja menambah luka bagi korban pencari keadilan, akan tetapi menunjukan belum
seriusnya upaya penyelesaian atas permasalahan ini.
Kedua,
soal dukungan politik. Terdapat situasi khusus terhadap penuntasan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
UU Nomor 26 Tahun 2000, maka berdasarkan Pasal 43 ayat (1) harus diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Meski
demikian, terdapat tantangan dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
sebagaimana dimaksud karena harus dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dengan
demikian, selain keruwetan dalam berkas perkara antara Kejaksaan RI dan
Komnas HAM RI, maka terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat
sebelum 2000 memerlukan sikap politik, baik dari DPR RI maupun dari Presiden
RI.
Padahal
secara umum peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan menggantung terjadi
sebelum 2000. Akankah situasi politik saat ini mendukung pada proses
tersebut?
Penanganan korban
pelanggaran HAM yang berat
Setiap
korban pelanggaran HAM yang berat pada dasarnya berhak atas perlindungan
fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.
Perlindungan
tersebut wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
secara cuma-cuma. Lebih mendalam lagi korban pelanggaran hak asasi manusia
pada dasarnya berhak atas empat pilar penghapusan impunitas di atas yaitu:
hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan (reparation), dan
hak atas jamina ketidakberulangan.
Bukan
berarti setelah adanya upaya pemulihan hak-hak korban, pengungkapan peristiwa
pelanggaran HAM yang terjadi diabaikan. Meskipun sebetulnya dalam Pasal 47 UU
Nomor 26 Tahun 2000 memberikan peluang agar penuntasan peristiwa pelanggaran
HAM yang berat sebelum lahir undang-undang ini dapat diselesaikan melalui
mekanisme yang dibuat oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Apa
lacur, KKR ini telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-IV/2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Secara
teknis, mekanisme pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada
korban atau keluarga korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM yang
berat, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 3 Tahun 2002 Tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat.
Salah
satu dasar pemikiran terbitnya PP Nomor 3 Tahun 2002 adalah dalam hal terjadi
pengabaian, pengurangan, dan perampasan hak asasi manusia (terutama terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan,
kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi), maka pihak korban atau
keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh kompensasi,
restitusi, dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak.
Dalam
arti bahwa pihak korban atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian
atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran,
yakni korban dan penggantian kerugiannya, pelaksanaannya segera diwujudkan,
dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.
Meskipun
demikian, terdapat tantangan dalam implementasi atas hak-hak korban atau
keluarga atau ahli warisnya, karena berdasarkan aturan itu disyaratkan bahwa
pemberian kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi dilaksanakan setelah ada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam
hal pelaksanaan kompensasi dan atau rehabilitasi yang berkaitan dengan
pembiayaan dengan keuangan negara, maka penghitungan dilakukan oleh
Departemen Keuangan. Lantas bagaimana jika penuntasan pelanggaran HAM yang
berat ini masih berlarut-larut di Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar