Menista
Langit
(Tanggapan
atas tulisan Amien Rais)
Abdillah Toha ; Pemerhati
Sospolek
|
REPUBLIKA, 01 November
2016
Beberapa
hari lalu, Amien Rais (AR) menulis di harian ini (Republika, 28/10) dengan
judul "Bung Jokowi, Selesaikan
Skandal Ahok". Menurut dia, ada dua jenis penistaan. Menista yang
berdimensi duniawi dan menista langit. Antara lain, AR menulis berikut ini.
"Ketika
hukum dilaksanakan secara tebang-pilih atau diskriminatif, rakyat marah,
tetapi tetap tidak bergerak. Ketika korupsi berskala raksasa jelas-jelas
dilindungi, sejak dari skandal BLBI, Bank Century, deforestasi (penghancuran
hutan), sampai yang terbaru skandal Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta,
rakyat hanya berkeluh-kesah, geram, marah, nyaris putus asa. Tetapi, mereka
tidak bergerak. Sabar dan tetap sabar."
"Nah,
Bung Jokowi, kasus Ahok merupakan skandal dari jenis yang sangat berbeda.
Berbagai skandal yang saya sebutkan di atas, cuma skandal berdimensi dunia,
walaupun sangat menohok rasa keadilan rakyat."
"Bung
Jokowi, kasus Ahok mengguncangkan Indonesia karena Ahok sudah menyodok
kesucian langit. Ahok sudah benar-benar kelewatan."
Di
awal tulisannya, AR mengatakan, "Saya, sebagai seorang Muslim,
sangat-sangat tersinggung dan terhina dengan ucapan Ahok bahwa ayat 51 surah
al-Maidah digunakan untuk membohongi masyarakat." Kemudian, AR
mewanti-wanti Jokowi agar segera turun tangan, atau menghadapi situasi yang
bisa "menjadi bom waktu yang daya ledak sosial-politiknya dapat
mengguncangkan sendi-sendi stabilitas nasional dan persatuan bangsa."
(lengkapnya di sini: http:m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/10/28/
ofqben385-amien-rais-bung-jokowi-selesaikan-skandal-ahok).
Tulisan
ini tidak akan membahas, apakah Ahok benar bermaksud menghina Islam dan kitab
suci Alquran atau tidak, karena ada paling sedikit dua pendapat yang berbeda.
Juga penulis tidak akan masuk ke dalam kontroversi tafsir ayat al-Maidah 51
karena ada berbagai pandangan dan penafsiran yang berbeda. Ini juga bukan
tulisan yang akan berargumentasi tentang benar tidaknya sinyalemen AR tentang
berbagai "kegagalan" Pemerintahan Jokowi. Yang ingin disoroti di
sini adalah pandangan AR tentang penistaan agama secara umum, Islam
khususnya.
Sangat
disayangkan bahwa tokoh sekaliber AR dengan pendidikan tinggi dan pernah
menduduki jabatan-jabatan sangat terhormat di negeri ini, mempunyai kesamaan
dengan banyak Muslimin awam dalam cara memandang yang, menurut saya, tidak
tepat tentang esensi Islam.
Pertama,
AR lebih marah dan lebih tidak sabar ketika ada yang menghujat Tuhan daripada
penyebab timbulnya ketidakadilan di masyarakat. Hal ini memang telah menjadi
ciri dari berbagai ulama dan awam pengikutnya, yang menyebut diri sebagai
pembela Islam. Kita nyaris tidak pernah menyaksikan gerakan-gerakan pembela
Islam yang membela kaum miskin, kaum buruh, para penganggur, pendidikan yang
mahal, atau menentang koruptor dan berbagai ketimpangan lain, tapi
gerakan-gerakan itu rajin berontak ketika hal-hal yang diharamkan dalam
Islam, seperti minuman keras, pornografi, prostitusi, dan sejenisnya muncul
ke permukaan. Buat para "pembela" itu, biarkan rakyat miskin dan
menderita asalkan minuman keras dan sejenisnya dilarang di negeri ini.
Pandangan AR tak jauh berbeda. Sabarlah dan jangan cepat marah terhadap
adanya ketimpangan dan ketidak adilan, tapi segera bertindak bila ada yang
menghujat agamamu.
Kedua,
AR rupanya ingin mewakili fungsi pengadilan dunia dan akhirat. Bukankah
ketika yang dinista langit seharusnya kita biarkan langit yang menghukum?
Apalagi, bila penistaan itu bukan dalam bentuk perbuatan, melainkan dalam
kata-kata atau tulisan. Apakah si penista akan selamat di dunia dan akhirat,
biarkan langit yang memutuskan. Itu sudah bukan urusan kita lagi. Tugas kita
sebagai khalifah di bumi adalah untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera,
damai, dan tenteram di bumi. Bukan untuk menghukum mereka yang tidak beriman
atau menista Allah. Benar kita punya Pasal 156A KUHP tentang Penodaan Agama,
tetapi menurut banyak ahli, undang-undang itu adalah sebuah kecelakaan hukum
yang berisi pasal karet yang bisa disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk
kepentingan kelompoknya. Sama seperti di Eropa dulu, ketika diberlakukan
hukuman berat terhadap apa yang disebut sebagai blasphemy (penistaan agama),
yang kemudian dalam sejarah kita tahu telah memicu gerakan reformasi agama
Kristen besar-besaran.
Ketiga,
AR, seperti banyak Muslimin lainnya, telah cenderung mempersonifikasikan
(memanusiakan) Tuhan seakan Tuhan punya sifat-sifat makhluk-Nya yang mudah
tersinggung, marah jika dinista, dan tidak sabaran. Seakan-akan Tuhan
dirugikan dengan adanya orang yang menista kemuliaan-Nya. Tuhan yang Mahakaya
tidak sedikit pun butuh pujian, sembahan, atau bahkan ibadah apa pun dari
manusia. Kewajiban shalat, umpamanya, dalam Islam bukan untuk kepentingan
Tuhan melainkan untuk kemaslahatan manusia sendiri. Begitu pula, Tuhan
sedikit pun tidak akan berkurang kemuliaan-Nya dan tidak akan merasa
dirugikan bila ada makhluk-Nya yang mencerca atau menghina-Nya. Kalau sudah
begitu, mengapa kita harus menempatkan diri kita sebagai pengganti Tuhan dan
marah-marah serta bernafsu menghukum penista, seakan kita diberi wewenang
untuk mewakili Tuhan. Begitu pula, junjungan nabi kita Muhammad SAW dengan
akhlaknya yang agung, tidak pernah membalas hinaan bahkan lemparan batu
hingga berdarah-darah terhadapnya, akan tetapi justru berdoa memohon Allah
mengampuni pelakunya karena mereka dianggap termasuk golongan orang yang
tidak tahu hakikat kebenaran.
Keempat,
salah satu masalah besar agamawan termasuk sebagian Muslimin adalah
menjadikan agama sebagai bagian dari identitas diri, lebih dari sekadar
sarana untuk mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa. Ketika orang lain yang
tidak paham, kemudian mencela atau mencerca agamanya maka dia akan merasa
dirinya atau kelompoknya telah dihina. Itulah yang terjadi dalam kasus-kasus
pembunuhan para penista agama Islam di Negeri Belanda, Prancis, Swedia, dan
lain-lain yang kemudian mencederai citra Islam dan menganggap Islam sebagai
agama yang penuh kekerasan. Begitu juga, fatwa mati Imam Khomeini terhadap
penulis Inggris Salman Rushdi, yang dibela oleh pendukungnya sebagai
pelaksanaan hukum terhadap seorang Muslim yang murtad dan menista agama,
telah ditolak oleh berbagai pihak karena telah merusak citra Islam. Ucapan
Allahu Akbar yang sangat agung telah menjadi teriakan yang mengerikan bagi
banyak pihak, karena kebiasaan teroris meneriakkannya sebelum menggorok leher
orang tak bersalah atau melakukan bom bunuh diri, atau dalam khotbah-khotbah
yang penuh kebencian.
Kelima,
andai kata benar di negeri ini atau di tempat lain banyak pembenci Islam,
bagaimana mungkin dakwah kita akan berhasil bila kita membalas kebencian itu
juga dengan kebencian dan kemarahan. Islam adalah agama akhlak dan damai.
Penggunaan kekerasan dalam Islam hanya dibolehkan sebagai upaya defensif
terakhir, ketika musuh menyerang lebih
dahulu dan ketika semua jalan untuk berdamai telah buntu. Islam adalah agama
pemaaf, seperti dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika menaklukkan kafir
Quraish di Makkah dan memberi maaf kepada semua bekas musuh-musuhnya. (baca: http:m.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/23/llmh0m-sikap-agung-rasulullah-menghadapi-pembenci-islam)
Saya tidak bisa berharap banyak kepada
berbagai ustaz dan ulama 'karbitan' yang banyak beredar di negeri kita.
Namun, bila orang sangat terhormat setingkat Pak Amien Rais, seorang Muslim
yang taat dan terpelajar, gagal menyampaikan pesan-pesan Islam yang universal
dan benar, siapa lagi yang dapat kita harapkan untuk membimbing umat Islam
yang mayoritas di negeri tercinta ini. Mudah-mudahan Allah memberi hidayah
dan membukakan jalan terbaik bagi kita semua. Aamiin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar