Jakarta,
Merdeka atau Macet
Helena F Nababan ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Desember
2016
Sebaris teks "Merdeka atau Macet!"
di bus-bus transjakarta merepresentasikan tekad kota ini untuk menaklukkan
macet. Tahun ini, pertarungan dengan kemacetan itu ditandai perubahan
sejumlah kebijakan. Perbaikan infrastruktur mulai terlihat meski belum
menyeluruh.
Mulai 30 Agustus, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta menerapkan aturan ganjil genap sebagai pengganti 3 in 1 di sejumlah
ruas jalan protokol. Pada hari-hari bertanggal genap, kendaraan dengan nomor
mobil genap boleh melintas. Lalu, pada tanggal ganjil, kendaraan dengan nomor
ganjil yang boleh melintas.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi
(Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan, pengendalian lalu lintas
dengan pelat nomor ganjil genap merupakan kebijakan transisi sebelum
implementasi sistem jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP).
Kemacetan di jalan protokol pada jam sibuk
memang mereda. Namun, jalan-jalan non-protokol yang sebelumnya relatif
longgar kini hampir selalu macet.
Perkuat angkutan
publik
Dosen perencanaan wilayah dan kota Universitas
Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, penerapan aturan ganjil genap di jalur
protokol eks 3 in 1 dinilai baru mengurangi kemacetan secara terbatas dan
sementara. Aturan itu juga belum menyentuh persoalan mendasar terkait
pengaturan tata ruang dan transportasi di DKI Jakarta, yakni munculnya
pusat-pusat kegiatan secara tak terkendali. Selain itu, pusat kegiatan baru
ini juga tak didukung infrastruktur transportasi publik yang memadai.
"Kondisi ini membuat orang menggunakan
kendaraan pribadi dan enggan beralih ke angkutan publik," kata Yayat.
Di sisi lain, penilangan akibat pelanggaran
ganjil genap ini masih tinggi. Wakil Kepala Dishubtrans DKI Jakarta Sigit
Wijatmoko mencatat, sampai dengan 9 Desember 2016, kepolisian sudah
mengeluarkan 5.113 surat tilang.
Demi menarik pengguna angkutan umum, semua
koridor bus transjakarta disterilkan. Petugas berjaga di ujung koridor dengan
harapan jalur steril. Dalam sistem bus rapid transit (BRT), seperti
transjakarta, sterilisasi koridor merupakan hal yang perlu terus dilakukan.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta
(Transjakarta) Budi Kaliwono menyebutkan, sterilisasi koridor, penambahan
armada, serta perluasan rute membuat grafik jumlah pengguna transjakarta
naik. Pada Januari 2016, rata-rata harian 275.000 penumpang. Bulan November,
rata-rata harian tembus 402.000 penumpang.
Transjakarta masih perlu terus melakukan
pengadaan armada yang berkualitas dan meningkatkan pelayanan agar jumlah
pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum bisa bertambah
signifikan. Data Dishubtrans, baru 25 persen pengguna kendaraan pribadi yang
beralih ke transjakarta. Padahal, targetnya 65 persen perjalanan di Jakarta
memakai angkutan umum pada tahun 2030.
Kekurangan lain yang perlu segera diantisipasi
Pemprov DKI adalah penyediaan kantong parkir (park and ride) yang terjangkau
dan terintegrasi dengan halte bus transjakarta. Sejauh ini yang baru tersedia
adalah gedung-gedung perkantoran yang terletak berdekatan dengan koridor bus
transjakarta. Sebagian pengguna parkir di situ pun masih perlu berkendara
menuju halte transjakarta.
Infrastruktur
Sejumlah pembangunan infrastruktur lalu lintas
tengah berlangsung, seperti jalur MRT, LRT, pembangunan jembatan
penyeberangan Semanggi, beberapa jalan layang, dan penutupan lintasan
sebidang.
Sejumlah pembangunan infrastruktur ini
merupakan terobosan mewujudkan cita-cita sistem lalu lintas yang lebih
tertata dan terintegrasi antara Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Warga masih harus menunggu selesainya pembangunan tersebut untuk melihat
hasilnya.
Masdes Arroufy, Kepala Bidang Angkutan Jalan
dan Perkeretapian (BAJP) Dishubtrans DKI, menambahkan, mesti ada upaya untuk
penyediaan angkutan alternatif selain BRT untuk menarik pengguna kendaraan
pribadi ke angkutan umum. Pembangunan MRT dan LRT membutuhkan waktu karena
teknologi yang terbilang baru untuk Indonesia.
Jaringan transportasi
Dalam diskusi akhir tahun harian Kompas pada
Jumat (9/12), Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Ellen SW Tangkudung
mengatakan, transportasi publik di Jakarta membaik, ditandai dengan jaringan
transjakarta yang nyaris menjangkau seluruh Ibu Kota, juga MRT dan LRT yang
sedang dibangun.
Namun, Jakarta tetap mendapat julukan sebagai
kota dengan kemacetan luar biasa walaupun segala upaya perbaikan dan penataan
transportasi umum telah dilakukan. Jakarta pernah dinobatkan sebagai kota
paling macet sedunia menurut indeks Castrol's Magnatec Stop-Start pada tahun
2015.
Ellen berpendapat, persoalan kemacetan bukan
soal mengurangi kepadatan kendaraan di jalan saja. Lebih dari itu, manajemen
pergerakan orang perlu diperhatikan. Orientasi pergerakan harus dilakukan
dengan mengutamakan orang, bukan kendaraan.
Orang harus dimudahkan sejak berangkat (first
mile) hingga mencapai tujuannya (last mile) dengan angkutan umum. Menurut
Ellen, kegagalan merancang last mile akan menyebabkan sistem angkutan umum
menjadi tidak bermanfaat karena masih banyak warga tetap akan memilih
kendaraan pribadi.
Salah satu persoalan dalam sistem transportasi
umum adalah belum ada rasa aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Okupansi
trotoar oleh pedagang kaki lima dan parkir liar, ditambah kendaraan bermotor
yang masih sering naik ruang pejalan kaki, membuat trotoar tidak aman dan
nyaman. Padahal, pejalan kaki umumnya menggunakan angkutan umum.
Ellen mengatakan, Pemprov DKI Jakarta harus
konsisten menjalankan rancangan yang sudah ada untuk mencapai target 2030. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar