Darurat
Pola Pikir
M Zaid Wahyudi ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 24 Desember
2016
Setahun terakhir, bangsa Indonesia dihadapkan
pada situasi emosional. Kesulitan menalar dan berpikir kritis mengikis
persaudaraan dan saling percaya anak bangsa. Sebaliknya, curiga, benci, dan
eksklusivitas meraja. Ujian sepertinya masih berulang pada tahun depan.
Sejak Pemilu Presiden 2014, masyarakat seolah
terbagi dua, antara kelompok pengagum (lover) dan pembenci (hater). Jika
pembedanya dulu hanya soal pilihan presiden, kini beragam, mulai dari
penyikapan unjuk rasa hingga perdebatan Bumi bulat versus Bumi datar.
Setiap kelompok membangun argumentasi demi
menguatkan diri dan kelompoknya serta memengaruhi kepercayaan lawan. Teori
konspirasi sering dijadikan pijakan untuk berargumen dengan memanfaatkan
informasi dangkal, tak lengkap, dan tanpa data. Teks lebih penting
dibandingkan dengan konteks.
Provokasi, cacian, dan fitnah sering menyertai
argumen yang disampaikan. Etika, sopan santun, dan penghormatan atas
perbedaan tidak dipertimbangkan.
Media sosial membuat pandangan berdasar teori
konspirasi yang miskin saringan kian mudah menyebar. Sejumlah tokoh pun
menduplikasi pandangan itu hingga teori konspirasi menyebar ke pelosok negeri
melintasi batas geografis dan latar belakang sosial, ekonomi, serta
pendidikan.
"Masyarakat makin kabur, bingung mana
yang benar dan tidak benar, mana informasi bohong atau betul," kata
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado
Taufiq Pasiak, Rabu (21/12).
Masyarakat seolah dihadapkan hanya pada dua
pilihan yang bertentangan dan menafikan kemungkinan adanya pilihan lain.
Tak berdaya
Repotnya, hampir semua isu yang berkembang
dimaknai dengan teori konspirasi. Mulai dari isu tenaga kerja asal Tiongkok,
vaksinasi, pengampunan pajak, impor makanan kaleng Thailand, hingga
pencetakan uang baru. Bahkan fenomena "Om Telolet Om" dinilai
sebagai upaya pendangkalan keyakinan agama.
Kemunculan berbagai teori konspirasi merupakan
reaksi atas ketidakberdayaan menghadapi ketidakpastian dan ketidakmampuan
mengontrol situasi yang terjadi. Mereka yang menghadapi situasi itu biasanya
berusaha memahami dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Usaha itu membuat mereka menghubungkan
hal yang di kehidupan nyata belum tentu saling berkait," kata psikolog
sosial dari Universitas Vrije Amsterdam, Belanda, Jan-Willem van Prooijen,
seperti dikutip time.com, 14 Agustus 2015.
Otak manusia memang memiliki kapasitas luar
biasa untuk mengembangkan narasi. Saat tak berdaya dan menghadapi
ketakpastian, bagian otak yang disebut amigdala akan menganalisis, menelaah
ulang informasi, hingga menciptakan narasi yang koheren dan mudah dipahami.
Namun, otak pada dasarnya membenci keacakan.
Manusia takut, situasi acak itu akan menghancurkan mereka.
"Cara termudah melawan ketakutan itu
adalah memercayai teori konspirasi sehingga mereka bisa menunjuk orang lain
untuk disalahkan," ujar ahli kognitif Universitas Western Australia,
Stephan Lewandowsky, seperti dikutip psychologytoday.com, 28 Mei 2015.
Manusia memang lebih suka hidup dengan hal-hal konyol dibanding rasa takut.
Namun, umumnya orang akan mengonfirmasi teori
konspirasi yang mereka terima. Masalahnya, konfirmasi itu sering menghadapai
kesalahan standar, bias konfirmasi yang merupakan penyimpangan dari berpikir
kritis. Bias karena mereka hanya mencari informasi pendukung anggapannya atau
pikirannya.
Hal yang mereka cari adalah pembenaran, bukan
kebenaran. Akibatnya, gunungan bukti diabaikan dan meyakini sejumput bukti
paling sesuai pikirannya.
Teori konspirasi umumnya muncul di tengah
ketidakpastian dan histeria massal, seperti krisis ekonomi, serangan teror,
bencana alam, dan konflik politik.
Psikolog Universitas Westminster, Inggris,
Viren Swami, di nytimes.com, 21 Mei 2013, menyebut mereka yang membangun dan
percaya teori konspirasi biasanya memiliki pandangan sinis pada dunia atau
persoalan politik. Kepercayaan diri untuk memberi arti bagi dunia juga
rendah.
Taufiq menambahkan, mudahnya teori konspirasi
berkembang di Indonesia tak lepas dari tak terbiasanya masyarakat menalar,
berpikir kritis, dan skeptis atas setiap informasi yang diperoleh. Akibatnya,
rumor dan gosip pun lebih mudah diterima.
"Bangsa Indonesia tidak cukup mampu
mengolah pikiran dan menalar, mereka lebih mengedepankan insting,"
katanya.
Berpikir kritis
Di tengah derasnya informasi era digital saat
ini, ketidakmampuan menalar itu membahayakan. Anak Indonesia akan sulit
mengolah informasi, bahkan yang sederhana sekalipun. Kondisi itu sudah jadi keluhan
sebagian pengusaha karena banyaknya pekerja yang gagap memahami panduan
tertulis kerja.
Dosen kosmologi Institut Teknologi Bandung,
Premana W Premadi, saat berpidato di Forum Pidato Kebudayaan, Dewan Kesenian
Jakarta, 10 November lalu, menyebut ketakmampuan menalar itu membuat
seseorang mudah terdisorientasi karena pijakan logikanya tak kokoh.
Pengetahuan yang mereka miliki belum cukup
untuk menilai dan menyaring informasi. Akibatnya, muncul salah pengertian,
salah perhitungan, salah paham, dan salah putusan. Persoalan inilah yang
sering memicu banyak masalah dan ketegangan dunia.
"Akar semua itu kurangnya latihan
berpikir sehingga ruang gerak pikirannya sempit," katanya.
Tanpa kemampuan menalar, sulit menumbuhkan
dialog antarkelompok berbeda, bukan kelompok satu ide. Dialog butuh kemampuan
bahasa untuk menata dan mengejawantahkan pikiran. Tanpa nalar, dialog hanya
akan berisi emosi dan kosakata mentah, tanpa ide atau konten yang bisa
dikomunikasikan.
Ketidakmampuan menalar itu juga berbahaya bagi
masa depan anak bangsa. Howard Gardner dalam buku Five Minds for the Future
(2007) menyebut kemampuan berpikir yang dibutuhkan di tengah dunia yang
mengglobal adalah kemampuan menghargai sesama, menjunjung etika, fokus satu
bidang, menyintesis informasi, dan berpikir kreatif. Semua itu butuh nalar.
Karena itu, di tengah kuatnya intoleransi dan
kebencian pada kelompok lain, perlu menata ulang pendidikan. Pendidikan harus
menekankan nalar agar bisa memahami sebab-akibat dengan runut dan cermat, tak
bisa lagi mengutamakan pengoleksian informasi dan pengetahuan secara dogmatis
dan menghafal.
Tanpa nalar, bangsa Indonesia akan jadi
wayang. Tak hadirnya nalar akan membuat kehidupan kita berbangsa penuh
konflik dan gejolak. Hilangnya nalar akan membuat proses demokrasi kita hanya
jadi drama hura-hura yang penuh huru-hara.
"Hal yang bisa menghancurkan bangsa ini
bukan perbedaan suku, agama, bahasa, atau budaya, tapi cara berpikir,"
kata Taufiq. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar