Jalan
Sunyi Pengorbanan
Yudi Latif ; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 20 Desember
2016
Dalam krisis dengan kehilangan rasa saling
percaya, diperlukan kejernihan mata batin untuk melihat jalan keluar. Namun,
gemerlap kehidupan pasca modern, seperti yang memaguti Indonesia saat ini,
adalah kehidupan yang disesaki kebisingan sampah suara. Politisi, pedagang,
ilmuwan, dan agamawan berlomba berebut pengeras suara, jualan "kecap
nomor satu". Nyaris tak ada yang siap mendengar suara orang lain, bahkan
suara batinnya sendiri.
Dalam pasar perebutan suara, ketika setiap
pihak datang dengan klaim kebenarannya sendiri-sendiri, tak ada suara yang
dapat dipercaya kecuali yang dikatakan dalam bahasa diam. Hanya dalam diam,
Tuhan sebagai bahasa kebenaran punya ruang untuk hadir di relung hati,
menemani kita dalam sunyi. Seperti kata Bunda Teresa, "Tuhan adalah
karib kesunyian. Pepohonan, bunga, dan rerumputan tumbuh dalam kesunyian.
Tengok juga bintang, bulan, dan matahari, semua bergerak dalam sunyi."
Momen kesunyian inilah yang mesti dihadirkan
umat Islam ketika memasuki masjid dan "rumah Allah" (Baitullah),
serta umat Nasrani ketika memasuki gereja dan hari Natal. Berhaji dan umrah
bukanlah rekreasi dalam gerombolan peziarah. Dan Natal bukanlah ekshibisi
kerlip lampu dan pohon natal. Keduanya merupakan ritus reflektif, untuk
mengenang para panteon peradaban, yang berani keluar dari jalan ramai, menuju
jalan sunyi.
Muhammad Asad dalam The Road to Mecca
melukiskan: "Terdapat lebih banyak lanskap yang indah di dunia, tetapi
tak satu pun, aku kira, yang dapat membentuk spirit manusia yang begitu kuat
seperti jalan ke Mekkah.... Padang pasir adalah sesuatu yang telanjang,
bersih, dan tak mengenal kompromi. Ia menghapus hati manusia dari berbagai
fantasi yang menghadirkan angan-angan palsu sehingga membuatnya bebas
menyerahkan dirinya terhadap sesuatu yang absolut yang tak bercitra: yang
terjauh di antara yang jauh, tetapi yang terdekat di antara yang dekat."
Dalam sunyi dan ketelanjangan diri, dengan
sengatan terik padang pasir, ada kekudusan dalam kepasrahan. Dalam kekudusan
dan kepasrahan, ada kekhusyukan dalam peribadatan. Dalam kekhusyukan
peribadatan, kesucian dan kebenaran Ilahi bisa didekati. Dalam kedekatan
dengan Ilahi, ada pijar pencerahan untuk mengemban misi kekhalifahan. Dan di
dalam misi kekhalifahan, ada pesan perdamaian.
Alhasil, kesunyian menghadirkan kekayaan yang
lain, yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia modern. Manusia modern
boleh jadi bergelimang harta benda, tetapi acap kali mengidap kemiskinan yang
lain. Bukan hanya kemiskinan keterasingan, melainkan juga kemiskinan
spiritual, yang membuat mereka hidup dengan penuh kecemasan dan kekerasan.
Hanya dengan belajar menghikmati sunyi,
manusia modern punya harapan untuk keluar dari kemiskinan sejenis ini. Dalam
kata-kata Bunda Teresa, "Buah dari kesunyian adalah peribadatan; buah
dari peribadatan adalah keyakinan; buah dari keyakinan adalah kecintaan; buah
dari kecintaan adalah pelayanan; buah dari pelayanan adalah perdamaian."
Setiap upaya pembebasan memerlukan latihan
kesunyian penggembalaan. Bukankah sebagian besar nabi pernah menjadi gembala
ternak, untuk belajar mengayomi di jalan sunyi? Lewat pelatihan olah batin
sepanjang jalan sunyi pelayanan, manusia dapat memadukan keimanan dan
pengorbanan. Seperti Siti Hajar yang terlempar dari keramaian Palestina
menuju kesunyian padang pasir lembah Bakkah (Mekkah), atau seperti Yesus dari
Nazaret yang terlempar dari kemapanan menuju sunyi penyaliban.
Al Quran dengan jelas mengingatkan bahwa
keimanan memerlukan ujian dalam bentuk pengorbanan. "Tidaklah beriman
seseorang hingga mengorbankan apa yang dicintainya kepada orang lain."
Dan justru di sinilah letak persoalan kita.
Keimanan kita tak menjadi sumber pembebasan
dan kemajuan karena menipisnya daya-daya kasih sayang dan semangat
pengorbanan. Elite penguasa dan pengusaha tidak terbiasa meletakkan tangannya
di atas, tetapi senantiasa di bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen
karena tak pernah merasa cukup dengan apa yang telah ditimbunnya dari
merampas hak orang banyak.
Seseorang datang hendak memberi uang kepada
sufi Ibrahim bin Ad-ham. "Aku tak mau terima sesuatu pun dari
pengemis," ujar Ibrahim. "Tetapi aku seorang yang kaya," ujar
orang itu. "Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar
dari yang telah engkau timbun sekarang?" kata Ibrahim. "Ya,"
jawabnya. "Bawalah kembali uang ini! Engkau adalah pemimpin dari para
pengemis."
Ya, betapa banyak orang menyandang predikat
pemimpin dan hartawan, tetapi dengan mentalitas pengemis. Dan dalam
mentalitas pengemis, tidak akan pernah ada kecukupan, tidak akan bersemi jiwa
pengorbanan.
Gelombang pasang gairah keagamaan hendaklah
tidak berhenti di keramaian permukaan. Semangat keagamaan harus mampu
menyelam ke kesunyian kedalaman spiritualitas untuk memulihkan sayap keimanan
dan sayap pengorbanan dalam kehidupan. Bersama tumbuhnya gairah keagamaan,
tumbuh pula daya asketisme, altruisme, dan toleransi.
Lewat momen reflektif menjelang pergiliran
tahun, semoga muncul kekuatan dan kelahiran baru. Seperti kata Carl Gustav
Jung, "Hanyalah dengan misteri pengorbanan diri, seseorang bisa
mengalami kelahiran baru." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar