Abah
dan Sosok Guru yang Baik
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
26 Desember 2016
DALAM
kehidupan seseorang, ada banyak cerita yang menyertai kesuksesan dalam
hidupnya. Namun, hampir bisa dipastikan jejak yang baik dalam kehidupan
seseorang pasti lebih banyak mengingat jumlah guru yang baik dalam
kehidupannya.
Misalnya,
selama hampir 32 tahun tak tahu kabar berita, tiba-tiba beberapa teman semasa
di pesantren dalam sebuah acara reuni menegur saya.
"Bae,
ente ingat ustaz Sofyan Hadi gak? Dia sering banget nanyain elu," kata
Nurdin, salah seorang teman.
Saya
tentu terhenyak karena ustaz Sofyan Hadi merupakan guru sekaligus mentor
abadi dalam tonggak sejarah perjalanan hidup saya.
Beliau
sangat arif, bertutur lembut, dan murah senyum jika menghadapi para
santrinya.
Termasuk
ketika memilih saya secara khusus untuk dilatih sebuah keterampilan
berkomunikasi ala pesantren, yaitu berpidato di forum muhadarah bak orator
ulung.
Bagi
saya, mengenang seorang guru merupakan cara paling murah dan mudah untuk
membangun kembali ghirah ke pendidikan pada diri sendiri.
Jika
ada jajak pendapat yang bertanya tentang rahasia sukses seseorang, pasti guru
akan menjadi faktor sangat dominan dan banyak dipilih sebagai penentu
kesuksesan seseorang.
Selain
ustaz Sofyan Hadi, ada sosok ustaz Hasan Amirin yang teguh, galak, selalu tak
mudah menerima kelemahan santrinya.
Sikap
beliau itu pada akhirnya mengirim banyak pesan dalam kehidupan saya, disiplin
dan kepatuhan terhadap guru merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain.
Keteguhan
ustaz Hasan Amirin membawa saya selalu berpikir tentang makna disiplin dalam
dunia pendidikan.
Selain
itu, ada sosok ustaz Abdurrahman, sosok ustaz asal Betawi yang jauh dari
kesan sombong dan tinggi hati.
Ustaz
Abdurrahman, baik ketika sedang mengajarkan nahwu dan sharaf, ialah seorang
pendendang ketika anak-anak sedang dalam tekanan hafalan Alquran dan muthala
Hadis.
Suaranya
yang merdu menjadikannya sebagai ustaz yang tidak hanya pandai mengaji dengan
lantunan yang tartil, tetapi juga di kelas SMP beliau pengajar seni suara dan
kaligrafi yang tak ada duanya.
Jiwa
seni yang mendalam dari anak Pasar Minggu ini menyisakan begitu banyak
langgam dan dendang suara selawat dan cara membaca qiraah sabah dengan gaya
berbeda pada diri saya, bahkan sedikit menulis kaligrafinya juga tertitis
dalam bakat saya majemuk ini.
Gaya mengajar
Jika
gaya mengajar dan mendidik ustaz Sofyan Hadi, ustaz Hasan Amirin, dan ustaz Abdurrahman
diskemakan ke dalam prinsip pedagogis Bobby De Potter (Quantum Teaching:
2004), sikap dan perilakunya (habits) yang santun dan murah senyum, disiplin,
murah rasa atau perasa seperti mudah untuk mendengar siswa, ialah gambaran
autentik dari kombinasi antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill)
dan niat/gairah (passion) jika ingin dijelaskan secara aplikatif.
Selain
itu, ada sosok lain yang memiliki kombinasi ketiganya, dan ketika saya sadari
sosok tersebut ialah abah saya sendiri, Abdul Rauf Bahrum Hamidy.
Ketegasannya
yang menginginkan saya sukses bisa membaca Alquran dengan baik ditunjukkannya
dalam kegiatan mengaji antara magrib dan isya, jauh sebelum saya ke pesantren
dan mengenal 3 sosok ustaz saya.
Abah
menegakkan disiplin tanpa ampun buat saya sebagai anak pertama.
Itu
karena anak pertama, menurutnya, enggak boleh gagal dan harus menjadi contoh
yang baik bagi adik-adik saya. Apakah abah murah senyum?
Saya
kira hampir semua teman saya yang mengenal saya sejak di pesantren hingga
perguruan tinggi bahkan hingga saat ini, akan mengakui kalau abah orang yang
ramah.
Abah
juga memiliki suara yang bagus dalam seni membaca Alquran, dan hampir semua
orang yang mengenalnya sering membandingkan bahwa yang mendekati enaknya
suara abah jika menjadi imam salat mungkin saya.
Meskipun
saya sendiri merasa risih karena tentu tak bisa dibandingkan dengan kemampuan
abah.
Penguasaan
bahasa Arabnya juga lumayan kuat, untuk seorang mahasiswa IAIN yang hanya
sampai semester 2 di Jakarta.
Beliau
tak melanjutkan pendidikannya karena kakek saya tak memiliki uang yang cukup
untuk abah.
Pendek
kata, abah sosok lengkap bagi saya hari ini, yang mengajari menjadi seorang
guru ialah penting buat membantu orang lain maju.
Sejak
kecil mungkin saya yang paling beruntung karena sering diajak ke masjid jika
Abah bertugas sebagai khatib Jumat.
Bahkan
ketika mengajar di PGA Bekasi yang tengah sawah, beliau rela menggendong dan
mendudukkan saya di atas meja dan di depan para siswanya sambil tak henti
memegang kapur.
Jadi
kalau ditanya siapa guru terbaik saya saat ini, ya abah saya.
Ternyata
dalam ingatan saya beliau memiliki banyak bakat dan kelebihan yang melekat di
mata hati saya, dan bahkan melampaui apa yang saya ingat dan pelajari dari
ustaz Sofyan Hadi, ustaz Hasan Amirin, dan ustaz Abdurrahman.
Belajar
dari Abah saat ini bagi pengalaman belajar saya ialah sebuah blessing dan
penuh makna.
Dengan
kesadaran bahwa proses belajar-mengajar sesungguhnya merupakan upaya
pembangunan makna (meaning making), berinteraksi secara langsung dengan abah
baik sebagai orangtua maupun guru ialah pengalaman batin yang luar biasa.
Sosoknya
bukan hanya paham untuk merumuskan pola pembelajaran yang berorientasi pada
perumusan makna, melainkan juga kaya akan pemaknaan yang harus dihayati.
Prinsip
niat baik dalam belajar baginya merupakan kata kunci yang harus dipegang
teguh oleh setiap santri atau siswa.
Prinsip
niat baik yang dimaksud dalam keseharian abah yang saya tangkap ialah
keyakinannya tentang perlunya ketaatan kepada orangtua dan guru.
Ketika
belajar, baik langsung maupun tidak langsung, posisi kita sebagai siswa dan
anak harus selalu dalam kondisi berbaik sangka terhadap orangtua dan guru.
Hal
ini terekam dengan sangat fasih dari pengalaman saya ketika dengan sedikit 'memaksa'
menempatkan saya di pesantren ketika teman-teman lainnya justru bersekolah ke
SMP negeri.
Sedikit
cerita ini hanya ingin menggambarkan bahwa ketaatan kepada orangtua dan guru
pasti akan berbuah manis.
Karena
sesudah peristiwa itu banyak hal baik yang saya terima, termasuk tanggung
jawab untuk mengelola Sekolah Sukma Bangsa di Aceh.
Namun,
sangat disayangkan bentuk ketaatan ala pesantren saat ini seperti hilang
ditelan bumi karena tak lagi banyak dianut dan ditiru para siswa kita.
Kalaupun
ada yang meniru model ketaatan, dalam gaya belajar saat ini tak lebih dari
proyeksi guru dan siswa soal makna disiplin yang terkesan dipaksakan dan tak
genuine lahir dari sebuah proses kesadaran siswa itu sendiri sebagai hasil
dari interaksi dengan guru-guru mereka.
Padahal
dari kacamata teologis (agama), ketaatan semestinya merupakan sumbu penerang
bagi seorang pelajar yang ingin memiliki kedalaman ilmu dan kebaikan akhlak
untuk bekal di dunia dan akhirat.
Terima
kasih abah, yang telah mengajari saya tentang kesantunan bersikap,
berperilaku, dan bertutur berdasarkan niat ikhlas dan juga sebagai bentuk
ketaatan terhadap guru.
Ada
satu nikmat lagi yang saat ini sedang kami nikmati dan kami terima sebagai
ujian dari proses belajar-mengajar yang sangat panjang, yaitu kami diuji
sakit yang membuat saya dan abah tak mulus berkomunikasi, karena
masing-masing sedang menjalani pengobatan, demi ikhtiar dan keyakinan bahwa
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan memberikan beban kepada siapa pun
melainkan ia mampu untuk menjalaninya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar