Guru,
Radikalisme, dan Dunia Maya
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Guru
, Alumnus Magister Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
02 Desember 2016
TIDAK bisa dimungkiri bahwa persoalan terorisme merupakan
masalah serius yang dihadapi bangsa ini. Bahkan sekolah harus benar-benar
memberikan perhatian khusus terhadap pola pembelajaran bagi anak-anak didik,
bagaimana mengantisipasi atau menihilkan pengaruh terorisme. Yang pasti
tantangan pendidikan sekarang ini sangat kompleks. Salah satunya ialah
terorisme. Sekolah tidak bisa tinggal diam dengan persoalan ini karena tidak
sedikit anak muda lulusan sekolah banyak tergabung dalam barisan teroris.
Pendidikan di sekolah tidak cukup diberikan apa adanya, tetapi
harus didesain dengan berbagai materi baru atau pelatihan sehingga siswa
tidak buta dalam membaca laju peradaban zaman yang makin kencang. Kalau
pengajar salah memberikan materi ilmu pengetahuan, siswa bisa terjerumus
dalam peta terorisme global yang membahayakan. Guru menjadi faktor penentu
karena siswa di masa depan jangan sampai menjadi korban, tetapi menjadi
solusi bagi berbagai persoalan bangsa.
Di sinilah tantangan serius guru dan sekolah dipertaruhkan
sehingga sekolah menjadi rujukan utama siswa dalam membaca peta dunia yang
terus bergerak. Wajah terorisme hari ini mengalami perkembangan baru. Menurut
Agus Surya Bekti (2015), terorisme menjadikan media sosial sebagai instrumen
yang tidak hanya menghadirkan propaganda baru yang mengancam NKRI, tetapi
juga didesain untuk merekrut kelompok remaja. Beberapa contoh dari berbagai
negara yang bergabung dengan IS ke Suriah ialah kalangan remaja dengan
kisaran usia 18-25 tahun yang sebagian karena terpengaruh melalui media
sosial.
Anehnya lagi, dunia maya mampu merekrut kalangan terdidik dan
kelas menengah. Agus mencontohkan seorang Ayman al-Zawahiri, pemimpin
Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan kepada pemimpin Al-Qaeda
di Irak (AQI) Abu Musab al-Zarqawi, 'Kita sedang dalam peperangan dan separuh
lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam peperangan
media demi merebut hati dan pikiran umat kita'. Jelas sekali, peperangan
media telah lama ditabuh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus
strategi baru.
Pada 1988 Osama bahkan telah membentuk departemen media di dalam
struktur organisasinya. Kini kehadiran media internet telah membuat medan
perang itu semakin rumit. Media internet dimanfaatkan kelompok teroris
sebagai kontranarasi dari media mainstream. Fakta ini harus menyadarkan
bangsa Indonesia, khususnya lembaga pendidikan. Ini juga berangkat dari
penelitian Sidney Jones, peneliti terorisme dari International Crisis Group
(ICG), yang melihat sekolah banyak mengajarkan intoleransi, termasuk lahir
dari rohis yang menjamur.
Komunitas rohis sering kali mengajarkan Islam yang marah
sehingga melahirkan corak pemikiran keislaman siswa yang intoleran (ICG:
2011). Demikian juga dilaporkan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Jakarta (2012) dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)
Pascasarjana UGM (2012) yang menjelaskan sikap intoleransi banyak dilakukan
di kalangan guru agama.
Tantangan
pendidikan
Sekolah ialah sumbernya ilmu pengetahuan. Perilaku masyarakat
dan bangsa ini sangat terkait dengan apa yang dipelajari dan diajarkan di
sekolah. Dari sini, sekolah mempunyai peran penting dalam pembentukan
masyarakat. Guru sebagai ujung tombak sekolah harus berada di garda paling
depan dalam mewujudkan sekolah sebagai lembaga yang menghadirkan wacana dan
aksi keberagamaan yang jauh dan menjauhkan terorisme. Untuk itu, guru harus
bergerak dan bangkit dengan penuh semangat sehingga sekolah memberikan bekal
yang kuat bagi peserta didik dalam menjawab problem terorisme global.
Ada beberapa hal yang mesti dilakukan guru. Pertama, bagi guru
agama, sudah saatnya menghadirkan wajah ajaran agama yang ramah, bukan agama
yang marah. Ini harus diperankan guru agama dengan baik sehingga ajaran agama
yang diberikan kepada siswa membangun mental siswa yang menenteramkan dan
menyejukkan, bukan agama yang marah dan merusak orang lain. Guru agama juga
harus membaca peta gerakan terorisme global sehingga tidak salah tafsir dalam
memberikan penjelasan kepada siswa ihwal berbagai tragedi terorisme global
yang mesti dipahami dengan baik oleh siswa.
Kedua, guru, apa pun mata pelajarannya, harus mengajak siswa
untuk cinta kepada tanah air bernama Indonesia. Ajaran cinta tanah air ini
akhir-akhir ini mulai pudar sehingga siswa menjadi kosong dan hampa dalam
memahami kehidupan berbangsa dan bernegara. Cinta tanah air tentu saja harus
dibarengi dengan berbagai kisah perjuangan para pendiri bangsa ini dalam
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Jangan sampai siswa lupa dengan
sejarah bangsanya sendiri. Atau dalam ungkapan Bung Karno, "Jangan sekali-kali
melupakan sejarah (jasmerah)."
Ini akan mampu membentuk mental siswa yang cinta tanah air yang
berpijak pada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Ketiga,
guru dan sekolah dalam berbagai kegiatan dan event harus menginternalisasikan
nilai-nilai keindonesiaan untuk meneguhkan karakter siswa. Nilai-nilai luhur
bangsa harus masuk berbagai ekstrakurikuler sehingga siswa menyelami makna
luhur yang diciptakan para pendahulunya.
Nilai-nilai luhur bangsa harus selalu dihidupkan sehingga siswa
mengenal lebih mendalam nilai hidup yang sudah tertanam ratusan tahun dan
terbukti memberikan daya kolektivitas dan kedamaian bagi bangsa ini. Guru
mesti mampu mengkreasikan dengan berbagai inovasi sehingga siswa mendapatkan
sentuhan yang alamiah dan berkepribadian. Tiga hal itu harus digerakkan
bersama-sama oleh seluruh guru. Siswa harus dilibatkan lebih aktif sehingga
guru dan siswa mempunyai sinergi dan dialektika. Bisa juga menggunakan
kreativitas lain, yang penting mampu membentuk karakter siswa yang cinta
tanah airnya, toleran, menghargai jasa para pejuang, dan siap berjuang untuk
Indonesia masa depan.
Desain ulang
kurikulum
Tantangan terorisme global juga mesti dibarengi guru dengan
memformat ulang desain kurikulum yang ada. Tantangan di depan mata selalu
berkembang secara cepat, sedangkan desain kurikulum sudah baku sebagaimana
dicetak Kemendikbud dan Kemenag. Untuk itu, dalam aplikasinya di kelas, guru
harus mampu menghadirkan wajah kurikulum yang bisa menjawab berbagai problem
aktual yang terus berkembang. Desain kurikulum tidak cukup hanya mengacu
dalam kertas saja, tetapi juga mesti disinergikan dengan berbagai problem
kemasyarakatan yang selalu muncul setiap saat.
Desain kurikulum bukan berarti mengganti kurikulum. Desain di
sini ialah kemampuan guru untuk hadir dengan suasana dan pola yang
menyegarkan, sesuai dengan problem yang sedang dihadapi siswa. Ini bukan saja
membutuhkan belajar yang serius, tetapi guru juga mesti cerdas secara
emosional dan rohani sehingga siswa mampu menangkap pesan universal setiap
ilmu sebagai bekal kehidupan sehari-hari. Tantangan ini memang berat, tetapi
jiwa guru harus selalu siap dengan 'takdir/jalan hidup' yang penuh keberkahan
dan ketulusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar