Habis
"Hoax" Terbit Kewarasan
Aloysius B Kurniawan ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 26 Desember
2016
"Teknologi adalah
sebuah keanehan; dengan satu tangan dia memberimu hadiah besar dan dengan
tangan lainnya dia menusukmu di belakang."
Charles Percy Snow
Kutipan Snow di atas mengawali bab pertama
Future Crimes (2015), buku fiksi berbasis fakta sains karya Marc Goodman yang
mengungkap bagaimana aktor-aktor jahat membajak teknologi masa depan, seperti
robot, biologi sintetik, nanoteknologi, realitas virtual, bahkan kecerdasan
buatan. Teknologi membawa kelimpahan sekaligus ketidakpastian.
Kebanalan pembajakan teknologi banyak terjadi
sepanjang tahun 2016. Contoh kasus yang cukup menonjol terjadi menjelang
pemilihan presiden Amerika Serikat.
Tiga bulan sebelum pemilihan presiden digelar,
berita-berita palsu alias hoax bertengger di papan atas lini masa media
sosial. Yang mengherankan, berita-berita palsu tersebut cenderung lebih
populer dan memiliki daya pengaruh lebih besar daripada berita-berita terbitan
media arus utama.
Siapa pun kini tak luput dari paparan
informasi anonim di dunia maya. "Tsunami" informasi digital kadang
tak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berhenti sejenak dan
bertanya.
Inilah realitas yang tak bisa dihindari mengingat
lebih dari setengah penduduk Indonesia
adalah pengguna internet. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2016
mencapai 132,7 juta orang atau sekitar 51,8 persen dari seluruh penduduk
Indonesia.
Menyaru dan
sensasional
Peredaran berita-berita palsu banyak
menggunakan situs-situs yang berpenampilan menyaru seolah-olah merupakan
portal berita. Konten-konten yang disuguhkan biasanya sensasional dan
provokatif.
Situs gudanghoax.com yang diinisiasi sejumlah
bloger anti hoax menyebut tiga hal mengapa orang membuat situs abal-abal
berisi aneka informasi bohong. Pertama, untuk mencari sensasi dan ketenaran.
Kedua, sengaja dibayar untuk menyebar fitnah, kebencian, dan informasi yang
menyesatkan. Ketiga, mencari uang dari pemasang iklan.
Dalam konteks sosial media, mereka yang
melakukan tiga hal di atas biasa disebut buzzer atau agen yang memiliki
pengaruh dan banyak pengikut. Mereka biasa "disewa" pihak-pihak
tertentu untuk menguasai dan memenangkan kompetisi.
Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia, Tommy F Awuy, menyebut buzzer sebagai sebuah pekerjaan
profesional. Sebab, dia memiliki keterampilan atau kemampuan khusus. Dengan
strategi, buzzer bisa memengaruhi bahkan mengonstruksi realitas.
Awalnya, buzzer menjadi bagian dalam strategi
pemasaran sebuah produk. Mereka yang bertindak sebagai buzzer biasanya
orang-orang terkenal, mulai dari artis, olahragawan, ilmuwan, penulis, dan
tokoh masyarakat. Belakangan, berkembang pula buzzer dalam dunia politik yang
tak terbatas pada mereka yang memiliki banyak pengikut dan dikenal luas,
tetapi juga mereka yang sama sekali tak dikenal.
Dunia media sosial dan buzzer adalah dunia
dalam bahasa performatif. Twitter, Instagram, Facebook dan sebagainya
bukanlah dunia dengan semangat menunjuk pada kebenaran atau oposisi biner
benar vs salah, melainkan berpengaruh atau tidak.
Tommy menganjurkan agar siapa pun tak
terlampau serius menggunakan logika untuk mengkritik kinerja buzzer.
"Jika terhibur, ikuti saja pewartaannya tanpa harus terpengaruh. Jika
merasa dihina, sebaiknya kita hapus dari linimasa. Sebab, kalau diserang
balik, sia-sia saja karena jelas dia tidak akan terpengaruh. Bagi dia, cuma
satu hal yang penting, yaitu mendapat imbalan, sementara kita cuma menerima
sakit hati kalau tidak jantungan," kata Tommy sembari tertawa dalam
diskusi publik: "How the Media has Controls Us" di Universitas
Negeri Jakarta pekan lalu.
Dalam kesempatan sama, sosiolog Universitas
Negeri Jakarta, Robertus Robet, melihat buzzer dalam konteks sosiologi dan
filsafat bukanlah hal baru. Akhir 1800-an, Karl Marx pernah berkata, mereka
yang menguasai basis material akan menguasai gagasan dalam suatu zaman.
Sayang sekali, dalam upayanya menguasai
gagasan, buzzer tidak mempertimbangkan akibat di masyarakat dari aneka
informasi yang ia sebarkan. Bagi mereka, seleksi tidak penting sehingga
rasionalitas pun tidak jalan.
Melawan
"hoax"
Menyikapi semakin masifnya peredaran
berita-berita palsu oleh buzzer-buzzer bayaran, belakangan bermunculan
gerakan masyarakat anti hoax. Secara khusus, mereka menyiapkan platform untuk
mengklarifikasi dan menyaring aneka macam informasi ataupun berita palsu yang
berseliweran di media sosial.
Gudanghoax.com, misalnya, blog ini dirintis
oleh anggota Whatsapp Piknik 100 Orang pada 31 Oktober 2016. Ide membuat blog
ini bermula dari suatu pagi ada anggota grup yang menanyakan mengenai
keabsahan salah satu edaran pesan diterima.
"Setelah melakukan verifikasi, kami meyakini
bahwa pesan tersebut tergolong hoax dan bisa dikirim oleh siapa pun tanpa
memandang latar belakang pengirim," kata Dolly Surya Wisaka, kontributor
sekaligus editor gudanghoax.com dalam situs tersebut.
Beberapa pembuat aplikasi yang tergabung dalam
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia juga mengembangkan aplikasi Turn Back Hoax.
Aplikasi berbasis crowdsource ini dirancang untuk mengumpulkan berbagai
informasi fitnah dan palsu, baik itu halaman situs, pesan berantai, maupun
gambar.
Aplikasi ini didesain agar bisa menjadi basis
data berita fitnah dan hoax yang dapat digunakan masyarakat sebagai tempat
rujukan untuk memverifikasi aneka macam informasi.
Salah satu pembuat aplikasi ini, Khairul
Anshar, mengatakan, basis data ini juga bisa digunakan untuk menganalisis
pola-pola berita fitnah dan palsu, mengelompokkan topik-topik palsu, orang
atau kelompok yang diserang, dan media yang digunakan. Sebagai sebuah
aplikasi crowdsource, Turn Back Hoax mengandalkan partisipasi masyarakat guna
melaporkan setiap berita fitnah dan palsu yang tersebar luas di internet.
Kini, aplikasi Turn Back Hoax baru tersedia di
Google Chrome extension. Dalam waktu dekat, tim pengembang akan menyiapkan
aplikasi Turn Back Hoax untuk Android dan IOS. Untuk mengakses basis data
berita fitnah dan palsu, masyarakat bisa membuka data.turnbackhoax.id
menggunakan mesin perambah Safari, Chrome, dan Firefox.
Di jejaring sosial Facebook, gerakan
pemberantasan informasi dan berita-berita palsu juga muncul, salah satunya di
fanpage Indonesian Hoaxes Community. Di grup yang beranggotakan 31.795
anggota ini, anggota bisa saling bertanya dan mengklarifikasi aneka macam
informasi ataupun berita tak jelas.
Di tengah kegilaan yang sedang menjangkiti
dunia media sosial, pegiat sosial media, Shafiq Pontoh, mengingatkan perlunya
masyarakat dan media arus utama mengambil alih kembali otoritas terhadap
informasi. Dengan membuka lebar-lebar rasionalitas dan saraf kekritisan,
diharapkan tumbuh kewarasan di tengah masyarakat. Habis hoax terbitlah
kewarasan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar