Badai
Suap Korps Adhyaksa
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
JAWA POS, 30 November
2016
MILITANSI lembaga kejaksaan
dalam memberantas korupsi makin jauh panggang dari api. Belum reda kritik
tajam terkait tunggakan uang pengganti yang tak kunjung dieksekusi, kini
Korps Adhyaksa tersebut sempoyongan diterjang badai suap. Salah seorang jaksa
di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) berinisial AF terjaring operasi
tangkap tangan (OTT) oleh tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli)
kejaksaan. Dia diduga menerima suap Rp 1,5 miliar atas penanganan perkara
pembelian hak atas tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep yang saat
ini ditangani tim penyidik pidana khusus Kejati Jatim.
Kenyataan tersebut menjadi
ironi penegakan hukum yang sangat memalukan. Pada saat militansi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus-kasus korupsi terus meroket,
semangat lembaga kejaksaan justru terjun bebas dan menjadi bagian dari
korupsi itu sendiri. Uang hasil korupsi para koruptor dikorupsi lagi dalam
bentuk suap permainan pasal. Muspra lembaga kejaksaan mampu menyapu bersih
penyakit korupsi di negeri ini jika “sapu” yang digunakan malah kotor
berlumur suap. Karena itu, kejaksaan harus terlebih dahulu selesai dengan
dirinya sendiri. Revolusi mental secara menyeluruh penting dilakukan di
samping langkah penindakan.
Sejatinya Kejaksaan Agung
(Kejagung) telah berupaya memerangi praktik pungli di lingkungan kejaksaan
dengan menyebarkan intelijennya ke daerah. Jaksa Agung M. Prasetyo juga
menyatakan tidak bakal melindungi siapa pun yang melakukan penyimpangan.
Namun, janji tersebut perlu peneguhan agar tak sekadar menjadi buih
kata-kata. Esprit de corps atau jiwa korsa berbentuk kekompakan dan loyalitas
kepada lembaga jangan diterjemahkan dengan melindungi jaksa nakal. Sebagai
bentuk kesungguhan, segera ungkap orang-orang yang terlibat dalam jejaring
suap itu kendati bersinggungan dengan kekuasaan.
Kasus suap jaksa sebenarnya
sudah kali kesekian terjadi. Dari tahun ke tahun jumlah jaksa nakal yang
dipecat Kejagung terus bertambah. Mulai Januari hingga September 2015,
misalnya, tercatat sudah 28 jaksa yang diberhentikan dari tugasnya di antara
total 61 jaksa yang dijatuhi hukuman berat. Artinya, ada persoalan serius
yang perlu segera direspons secara represif maupun preventif. Jaksa-jaksa
nakal perlu ditindak tegas dan proses penanganannya harus transparan agar
mudah dipantau masyarakat. Dalam upaya penindakan, Kejagung jangan segan
bekerja sama dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK agar lebih
maksimal.
Upaya Preventif
Merebaknya jaksa nakal
sejatinya tidak bisa dibaca sebagai peristiwa biasa yang berdiri sendiri. Ia
memiliki keterhubungan linier dengan peristiwa lain dalam konteks sistem
bangunan mental. Dapat dikatakan, menjamurnya praktik suap jaksa adalah
gejala menurunnya standar regenerasi jaksa di tubuh kejaksaan itu sendiri.
Ada generasi yang terputus dari jaksa yang berpegang teguh pada idealisme
yang seharusnya diwariskan kepada generasi saat ini.
Karena itu, hulu persoalannya
harus diperbaiki. Pola perekrutan jaksa harus berjalan dengan baik,
transparan, dan bebas dari nepotisme. Kerja sama dengan perguruan tinggi
perlu terus dipererat untuk menjaring bibit unggul. Sehingga calon jaksa yang
lulus benar-benar memiliki rekam jejak yang baik, berintegritas, dan setia
menjaga idealisme.
Di samping pola perekrutan,
pembinaan mental jaksa secara berkesinambungan juga penting dilakukan. Sebab,
sebagaimana Konrad Lorenz (1969), dalam diri seorang jaksa -seperti halnya
manusia biasa- terdapat naluri besar yang apabila penyaluran naluri tersebut
tersumbat bisa menjelma menjadi malapetaka besar bagi individu dan peradaban.
Naluri itu adalah naluri lapar.
Dalam sejarahnya, naluri lapar
sebagai salah satu naluri besar manusia selalu menumbuhkan mental menerabas.
Orang tak lagi mengindahkan tata nilai demi rupiah. Namun, masalahnya,
fenomena manusia lapar hari ini sudah bergeser bukan lagi dalam konotasi
lapar perut. Melainkan dalam arti serakah alias rakus. Jaksa sudah digaji
besar negara, tapi masih doyan terima suap. Itu berarti ada gejala pergeseran
mentalitas yang lebih memuja peradaban perut. Integritas tak lagi jadi
keutamaan. Sumpah jabatan dinistakan untuk kepentingan perut.
Padahal, di belahan negara mana
pun, jika peradaban perut dijunjung tinggi, kehancuran akan menanti. Nafsu
serakah telah menenggelamkan peradaban-peradaban yang dahulunya maju dan
berkembang. Sebut saja negara Yunani yang tak kuasa menahan tingginya tingkat
korupsi. Gaji pegawai dipangkas, tarif pajak didongkrak, dana pensiun
ditunda, dan anggaran militer dikurangi demi menyelamatkan cadangan devisa.
Saya berharap praktik suap di
Kejati Jatim menjadi pelajaran berharga bagi semua lembaga penegak hukum, tak
terkecuali Mahkamah Agung, untuk membersihkan lembaganya dari suap. Sebab,
saat ini ekspektasi masyarakat terhadap penegakan hukum sangat tinggi. Jika
ada satu orang penegak hukum yang menistakan keadilan, berlakulah pars pro
toto: sebagian berbuat, semuanya kena getahnya.
Tentu masih ada ribuan jaksa
yang punya integritas tinggi dan siap menyalakan obor perubahan. Di sinilah
tugas Kejagung menguatkan jaringan jaksa-jaksa berintegritas tersebut agar
kelak perannya menjelma secara sistemik menjadi sebuah gerakan pembaruan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar