Menerobos
Mitos Fiskal
Haryo Kuncoro ; Direktur
Riset SEEBI (The Socio-Economic and Educational Business Institute) Jakarta;
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta; Doktor Ilmu Ekonomi
Alumnus PPs UGM Yogyakarta
|
KOMPAS, 17 Desember
2016
Wacana pelebaran defisit fiskal menjadi
topik hangat dalam diskusi ”Tantangan Pengelolaan APBN” di Kementerian
Keuangan belum lama ini. Menurut UU
Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, defisit anggaran dan utang
dibatasi masing-masing sebesar 3 persen dan 60 persen dari produk domestik
bruto (PDB).
Posisi rasio defisit pada level 3 persen
diklaim terlalu kecil untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Pengalaman dalam
lima tahun terakhir tampaknya mengonfirmasi tesis bahwa kinerja ekonomi Indonesia
masih sangat bergantung pada progresivitas belanja pemerintah.
Sebagai komparasi, India dan Vietnam pada
tahun lalu memberi toleransi rasio defisit masing-masing 3,9 persen dan 4,5
persen. Alhasil, mereka menikmati pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.
Karena itu, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada 2017,
rasio defisit perlu dilonggarkan untuk memberi ruang bagi utang pada saat
penerimaan negara sedang seret.
Dalam perspektif konseptual, stok utang
saat ini adalah warisan dari defisit pada masa lalu. Oleh karena itu, menjaga
defisit pada tingkat yang moderat pada saat ini akan menjamin rasio utang
pada tingkat yang aman di masa mendatang. Dengan demikian, UU No 17/2003
adalah rambu- rambu pencegahan bagi pemerintah dalam menempuh kebijakan
fiskal.
Ketentuan yang ada dalam UU No 17/2003
sejatinya diadopsi dari kesepakatan Maastricht di Uni Eropa. Lagi pula, tidak
ada latar belakang ilmiah bagaimana angka 3 persen dan 60 persen ditetapkan.
Secara teknis, keduanya berasal dari simulasi Dana Moneter Internasional
(IMF) berdasarkan nilai median data lintas negara yang menghubungkan antara
beberapa variabel ekonomi makro dengan defisit dan utang.
Artinya, kaidah itu tidak seharusnya
dipandang sebagai posisi optimal yang berlaku mutlak dan permanen. Rasio
utang terhadap PDB sebesar 60 persen, misalnya, lebih cocok untuk negara
maju. Sebaliknya, rasio 40 persen adalah saran untuk negara berkembang yang
dalam jangka panjang tak boleh dilanggar. Alhasil, tak ada batasan yang kokoh
antara kinerja pertumbuhan ekonomi dan rasio utang. Oleh karena itu, selama
masih ada cadangan kapasitas ekonomi (seperti pengangguran), pelebaran
defisit fiskal tidak akan menaikkan suku bunga, inflasi, atau defisit
transaksi berjalan. Kenaikan defisit berpotensi meningkatkan daya beli
masyarakat.
Kekhawatiran lain atas tingginya utang pada
saat ini adalah beban pembayaran melalui kenaikan pajak di masa depan. Klaim
ini masih bisa diperdebatkan. Selama suku bunga utang masih lebih rendah
daripada angka pertumbuhan PDB nominal, beban utang akan tertutup pertumbuhan
alami penerimaan pajak alih-alih dengan kenaikan tarif pajak.
Argumen lain, tingginya rasio utang
menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro. Imbasnya, iklim yang kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi terganggu dan kemampuan bayar utang menjadi tidak
berkelanjutan. Namun, data IMF yang dipakai sebagai dasar perumusan kaidah
fiskal di atas menunjukkan hubungan yang lemah antara rasio utang dan
ketidakstabilan makroekonomi.
Defisit
siklis
Lemahnya hubungan antara rasio utang dan
instabilitas ekonomi dipicu nilai-nilai ekstremnya (outlier). Oleh karena
itu, efek peningkatan rasio utang yang dianggap menghambat kenaikan PDB dapat
dengan mudah ditutup efek peningkatan pertumbuhan ekonomi yang didorong belanja
publik.
Dari sinilah pentingnya melihat komposisi
utang secara lebih detail alih-alih hanya terfokus pada besaran utang
agregat. Dengan mengamati komposisi utang, isunya akan berbeda dari sekadar
beban kewajiban eksternal. Pertanyaannya kemudian tidak melulu pada kemampuan
bayar, tetapi juga apakah negara lain akan bersedia terus memberi utang.
Ironisnya lagi, rumusan kehati-hatian
fiskal tidak menawarkan perlindungan terhadap perangkap dan risiko terhadap
akumulasi kewajiban eksternal yang didorong utang sektor swasta. Alhasil,
kewajiban sektor privat pada akhirnya juga akan menjadi kewajiban pemerintah.
Istilah populernya too big to fail.
Dalam skala yang lebih luas, keasyikan
berpolemik dalam mengidentifikasi berapa batas aman rasio defisit dan utang
negara bisa mengalihkan perhatian dari peran penting kebijakan fiskal dalam
memacu pertumbuhan dan pembangunan. Tentu saja, rasio defisit dan utang
adalah indikator yang berguna untuk mengendalikan beban pemerintah.
Secara konseptual, dampak beban ekonomi
jangka panjang dari defisit dan utang perlu diurai secara lebih komprehensif
dengan memperhitungkan kekayaan bersih pemerintah. Intinya, analisis
kebijakan fiskal perlu mencermati dampak komposisi pengeluaran dan pajak pada
pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Beberapa tesis di atas menunjukkan, besaran
utang saja tidak cukup untuk menjelaskan potensi pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Setidaknya, pengalaman negara-negara yang sudah berusaha untuk
memelihara defisit anggaran (yang ditunjukkan oleh penurunan tingkat utang)
dapat diterapkan pada negara berkembang meski dengan tingkat utang yang
tinggi.
Secara empiris, kebijakan fiskal dengan
mengubah-ubah rasio defisit pada umumnya jarang dilakukan karena berefek
distorsif pada pasar keuangan. Alhasil, dengan ruang fiskal terbatas, defisit
APBN sebagian besar dibiayai pinjaman dalam negeri, dan kendala legislatif
lainnya, otoritas fiskal dituntut kreatif dalam menyiasatinya.
Dalam konteks ini, Kementerian Keuangan
dapat menerapkan defisit siklis, yaitu lebih dari 3 persen pada saat resesi
dan kurang dari 3 persen saat periode boom. Alhasil, dalam satu siklus
bisnis, deviasi di atas akan saling menghilangkan sehingga rasio defisit
tahunan akan sama (atau kurang dari) 3 persen sebagaimana diamanatkan oleh
UU.
Modifikasi semacam ini dipandang lebih
elegan daripada memotong dan/atau menunda belanja yang sangat tidak populis.
Dengan demikian, pertumbuhan PDB dan stabilitas ekonomi bisa tercapai
bersama-sama tanpa harus menerobos kaidah yang sejauh ini masih dianggap
sebagai mitos fiskal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar