Memprihatinkan
Politik Global
Chusnan Maghribi ; Alumnus
Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY)
|
SUARA MERDEKA, 27
Desember 2016
MASYARAKAT
internasional akhir-akhir ini diliputi waswas dan prihatin melihat dan
membaca realitas politik global yang sedang dan akan terjadi. Apa gerangan
yang membuat publik dunia berperasaan demikian? Tentu, pertama, yang membuat
masyarakat dunia cemas dan prihatin adalah masih banyak dan kompleks konflik
bersenjata di berbagai belahan bumi mulai dari konflik Palestina-Israel yang
sudah berlangsung 68 tahun. Kemudian perang di Afghanistan, Irak, Suriah,
Yaman, hingga Libya. Ancaman (serangan) terorisme di banyak negara termasuk
Indonesia.
Adanya
potensi konflik bersenjata di sejumlah kawasan, seperti Laut China Selatan
dan Semenanjung Korea. Potensi konflik bersenjata di dua kawasan ini tidak
bisa dipandang sebelah mata. Karena sangat potensial menyeret kekuatan-
kekuatan besar, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, untuk terlibat
langsung dan saling berhadapan. Potensi konflik di dua kawasan itu termasuk
bersumbu pendek.
Sangat
mudah tersulut menjadi perang terbuka yang mendistabilisasi keamanan dan
politik di kawasan Asia Tenggara atau Asia Timur pada umumnya. Ancaman (serangan)
terorisme di banyak negara juga tak bisa dianggap remeh. Keberadaannya jelas
nyata, bukan sekadar isapan jempol.
Bahkan
negara-negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Turki belakangan termasuk
kerap disasar serangan teroris hingga menimbulkan korban jiwa. Salah satu
kelompok teroris (ekstremis) yang sangat berbahaya dan selalu diwaspadai
adalah Islamic State (IS) yang bermarkas di Irak (Mosoul) dan Suriah (Aleppo)
pimpinan Abu Bakar Al-Bagdadi. Meski basis mereka di Mosoul dan Aleppo
belakangan diporak-porandakan oleh gempuran masif militer loyalis pemerintah
Irak dan militer rezim Bashar Assad di Suriah yang di-back up penuh pasukan
Rusia, tidak serta-merta pengikut IS yang masih hidup mau bertekuk lutut.
Diberitakan,
sebagian dari mereka melarikan diri ke Asia Tenggara dan bakal menjadikan
wilayah Filipina Selatan, Indonesia (Sulawesi dan Kalimantan), Brunei
Darussalam, serta Malaysia (Sabah dan Sarawak) sebagai basis baru
Kekhalifahan IS.
Keberhasilan
Kepolisian RI membongkar “persembunyian” simpatisan (pengikut) IS di Bekasi
dan Solo yang akan melancarkan serangan bom bunuh diri ke Istana Negara
baru-baru ini tentu menjadi indikasi kuat akan ketercakupan Indonesia sebagai
area target yang bakal dijadikan salah satu markas IS di Asia Tenggara.
Tentang
konflik bersenjata yang masih berkecamuk di Timur Tengah atau kawasan lain,
tentu hal itu sudah lama menjadi keprihatinan global. Publik dunia (PBB) pun
sejatinya sudah kelewat banyak berikhtiar guna mengupayakan penyelesaiannya.
Tapi
semua belum membuahkan hasil positif. Israel masih saja belum mau merelakan
Palestina merdeka dan memiliki negara sendiri. Para pihak bertikai di
Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, dan Libya belum mau berdamai. Malah
perkembangan mutakh i r terutama di Irak dan Suriah (terkait perang melawan
IS) makin memprihatinkan.
IS Keras Kepala
Sudah
disinggung di atas, meski markas IS di Mosoul dan Aleppo sudah hancur,
ratusan penduduknya terdiaspora dan mengungsi di negara lain, serta sebagian
besar wilayah sudah dikuasai militer pemerintah Irak atau pemerintah Suriah,
loyalis IS yang tersisa tak kunjung mau menyerahkan diri.
IS
benar-benar keras kepala, tak mau takluk. Pesan singkat dari fakta tersebut,
IS bertekad menjadi ancaman serius keamanan yang terusmenerus bagi keamanan
publik dunia. Kedua, suksesi nasional di AS. Inagurasi alih tongkat estafet
kepemimpinan Negeri Paman Sam akan dilakukan pada 20 Januari 2017 dari Barack
Hussein Obama (Partai Demokrat) ke Donald John Trump (Partai Republik).
Trump
berhak menggantikan Obama dan dinobatkan sebagai Presiden Ke-45 AS setelah
menang dalam Pemilihan Presiden 8 November lalu atas kandidat Demokrat
Hillary Roddam Clinton. Tetapi tidak semua masyarakat AS menyambut gembira
kemenangan Trump. Malah sebagian warga AS berunjuk rasa di jalan-jalan
memprotes kemenangan konglomerat real estat asal New York itu. Mereka menolak
keterpilihan Trump.
Tidak
cuma itu, masyarakat di Negara Bagian California berniat memisahkan diri dari
AS (Suara Merdeka, 12 November 2016). Mereka menolak kemenangan Trump karena
suami Melania itu bersikap rasis. Di luar itu, Trump berkepribadian
temperamental. Bagaimana jadinya seorang temperamental memimpin negeri
adidaya yang notabene pemegang kendali pengaruh dunia dewasa ini?
Akankah
Trump tampil sebagai inspirator sekaligus pelopor bagi upaya-upaya
penyelesaian konflik bersenjata yang kini masih berkecamuk di berbagai
kawasan? Atau sebaliknya, Trump bakal tampil sebagai provokator yang makin
mempersulit upaya penyelesaian konflik-konflik bersenjata yang tengah
berlangsung? Bahkan lebih dari itu, menjadi pemicu bagi kobaran api
peperangan baru? Tentu, pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab saat Trump
menduduki singgasana Gedung Putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar