Daya
Kreatif dari Daerah
GRE/NIT/DIA/HRS/TAM/ika ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 23 Desember
2016
Industri pariwisata Indonesia kian berkembang
akhir-akhir ini. Pengembangan pariwisata ini tidak hanya dilakukan pemerintah
pusat yang antara lain menetapkan 10 destinasi wisata prioritas, tetapi juga
pemerintah daerah dan masyarakat yang menangkap peluang pengembangan
destinasi wisata baru berbasis komunitas dan budaya. Masyarakat kian hirau
dengan potensi alam serta sumber daya di sekitarnya yang kaya dan beragam,
dan melihat hal tersebut sebagai peluang untuk berkembang. Daya kreatif dan
inovatif pun menyebar hingga ke sudut-sudut desa, menumbuhkan desa-desa
wisata sebagai roda penggerak ekonomi baru.
Beberapa wilayah yang sebelumnya lebih dikenal
sebagai daerah tertinggal dan miskin kini bersolek. Di Jawa Tengah,
Purbalingga menjadi daerah yang paling bersemangat membangun desa wisata.
Saat ini tercatat 15 desa wisata di daerah ini. Sebagian besar mengandalkan
daya tarik alam dipadu dengan kreativitas pengemasan wisata.
Desa Panusupan di Kecamatan Rembang, misalnya,
menawarkan keindahan alam dari puncak Igir Wringin dengan rumah pohonnya dan
puncak Bukit Batur dengan kursi raksasanya. Belum lama ini, masyarakat
setempat menambah wahana jembatan bambu berbentuk hati di tengah sawah yang
kemudian menjadi viral di media sosial. Dampaknya, pengunjung meningkat dari
11.000 orang per tahun, menjadi 98.000 orang per tahun. Desa Panusupan pun
tahun ini dinobatkan sebagai desa wisata terbaik se-Jateng.
Banjarnegara, salah satu daerah termiskin di
Jateng yang lebih dikenal sebagai wilayah rawan bencana, kini juga mulai
mengembangkan desa wisata. Berada di perbukitan di lereng Dataran Tinggi
Dieng, sebagian besar desa di Banjarnegara dianugerahi keindahan alam. Salah
satu yang sedang naik daun adalah Bukit Asmara Situk (BAS) di Desa
Kalilunjar, Kecamatan Banjarmangu.
Pihak desa memanfaatkan hobi remaja
berswafoto. Warga mengalokasikan dana swadaya sekitar Rp 25 juta untuk
membuat titik-titik pengambilan foto dari ketinggian, di antaranya berupa
rumah panggung, jembatan pohon, dan gardu pandang. Kini, dari tiket masuk dan
parkir, pendapatan BAS rata-rata Rp 30 juta per bulan. Selain menjadi
tambahan pendapatan bagi pengurus kelompok wisata, sebagian pemasukan juga
digunakan untuk menambah kas desa.
Gereget yang sama muncul di Banyumas. Banyak
desa mengembangkan wisata berbasis alam dan budaya secara mandiri. Saat ini
paling tidak ada enam desa wisata di Banyumas, kebanyakan penggeraknya adalah
kaum muda. Mereka mengemas tradisi, atraksi budaya, dan potensi alam menjadi
paket wisata yang unik.
Di Klaten, warga Desa Ponggok, Kecamatan
Polanharjo, juga berhasil mengembangkan potensi desa berupa mata air yang
semula hanya untuk keperluan pertanian, perikanan, dan kebutuhan air bersih
warga setempat. Sejak beberapa tahun terakhir, warga mengelola mata air Umbul
Ponggok tersebut untuk wisata air tawar.
Beberapa tahun terakhir, di sejumlah wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta juga muncul sejumlah obyek wisata baru yang
digerakkan masyarakat. Masyarakat menawarkan destinasi wisata baru di
tengah-tengah pariwisata berbasis budaya di DIY. Di Kabupaten Gunung Kidul,
misalnya, ada obyek wisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang mengandalkan
panorama alam dari puncak bukit. Di Kabupaten Sleman, ada Desa Wisata
Pulesari yang mengandalkan suasana perdesaan yang asri.
Di sudut Kota Malang di Jawa Timur, warga
kampung pinggir Sungai Brantas di Kecamatan Blimbing berkreasi mengubah wajah
kampung yang semula kumuh menjadi indah dan menarik wisatawan datang. Warga
di Kelurahan Jodipan mengecat rumah mereka dengan cat warna-warni, yang
melahirkan Kampung Warna-Warni. Adapun warga di Kelurahan Kesatrian mengecat
rumah mereka dengan lukisan tiga dimensi, yang melahirkan Kampung 3D. Hasilnya,
pengunjung terus berdatangan, rata-rata 100 orang per hari dan pada hari
libur bisa 1.000 orang per hari.
Menumbuhkan usaha
Kreativitas memang menjadi kunci dalam
pengembangan desa ataupun kampung wisata. Kehidupan keseharian warganya di
bidang sosial, ekonomi, dan budaya merupakan pesona yang unik, yang jika
dikelola dengan baik akan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang biasa
berhadapan dengan kehidupan modern perkotaan. Lebih dari itu, kedatangan
wisatawan dapat menumbuhkan berbagai usaha yang juga dikelola masyarakat,
mulai dari jasa parkir kendaraan, penjualan makanan, souvenir, hingga rumah
inap (homestay).
Geliat pariwisata di Gunung Api Purba
Nglanggeran beberapa tahun terakhir telah menumbuhkan sekitar 80 homestay
dengan kapasitas sekitar 280 orang. Sementara di Desa Wisata Pulesari
terdapat 40 homestay dengan total kapasitas sekitar 400 orang. Sasarannya
adalah wisatawan yang datang bersama keluarga dan sudah jenuh dengan
kehidupan kota. Karena itu, warga menawarkan suasana desa yang asri.
Keberadaan homestay tersebut juga bisa menjadi
alternatif penginapan bagi wisatawan yang datang ke Yogyakarta saat liburan.
Saat masa liburan panjang, sebagian besar hotel di Yogyakarta pasti terisi.
Jarak kedua tempat wisata tersebut dari pusat Kota Yogyakarta hanya sekitar
25 kilometer dan 15 kilometer.
Di Jawa Barat, homestay tumbuh pesat.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jabar, seiring
dengan perkembangan desa wisata, saat ini terdapat sekitar 100.000 homestay
di daerah wisata di Jabar. Meskipun kini mengelola homestay, warga di
perdesaan tetap menekuni pekerja mereka sebagai petani. Di Desa Ciburial,
Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, misalnya, warga tetap mengelola lahan
perkebunan sayur. Selain untuk menjaga keindahan desa, hal ini juga menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, berawal dari
memberi tumpangan kepada wisatawan untuk menginap, sejumlah warga sukses
mengembangkan homestay secara mandiri. Sekitar 3.500 kamar hotel dan losmen
di Banyuwangi tak mampu menampung ribuan wisatawan yang datang, terutama saat
libur panjang dan pergelaran festival seni budaya.
Kunjungan wisatawan di Banyuwangi terus
meningkat. Jika pada 2010 jumlah wisatawan hanya 600.000, tahun ini hingga
pertengahan Desember sebanyak sekitar 1,2 juta. Karena itu, pemerintah daerah
setempat menargetkan pembangunan 1.000 homestay, bukan hotel, karena
manfaatnya langsung dirasakan warga. Pemkab pun memberikan sejumlah pelatihan
kepada warga di desa-desa seperti pelatihan membuat sarapan ataupun bahasa
asing.
Pengembangan sumber daya manusia menjadi salah
satu kunci untuk mempertahankan keberlanjutan pariwisata berbasis komunitas.
Hal serupa juga dilakukan Pemerintah Provinsi Jabar yang terus memberikan
pelatihan dan bimbingan kepada warga di sekitar lokasi wisata. Tantangan
terbesar memang mengubah perilaku masyarakat yang agraris menjadi pelaku
ekonomi wisata.
Selain mengelola industri pariwisata, seperti
obyek wisata dan usaha yang tumbuh seiring perkembangan obyek wisata
tersebut, masyarakat juga diberi kesadaran bahwa perilaku mereka harus
mendukung pengembangan pariwisata. Sikap ramah kepada wisatawan dan menjaga
kebersihan lingkungan sering kali masih harus terus ditumbuhkan di
masyarakat. Dalam pariwisata, keramahan tuan rumah dan kenyamanan obyek
wisata menjadi hal utama.
Perekonomian
masyarakat
Usaha-usaha yang tumbuh seiring perkembangan
pariwisata berbasis komunitas tersebut membuktikan bahwa sektor ini secara
langsung menggerakkan perekonomian masyarakat. Seiring berkembangnya
pariwisata di Desa Panusupan, perlahan perekonomian warganya pun mulai
tumbuh. Lima tahun lalu tidak ada mobil di Panusupan, kini lebih dari 20
warga memiliki mobil. Rumah-rumah warga yang dahulu kebanyakan dari papan,
kini banyak yang sudah ditembok. Kas desa yang pada 2010 baru sekitar Rp 50
juta, saat ini mencapai Rp 150 juta, sebagian besar disumbang pariwisata.
Di obyek wisata Umbul Ponggok, masyarakat
berinvestasi untuk mengembangkan obyek wisata tersebut, rata-rata Rp 5 juta
per orang. Ditambah pendapatan badan usaha milik desa Tirta Mandiri yang
mengelola Umbul Ponggok dan Pemerintah Desa Ponggok, nilai investasi tersebut
selama lima tahun terakhir mencapai Rp 4,5 miliar. Hasil investasi ini pun
menjadi sumber pemasukan warga yang menanamkan uangnya di wisata air ini,
rata-rata Rp 5.000 per bulan.
Perkembangan pariwisata di Banyuwangi lima
tahun terakhir, baik yang digerakkan oleh pemerintah daerahnya maupun
masyarakatnya, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator,
pendapatan per kapita warga melonjak 80 persen, dari Rp 20,8 juta per tahun
pada 2010 menjadi Rp 37,7 per tahun pada 2015. Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Banyuwangi naik signifikan 85 persen, dari Rp 32,4 triliun pada 2010
menjadi Rp 60,2 triliun di 2015. Lima tahun terakhir, pariwisata menjadi nadi
ekonomi baru di Banyuwangi.
Karena itu, pemerintah terus mendorong
pengembangan pariwisata berbasis komunitas, targetnya pada 2015-2019 mencapai
4.000 desa wisata. Sejak dikumandangkan pada 2015, hingga November lalu
paling tidak 150 desa wisata telah terbangun.
Untuk mencapai target tersebut, bukan hanya
pelibatan masyarakat dan pelaku industri pariwisata yang dibutuhkan, komitmen
pemimpin yang kuat menjadi sebuah keharusan. Bekal alam dan budaya yang indah
tak akan bisa dikembangkan jika tak ada keberpihakan untuk mengembangkannya.
Pengembangan desa wisata melalui pariwisata kreatif (creative tourism) ini
harus terus dilakukan.
Manisnya dunia pariwisata telah disambut oleh
warga di pelosok desa. Mereka menolak menjadi penonton saja. Dengan
kreativitas dan sumber daya alam yang mereka miliki, mereka ikut mengejar
mimpi mengubah nasib. Nadi ekonomi pariwisata mulai mereka alirkan ke
desa-desa dengan cara-cara sederhana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar