Birokrasi
yang Memihak Investasi
Candra Fajri Ananda ; Dekan
dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 26 Desember
2016
Kita
memiliki masalah yang sangat akut di sekitar lingkungan birokrasi pemerintah.
Berkali-kali aspek birokrasi dijadikan sebagai “kambing hitam” di atas
beragam persoalan kebangsaan.
Sistem
birokrasi yang terbilang rumit, tumpang-tindih, dan sering tidak sinkron di
antara instansi-instansi pemerintah sering kali justru melahirkan maraknya
fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai jalan pintas. Ribuan
upaya pengentasan inefisiensi birokrasi tidak lantas membuat isu KKN ikut
meredup seketika. Karena pada kenyataannya masih banyak oknum-oknum yang
memanfaatkan celah-celah yang ada, untuk meraih beberapa kepentingan semu.
Bahkan paketpaket deregulasi yang kemarin sangat digembar-gemborkan belum
terbukti benar kesaktiannya.
Pemerintah
pusat beralibi kinerja paket-paket kebijakan ekonomi menjadi terbatas karena
terhambat proses sinkronisasi dengan pemerintah daerah. Sehingga meskipun
sudah ada perbaikan kemudahan perizinan usaha di dalam negeri, tetapi tidak
berhubungan positif terhadap upaya peningkatan daya saing investasi di
Indonesia.
Seiring
dengan kondisi perekonomian global yang masih mengalami turbulensi dan
diwarnai ketidakpastian, kita perlu bersepakat bahwa harus ada
langkah-langkah konkret yang tidak biasa, yang bertujuan untuk memperkuat
ekonomi domestik. Sasarannya juga harus kian jelas. Selain untuk memenuhi
kebutuhan pasar domestik yang ukuran permintaannya terus meningkat, kita
harus semakin berani meningkatkan daya gedor untuk bersaing dalam kancah
global.
Kebijakan
ekspor sangat ideal untuk menjadi benchmark posisi daya saing kita dengan
hasil-hasil kebijakan dari negara lain. Semakin kita kuat dalam persaingan
ekspor, maka itu akan menjadi salah satu pertanda bahwa kita sudah semakin
dekat dengan efisiensi ekonomi di dalam negeri. Selain itu, kebijakan ekspor
juga bertujuan melunasi nilai tukar rupiah yang semakin lemah dalam dua
dekade terakhir. Eksistensi sektor industri berpeluang menjadi titik
episentrum untuk membatasi pola ekspor berupa bahan mentah atau setengah
jadi.
Sektor
industri secara teori diyakini dapat meningkatkan nilai tambah produk-produk
domestik. Negara-negara di sekitaran kita sudah terbukti sukses meningkatkan
derajat ekonominya berkat kontribusi sektor industrinya yang semakin kuat.
Oleh karena itu, banyak pekerjaan rumah yang harus bergegas untuk
dilaksanakan. Semakin lama kita mencari “jalan taubat”, maka kita akan
semakin ketinggalan terhadap kemajuan perekonomian global.
Birokrasi dan Daya Saing
Industri
Kita
menyimpan banyak alasan mengapa sektor industri harus diampu menjadi leading
sector. Pertama, struktur PDB kita masih didominasi sektor industri, meskipun
pada beberapa tahun terakhir sedang mengalami fluktuasi yang relatif berat.
Jadi ketika sektor industri menguat, pertumbuhan ekonomi kita (dari sisi
lapangan usaha) juga dapat melesat. Kedua, pendapatan per kapita dari tenaga
kerja industri (bersama dengan sektor perdagangan) merupakan yang tertinggi
di Indonesia.
Kalau
unsur tenaga kerjanya dapat kita tingkatkan kuantitas dan sisi pendapatannya,
tingkat konsumsi dan setoran pajaknya juga ikut melesat. Ketiga, sektor
industri berpeluang memiliki spread effects yang tinggi untuk pasar input dan
output. Apalagi jika kita bisa mengembangkan jenis-jenis industri yang
menggunakan bahan baku lokal, pertumbuhan sektor industri akan ikut
menggerakkan (minimal) sektor pertanian dan SDA lainnya sebagai pasar input,
serta sektor perdagangan sebagai output. Bahkan sejak mulai tahap
pembangunan, sektor konstruksi akan ikut menggeliat.
Dan
keempat, pengembangan sektor industri akan mendorong peningkatan nilai tambah
produksi dalam negeri. Paradigma kita yang selama ini lebih getol mengekspor
jenis-jenis komoditi primer terbukti tidak banyak menolong neraca perdagangan
kita. Tertahannya kinerja sektor industri selaku penyokong terbesar ekspor
Indonesia juga ikut menyebabkan mengapa nilai tukar kita terus melemah.
Proses pengembangan sektor industri memiliki beberapa tantangan yang
terhitung pada level “istimewa”. Alasannya, karena sudah sangat kompleks dan kita
sangat mudah mencari celah-celah kebijakan bahkan sejak proses hulu hingga
hilir.
Kalau
lebih kita rinci lagi, permasalahan di sektor industri sudah terjadi sejak
proses birokrasi investasi yang terbilang rumit, bahan baku yang tergantung
distribusi impor, teknologi produksi yang didominasi pola tradisional,
pilihan tenaga kerja berkualitas yang terbatas, serta terjadinya high cost economy yang didorong
rendahnya kualitas infrastruktur. Beberapa hambatan tersebut yang membuat
indeks daya saing industri kita kian melemah. Kalau kita merujuk pada hasil
penelitian Latruffe (2010), ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mendukung
penguatan daya saing industri, yakni sisi internal (firm firms
competitiveness) dan sisi eksternal (other factors).
Sisi
internal, kebanyakan merupakan faktor-faktor yang diunggah dari proses
kebijakan mikro di lingkup perusahaan. Pada umumnya jenis-jenis penguatan daya
saing internal menyinggung soal perhitungan biaya, produktivitas, struktur
perusahaan, pengembangan sistem mata rantai (supply chain system) usaha, dan
kebijakan pemasaran yang hampir secara keseluruhan dapat dikendalikan oleh
perusahaan. Sedangkan dari sisi eksternal, pada umumnya lebih banyak
menyinggung hal-hal yang lebih makro dan kebanyakan merupakan ranah yang
dikendalikan oleh pihak eksternal seperti pemerintah.
Misalnya
terkait dengan regulasi dan birokrasi yang efisien, pengembangan sarana dan
prasarana (infrastruktur) pendukung, ketersediaan tenaga kerja terampil dan
produktif, serta kebijakan ekspor dan impor yang menunjang daya saing
industri dalam negeri. Dalam tulisan ini, penulis ingin memfokuskan
pembahasan pada sisi eksternal daya saing, karena penulis meyakini bahwa
peran pemerintah masih sangat vital dalam mendukung daya saing industri.
Apalagi banyak contoh kebijakan pemerintah yang ternyata memiliki efek yang
tak terduga terhadap pasar investasi industri.
Pertama,
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang sudah disusun sebanyak 13 jilid
dalam setahun terakhir sudah seharusnya memberikan banyak manfaat kemudahan
dalam berinvestasi. Namun pada kenyataannya, indeks daya saing kita dalam
waktu yang sama justru kian melemah. World Economic Forum (WEF, 2016) dan
International Institute for Management Development (IMD, 2016), secara kompak
menyebutkan bahwa persepsi korupsi dan birokrasi yang rumit belum banyak
tertuntaskan, serta terhambatnya pengembangan infrastruktur membuat daya
saing Indonesia terus melemah.
Hal
ini menunjukkan gejala bahwa pemerintah kurang sukses dalam menjalankan
program- program deregulasi dan peningkatan investasi di sektor infrastruktur.
Kedua, sinkronisasi dari tahap birokrasi perencanaan antara pemerintah daerah
dan pusat akan ikut menjadi kunci keberhasilan. Ada beberapa alasan utama
mengapa sinkronisasi ini menjadi amat penting. Keselarasan dalam penyusunan
regulasi dan kebijakan investasi dapat memotong biaya transaksi pada setiap
proses investasi.
Dengan
sistem birokrasi yang masih dianggap rumit, akan membuka peluang adanya
pungutan-pungutan liar (pungli) yang dapat menghambat daya saing investasi
kita. Satgas-satgas pungli sejak medio 2000-an memang sudah sangat digalakkan
untuk memerangi oknum-oknum di balik pungli. Namun selama proses deregulasi
belum cukup clear, maka masih terbuka peluang bagi oknum-oknum yang berusaha
“melindungi” praktikpraktik pungli. Kebijakan reward and punishment belum
banyak menghasilkan banyak manfaat, karena para birokrat kita belum mampu
menerapkan ide revolusi mental dan budaya birokrasi yang lebih baik.
Ketiga,
sinkronisasi kebijakan di antara pemerintah pusat dan daerah juga terkait dengan
keterbatasan perencanaan dan jumlah anggaran yang dikelola pemerintah. Posisi
penerimaan negara yang tengah terhimpit, biasanya akan ditutupi dengan
penerimaan utang luar negeri. Nah, efek ke depannya akan terjadi penyempitan
ruang fiskal, jika diasumsikan penerimaan negara (terutama dari pajak) tidak
meningkat signifikan, di sela-sela beban utang yang ikut menggerus kemampuan
belanja negara kita. Solusinya, manajemen belanja pemerintah pusat dan daerah
seharusnya dikelola secara harmonis dan lebih efisien, dengan mengedepankan
program-program prioritas yang menunjang target-target pertumbuhan ekonomi
inklusif (money follow function).
Program-program
yang dapat diprioritaskan antara lain pengembangan infrastruktur transportasi
dan energi, serta peningkatan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja.
Keempat, pemerintah juga perlu mengupayakan inflasi tetap terjaga rendah
untuk mengendalikan ekspektasi pasar tetap positif. Kuncinya berada pada
tingkat distribusi pasar, serta strategi yang mendorong tingkat pendapatan
dan daya konsumsi masyarakat tetap bergerak impresif.
Pola
ini terhubung secara kausalitas dengan pengembangan industri yang telah
dijelaskan sebelumnya. Jika sektor industri dan sektor-sektor penghubung
lainnya dapat bergerak secara positif, target peningkatan distribusi dan
perlindungan daya beli masyarakat akan ikut bergerak secara simultan. Selain
itu, pemerintah perlu memberikan insentif untuk mengembangkan industri
substitusi impor yang fokus pada penyediaan bahan baku/ penolong, serta
barang modal untuk industri. Kita untuk sementara ini sangat tergantung pada
ketersediaan bahan baku dari luar negeri. Kementerian Perindustrian (2014)
memperkirakan tingkat ketergantungannya berkisar di angka 64%.
Kalau
tidak segera kita tuntaskan maka yang dikhawatirkan berikutnya kita akan
sulit menghapus dampak turbulensi dari kondisi perekonomian global. Jika
nilai tukar rupiah kian melemah, secara otomatis produktivitas industri akan
tetap melemah karena harga beli bahan baku semakin tidak terjangkau oleh
pengusaha dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar