Kepemimpinan
Ekonomi dan Birokrasi Malas
Didik J Rachbini ; Ekonom
The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF); Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Mercu
Buana, Jakarta
|
DETIKNEWS, 19 Desember
2016
Mengapa kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi pada saat ini tidak tidak seperti deregulasi tahun 1980-an
dan tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi? Mengapa kinerja
ekspor terus menurun, kinerja fiskal rendah, permintaan agregat lambat dan
kinerja makro ekonomi lainnya rendah?
Pertanyaan ini selalu terlintas di benak para
pengambil keputusan dan para ekonomi – padahal pola dan cara yang dijalankan
relatif tidak jauh berbeda. Lalu kebijakan apa yang harus dilakukan agar
Indonesia tidak terjebak ke dalam tingkat pertumbuhan rendah?
Langkah kebijakan yang harus diambil oleh
pemerintah tetap mengedepankan kebijakan ekspor dan daya saing yang
berorientasi keluar, yang dikombinasikan dengan kebijakan memanfaatkan pasar
domestik yang besar. Pasar luar negeri adalah tempat menguji daya saing
ekonomi, dunia usaha dan pengusaha nasional. Negara yang berhasil dalam
ekonomi adalah negara yang tangguh di pasar internasional.
Masalahnya sekarang, komoditas ekspor kita
mayoritas adalah bahan mentah dan barang setengah jadi. Produk manufaktur
yang bernilai tinggi tidak banyak diekspor sehingga basis kekuatan ekonomi
Indonesia kembali ke jaman VOC, yang paling banyak berdagang hasil bumi.
Tidak ada industrialisasi yang signifikan dalam hampir dekade terakhir ini.
Industrialisasi berupa hilirisasi sumberdaya mineral tidak gagal, tetapi
tidak pernah dijalankan secara serius, meskipun sudah dipaksa dengan
instrumen undang-undang. Pendek kata kebijakan industri absen selama dua
dekade terakhir ini.
Thailand berhasil menjadi negara pengekspor
produk industri di mana kontribusi produk manufakturnya dalam ekspor total
mencapai 62 persen. Industrialisasi di negara ini berkembang dengan baik,
yang pada gilirannya berdampak positif terhadap kekuatan ekonomi dan nilai
tukar mata uangnya.
Negara pendatang baru Vietnam, berhasil
mengganti peranan Indonesia sebagai negara eksportir yang kuat di Asia
tenggara, Posisi Vietnam pada saat ini sama dengan posisi Indonesia pada
tahun akhir 1980-an ketika industrialisasi Indonesia berjalan dengan agresif
bersamaan dengan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Peranan ekspor
produk manufakturnya yang bernilai tambah tinggi mencapai 76,9 persen.
Sementara itu, ekonomi Indonesia memang terus
tumbuh tetapi struktur ekspornya ditopang oleh bahan mentah hasil eksploitasi
sumberdaya alam. Kontribusi ekspor manufaktur Indonesia sangat rendah, hanya
sekitar 8,6 persen. Sisanya adalah produk ekspor bahan mentah dan barang
setengah jadi, yang bernilai tambah rendah.
Tanggapan pemerintah terhadap stagnasi keadaan
ekonomi ini adalah kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Tetapi sejauh
ini dampaknya sangat terbatas dan bahkan sangat minimal. Indikator makro
ekonomi tetap saja tidak beranjak naik, mulai dari kinerja pertumbuhan ekonomi,
permintaan agregat masih rendah, kinerja fiskal buruk, dan berbagai hambatan
lainnya yang serius.
Jadi bagaimana seharusnya? Pemerintah
Indonesia harus kembali ke arah industrialisasi, yang sudah dijalankan pada
tahun 1980-an bersamaan dengan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.
Reindustrialisasi harus dijalankan agar kualitas perdagangan internasional
menjadi lebih baik dengan produk bernilai tambah tinggi dan tahan pengaruh
eksternal.
Pada saat bersamaan, Indonesia harus
memanfaatkan pasar dalam negeri, yang sudah terbentuk sangat kuat sebagai
salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika hanya pasar domestik
sebagai tumpannya, maka ekonomi kita rapuh dan tumbuh moderat cenderung
rendah seperti saat ini.
Karena itu, pemerintah dan birokrasi harus
kreatif memanfaatkan dan mendesain pasar domestik untuk semaksimal mungkin
kemanfaatannya bagi dunia usaha dan pengusaha nasional dan kepentingan
konsumen dalam negeri. Pasar dalam negeri ini terwujud setelah terjadi
transformasi dari ekonomi agraris menjadi ekonomi semi industri.
Tetapi karena birokrasi pemalas, maka pasar
dalam negeri 'dimakan' oleh pelaku-pelaku dari luar negeri. Kita kehilangan
kesempatan untuk memaksimalkan manfaat pasar domestik yang besar tersebut.
Pada saat yang sama kebijakan deregulasi dan debirokratisasi berhenti di
tengah jalan karena kepemimpinan ekonomi absen.
Pemerintah dan birokrasi Indonesia adalah
birokrasi pemalas atau bahkan sangat pemalas. Banyak negara secara intensif
dan serius telah mempraktikkan beragam kebijakan non-tarif secara luas dan
mendalam untuk melindungi pasar dalam negerinya. Sementara itu, Indonesia
telah dengan sengaja membiarkan pasar dalam negerinya dimanfaatkan dan
'dimakan' oleh para pelaku dan produk-produk luar negeri.
Ribuan kebijakan non-tarif telah dijalankan
oleh negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti China (2.194), Korea
Selatan (1.507), Jepang (1.294), Amerika (4.710) dan Uni Eropa (6.805). Ini
menunjukkan bahwa negara lain sangat agresif melindungi pasar dalam
negerinya. Kebijakan ini lumrah terjadi karena kondisi eksternal tidak
menentu, setiap negara menoleh ke dalam (inward
looking) dan ada arus balik deglobalisasi.
Sementara itu, pemerintah dan birokrasi
Indonesia malas menjalankan kebijakan perlindungan pasar dalam negerinya.
Sampai saat ini jenis dan ragam kebijakan non-tarif Indonesia untuk
melindungin pasar domestiknya hanya 298 macam saja. Dari indikator ini kita
bisa mengatakan bahwa pemerintah dan birokrasi pemalas dalam menjalankan
kebijakan perdagangan dan industri.
Presiden akan sia-sia blusukan dan sidak
kesana-kemari jika masalah birokrasi ini tidak diselesaikan. Untuk
mengatasinya perlu kepemimpinan ekonomi di tingkat kementerian dan tingkat
koordinator kementerian. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi akan
berhasil seperti tahun 1980-an jika dua faktor kunci dapat diatasi, yakni
birokrasi dan kepemimpinan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar