Merindukan
Rumah yang Manusiawi
Amanda Putri Nugrahanti ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Desember
2016
Tempat tinggal bagi warga kota bukan hanya
persoalan fisik, melainkan juga menjadi tempat merajut kehidupan sosial.
Kualitas hidup warga menentukan hidupnya sebuah kota.
DKI Jakarta, dengan penduduk 10 juta jiwa,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik memiliki angka kepemilikan rumah
sendiri paling rendah, yaitu hanya 51,09 persen. Hanya separuh warga Jakarta
yang memiliki rumah sendiri. Sisanya menyewa, menumpang, atau tinggal di
tempat-tempat ilegal.
Padahal, kebutuhan akan tempat tinggal
merupakan kebutuhan pokok. Kian banyak warga masyarakat berpenghasilan rendah
semakin tidak mampu membeli rumah. Warga yang termarjinalkan ini semakin tidak
berdaya ketika mereka terpaksa tinggal di wilayah-wilayah ilegal, seperti
kawasan yang seharusnya merupakan ruang terbuka hijau, bantaran kali, atau
lahan-lahan yang ditelantarkan. Penggusuran pun tidak terhindarkan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
mencatat, sepanjang 2015 terjadi 113 penggusuran paksa di Jakarta. Dari
jumlah tersebut, 10 penggusuran dilakukan untuk pembangunan waduk, 37 untuk
normalisasi sarana perairan, 13 untuk pembangunan jalan, 43 untuk penertiban,
4 untuk ruang terbuka hijau, dan sisanya untuk properti swasta/badan usaha
milik negara (BUMN), pembangunan MRT, dan fasilitas umum lain.
Pengacara publik LBH Jakarta, Alldo Fellix
Januardy, mengatakan, tahun 2016 diperkirakan jumlah penggusuran di Jakarta
lebih rendah dibandingkan tahun 2015 karena menjelang pilkada. Namun, tren
penggusuran cenderung sama. Pemerintah masih kerap menggunakan kekerasan
sebagai jalan utama dan juga melangkahi hukum meskipun warga sudah mengajukan
sengketa di pengadilan.
Berdasarkan catatan LBH Jakarta, ada 4.000
keluarga yang tergusur hingga Oktober 2016. Lokasi penggusuran juga sering
menyerang tempat yang sebenarnya sudah menjadi komunitas yang mapan.
"Alangkah lebih baik jika pemerintah melakukan pendekatan partisipatif
tanpa menggusur paksa sebagaimana dijanjikan pasangan Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama saat kampanye dulu," ujar Alldo.
Sebagian warga yang dipindahkan ke rumah susun
pun mengeluhkan peningkatan pengeluaran dan penurunan pendapatan karena
lokasi yang semakin jauh. Karena itu, seharusnya relokasi warga menjadi
solusi terakhir jika kondisi lahan tidak memungkinkan untuk direvitalisasi.
Itu pun harus dilakukan dengan standar yang ketat, sesuai standar hak asasi
manusia.
Selain itu, sistem di rumah susun memungkinkan
warga menyewa selama dua tahun, dengan syarat perpanjangan atau pemberhentian
sepihak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini melanggar hak warga
atas keamanan bermukim. Persoalan lain, banyak warga yang sudah lebih dari 30
tahun tinggal di suatu lokasi sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan atas
lahan tersebut.
Di sisi lain, Badan Pertanahan Nasional juga
tidak menerbitkan sertifikat untuk pemerintah sebagai bukti bahwa pemerintah
memiliki suatu bidang tanah. Tercatat, hanya sekitar 50 persen tanah negara
yang bersertifikat.
Guru Besar Tata Kota Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Johan Silas, dalam diskusi di harian Kompas,
mengatakan, paradigma mengenai penyediaan perumahan harus diubah. Bukan lagi
housing for people, tetapi housing by people. Penyediaan rumah berdasarkan
kebutuhan warga.
Johan membagi penggusuran menjadi dua.
Pertama, penggusuran yang memang vital dalam kaitan dengan prasarana kota,
tetapi bukan berarti manusianya harus dibuang. Kedua, penggusuran karena
tempat itu sekadar jelek, dianggap mengganggu estetika kota, yang seharusnya
tidak harus digusur. "Menurut saya, apa yang bisa diperbaiki, perbaikan
adalah prioritas pertama karena warga sudah berinvestasi di tempat itu.
Tetapi kalau dia harus pergi, warga tidak boleh dibuang begitu saja,"
katanya.
Kampung bisa saja dibuat di rumah susun. Yang
harus menjadi perhatian, di dalam kampung sudah terbentuk interaksi sosial
yang sulit terbentuk kembali ketika warga tercerai berai. Rumah susun tidak
hanya harus dekat dengan tempat mereka biasa tinggal, tetapi juga harus ada
fasilitas-fasilitas untuk warga membentuk komunitas, karena ciri-ciri warga
ini sangat guyub, komunal, dan bertetangga.
"Kepala daerah harus sensitif kepada
rakyatnya. Lihat kebutuhan warga. Misalnya warga di bantaran sungai terpaksa
dipindah, mereka harus dipindahkan bersama, kemudian di rumah susun bisa
didesain bersama dengan calon penghuni lain menjadi seperti saat mereka ada
di kampung," ujar Johan.
Intinya, pada pelibatan masyarakat dalam
berbagai rencana pembangunan atau penataan. Yang terjadi di Jakarta selama
ini, aspirasi masyarakat cenderung diabaikan. "Yang kita lupa, yang kita
lihat adalah puncak gunung es, bawahnya yang tidak terlihat. Jakarta
melupakan rakyat bawah," ujar Johan.
Padahal, Jakarta juga membutuhkan rakyat
bawah. Jakarta apakah bisa berjalan tanpa masyarakat kelas bawah yang
dianggap underclass? Tidak mungkin. "If the poor people work for the
city, make the city work, why can not the city work for the poor
people?" ungkap Johan.
Diakui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
program kerjanya belum memiliki konsep penataan perkampungan yang manusiawi,
yang ramah terhadap warga miskin. Dinas Perumahan dan Gedung Pemda (DPGP)
masih memfokuskan program pada penataan hunian liar dengan cara merelokasi
warga ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa).
Melihat catatan DPGP DKI Jakarta, penataan
kawasan hunian liar itu banyak dilakukan di titik-titik bantaran kali. Kepala
DPGP DKI Jakarta Arifin menjelaskan, program penataan itu dilakukan untuk
mewujudkan DKI Jakarta tertib dari masalah hunian liar. Penataan dilakukan di
seputaran kali untuk mengurangi permasalahan banjir di Jakarta melalui
penataan kali, waduk, danau, sungai, dan embung.
Masalah memindahkan warga dilakukan dengan
menyediakan rumah susun. Sayangnya, penyediaan rusun itu tidak secepat
program penataan kali.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Daisy
Indira Yasmin, setuju jika tugas pemerintah sebenarnya membuat standar
kualitas kehidupan warga kelas menengah ke bawah menjadi prioritas utama yang
harus diperhatikan.
Merelokasi warga, bukan memindahkan lalu
memberikan rumah, karena rumah tidak cukup. Yang harus diberikan adalah
keberlangsungan kehidupan sosial budaya mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar