Ironi
di Balik Kebijakan Ekspor
Candra Fajri Ananda ; Dekan
dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 20 Desember
2016
Dahulu kala negara kita sangat terkenal
sebagai salah satu pusat aktivitas perdagangan internasional. Kehebatan peran
Indonesia dibangun karena faktor keunggulan geografis dan kekayaan sumber
daya alam (SDA) yang sangat beragam. Dari sisi keunggulan geografis,
Indonesia sering kali digambarkan sebagai jembatan imajiner yang
menghubungkan perdagangan lintas benua antara Asia dan Australia.
Daya tarik Indonesia berikutnya bersumber pada
sektor SDA yang sangat produktif hingga saat ini. Banyak negara di dunia yang
berlomba-lomba mengumpulkan berbagai hasil alam di Indonesia untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi ekonominya. Munculnya era
kolonialisme yang panjang juga diwarnai karena motif persaingan para negara
kapitalis yang ingin memonopoli SDA di negara kita.
Mereka kemudian mengekspor hasil SDA untuk
dipergunakan sebagai bahan konsumsi primer dan produksi sekunder di negara
asalnya. Jadi sebenarnya Indonesia sudah sangat lama menjadi “pelaku” ekspor
kelas dunia, namun pada saat itu kita lebih banyak menjadi penonton karena
nasib kita yang hanya sebagai tanah jajahan oleh bangsa lain. Berakhirnya era
Perang Dunia II tidak membuat arus ekspor-impor internasional ikut terhenti.
Bahkan situasi terkini semakin dipermanis
dengan berkembangnya beragam perjanjian bilateral dan multilateral yang
mengakomodasi ide-ide perdagangan mutualisme. Negara kita tentu tidak ingin
ketinggalan mengembangkan sayap bisnisnya ke berbagai belahan dunia. Kita
memiliki ekspektasi yang tinggi bahwa kebijakan ekspor merupakan salah satu cara
terbaik untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Bahkan sektor-sektor ekspor yang dikembangkan
tidak hanya bertumpu pada sektor primer seperti hasil pertanian dan
pertambangan. Indonesia ikut menjadi “latah” dengan melakukan revolusi
industri sejak zaman Orde Baru demi mengejar target peningkatan value added produksi dalam negeri.
Untuk itulah, mari kita evaluasi bersama sudah sejauh mana kinerja
pengembangan ekspor di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS,
2016), capaian ekspor kita sepanjang tahun ini sejak Januari hingga November
2016 mencapai USD130,652 miliar. Jika dihitung beserta nilai impor, kita
mendapat surplus neraca perdagangan sebesar USD7,794 miliar. Namun jika
dibandingkan dengan perolehan tahun lalu pada periode yang sama Januari-November
2015, pertumbuhan nilai ekspor kita justru minus 5,63%.
Pola ini melanjutkan tren sepanjang tahun 2011
hingga 2015 yang mengalami tren pertumbuhan rata-rata minus 6,59%. Terkait
dengan surplus perdagangan yang sedang kita raih saat ini, jangan terlalu
bungah terlebih dulu jika kita teliti faktor-faktor penyebabnya. Surplus
neraca perdagangan yang kita alami sekarang ini bukan disebabkan karena neraca
ekspor kita yang melangit, melainkan karena neraca impor kita yang
pertumbuhannya lebih menukik ke bawah dibandingkan dengan ekspor.
Dari sisi neraca impor, sepanjangJanuari-
November2016 total transaksi di Indonesia mencapai USD122,858 miliar. Jika
kita bandingkan dengan perolehan selama Januari- November 2015,
pertumbuhannya minus 5,94%. Tren impor per tahun rata-rata minus 4,96% dalam
kurun waktu 2011-2015. Kita sulit menyimpulkan apakah kita patut senang atau
harus bersedih menatap penurunan hasil impor beberapa tahun terakhir.
Kalau disimpulkan secara parsial, kita pantas
bergembira karena berarti kita dapat lebih banyak menyimpan cadangan devisa.
Namun untuk kasus di Indonesia, kita harus lebih berhati-hati menyimpulkan
karena neraca impor akan memiliki dampak yang luar biasa terhadap ekspor
kita, terutama ekspor yang dihasilkan dari industri pengolahan.
Pertanyaannya sekarang mengapa kinerja impor
berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor? Kalau kita lihat struktur impor
Indonesia sepanjang 2016, sebanyak 74,64% di antaranya merupakan bahan
baku/penolong yang nantinya didistribusikan ke sektor industri pengolahan.
Angka ini masih belum termasuk dengan impor barang modal yang mencapai 16,37%
dari total impor.
Jika kita asumsikan tidak ada aktivitas
substitusi impor yang bersifat radikal, kita patut ketar-ketir dengan situasi
yang ada karena ada pertanda terjadi penurunan produktivitas industri akibat
melemahnya permintaan impor. Industri pengolahan di Indonesia menurut
Kemenperin (2014) memang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
distribusi bahan baku/penolong serta barang modal impor hingga besarannya
mencapai 64%.
Dan celakanya lagi penopang terbesar ekspor
kita adalah industri pengolahan yang kontribusinya mencapai 76,27% terhadap
total ekspor. Simpulannya untuk saat ini, kalau kita benar-benar menargetkan
kinerja ekspor yang optimal, pemerintah harus serius menempatkan kinerja
industri pengolahan sebagai ujung tombak. Situasi industri pengolahan pada
beberapa tahun terakhir memang cenderung mengkhawatirkan.
Ketergantungan yang tinggi terhadap impor
bahan baku/penolong menjadi salah satu penyebab. Ketika kondisi perekonomian
global cenderung melambat dan prospeknya masih tetap simpang siur, sejatinya
itu nanti akan memukul mundur sektor industri dalam negeri. Belum lagi dengan
adanya fenomena high cost economy
akibat daya dukung yang lemah dari pengembangan infrastruktur. Kondisi ini
semakin dilengkapi dengan meredupnya geliat pasar internasional pada beberapa
komoditas strategis yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.
Indonesia telah banyak terkungkung dengan
situasi internasional yang sementara ini sulit menetapkan strategi
kebijakannya. Hubungan bilateral/multilateral justru ikut memperunyam
strategi pembangunan suatu negara karena terbangun hubungan kausalitas yang
kuat. Misalnya hubungan di antara Indonesia dengan China. Dengan komposisi
impor dari China yang mencapai 26,04%, selama performa ekonomi mereka masih
kembangkempis, perekonomian kita juga akan ikut pasang-surut.
Para kapitalis internasional berpotensi tetap
wait and see dengan spekulasi perekonomian dunia, terutama setelah
terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Donald Trump
yang memiliki latar belakang partai yang berbeda dengan Presiden Barack Obama
sangat dimungkinkan juga memiliki gaya kepemimpinan berbeda sehingga
spekulasi-spekulasi yang ada bisa bertahan dalam jangka waktu lebih panjang.
Persoalan ini berimbas pada nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS yang akhir-akhir ini semakin melemah. Ketika nilai tukar
rupiah melemah, otomatis pengeluaran untuk impor semakin membengkak. Untuk
itu berikut ini beberapa strategi yang penulis susun sebagai solusi perbaikan
daya saing kinerja di sektorsektor unggulan untuk ekspor.
Pertama, kekuatan ekonomi dalam negeri perlu
diperkuat melalui instrumen investasi dan konsumsi. Pemerintah pusat sudah
menetapkan 13 paket kebijakan ekonomi untuk kemudahan birokrasi investasi,
dan harapannya paket-paket tersebut mendapat follow-up yang baik dari tataran
kementerian pusat hingga pemerintah daerah.
Akses kredit permodalan juga perlu semakin
digeliatkan. Dana repatriasi hasil tax amnesty dapat juga digunakan sebagai
modal awalnya. Selain itu pemerintah perlu memberikan paket insentif untuk
mengembangkan industri bergenre substitusi impor. Ide ini penting untuk
mengebiri tingkat ketergantungan industri lokal terhadap distribusi impor,
jadi alangkah lebih baik jika kita persiapkan pasar input secara mandiri.
Gagasan pelengkapnya, pemerintah perlu menjaga
agar tingkat konsumsi masyarakat tetap progresif. Caranya dengan
menghubungkan kinerja investasi untuk penyerapan tenaga kerja, dan perbaikan
tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat konsumsi dan investasi yang menggeliat
akan menghidupkan optimisme bagi pelaku ekonomi.
Kedua, kebijakan investasi tidak terbatas pada
sasaran penanaman modal di sektor riil saja. Pemerintah perlu menggiatkan
investasi di sektor infrastruktur untuk mengurangi beban high cost econom y.
Biaya logistik kita terhitung paling tinggi
dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN seperti Singapura, Malaysia,
dan Thailand (Bank Dunia, 2016). Penyebabnya karena kita memiliki celah di
sisi regulasi, serta kualitas sarana dan prasarana transportasi yang sangat
terbatas. Dengan mobilisasi barang dan jasa yang dituntut untuk efisien, kita
juga harus menyediakan infrastruktur yang menjamin konektivitas antardaerah
dan antarpulau dapat berjalan optimal. Infrastruktur lainnya yang diperlukan
untuk menghidupkan sektor industri adalah listrik, gas, dan air bersih.
Ketiga, kualitas SD Mdomestik menjadi hambatan
kronis yang sulit diatasi pelaku ekonomi dalam negeri.
Maraknya impor tenaga kerja dari luar negeri
tidak dapat sepenuhnya kita bebankan hanya kepada investor. Karena
bagaimanapun di luar isu nasionalisme, para investor adalah figur-figur
rasional yang sangat memperhitungkan proyeksi profit. Menurut Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD, 2016) tenaga kerja lokal kita
memiliki keterbatasan keterampilan formal sehingga menghambat produktivitas
industri. Pemerintah dapat meningkatkan daya saing tenaga kerja kita dengan
membangun lembaga pengembangan keterampilan, yang fokus memenuhi kebutuhan
skill dan layanan sertifikasi yang dibutuhkan pasar tenaga kerja.
Keempat, pemerintah perlu membangun
kelembagaan politik yang kuat untuk menghimpun potensi-potensi dalam negeri.
Fenomena dominasi ekspor dalam bentuk barang
mentah (komoditi primer) atau setengah jadi menimbulkan pertanyaan sederhana,
apakah memang tidak ada industri domestik yang mau dan mampu mengelola produk
tersebut? Nah, inilah yang perlu kita konfirmasi. Kadang kekurangan kita
selama ini adalah cenderung latah dengan kebijakan di negara lain sehingga
tidak fokus pada pengembangan potensi dalam negeri.
Tradisi ini lah yang perlu
segera kita perbaiki. Kalau kita benar-benar ingin menjadi negara yang kuat,
kita harus memikirkan terlebih dahulu bagaimana menghimpun kekuatan,
kelemahan, dan proyeksi kebijakan pengembangannya sejak dari input hingga
tahapan output. Selama kita masih “dijajah” kepentingan-kepentingan yang
tidak bermanfaat untuk pengembangan perekonomian dalam negeri, selama itulah
kita hanya akan menjadi penonton dalam aktivitas perdagangan luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar