Memahami
Bahasa Agama
Nasaruddin Umar ; Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
08 November 2016
SUATU
ketika Nabi akan memimpin salat magrib. Tiba-tiba salah seorang makmum
kentut. Baunya sangat menusuk hidung. Nabi menunda takbir ihram lalu berbalik
meminta sahabat yang kentut supaya segera keluar mengambil air wudu.
Berkali-kali Nabi mengulangi perintahnya tetapi tidak juga ada yang keluar.
Nabi tentu bisa saja mengetahui siapa di antara sahabatnya yang kentut,
tetapi ia tidak ingin mempermalukan sahabatnya di depan umum.
Bau
kentut itu seperti bau daging unta karena memang sorenya ada pesta di rumah
salah seorang sahabat yang menyuguhkan daging unta. Waktu magrib sangat
singkat, sementara belum ada yang mau keluar berwudu, akhirnya Nabi
menggunakan bahasa diplomasi, "Siapa yang makan daging unta silakan
keluar berwudu." Maka semua jemaah yang hadir dalam undangan pesta makan
daging unta tadi ramai-ramai keluar berwudu.
Kalau
hadis itu dipegang hanya teksnya, 'Siapa yang makan daging unta harus
mengambil air wudu', tidak dihubungkan dengan konteksnya, maknanya bisa
berarti unta najis karena membatalkan wudu. Malapetaka bagi masyarakat padang
pasir ketika itu jika unta dinyatakan najis. Satu-satunya alat transportasi
efektif ketika itu ialah unta. Jika dinyatakan najis atau membatalkan wudu
bagi yang memakan atau menyentuhnya, sama dengan anjing atau babi, tentu itu
merugikan umat.
Di
sinilah pentingnya mengkritisi sebuah dalil. Apakah teks dalil agama itu
memiliki historical background atau tidak? Apakah menggunakan lafaz umum atau
khusus? Kalau hadis, apakah tidak bertentangan dengan ayat-ayat Alquran?
Apakah teks dalil agama itu sudah di-mansukh atau dihapus hukumnya lalu
digantikan hukum lain dalam dalil lain? Bagaimana kualitas kesahihan dalil
agama (hadis) itu? Hal yang tak kalah penting ialah apa konteks munasabah
dalil agama itu? Setelah mamahami ini semua, baru kita mendeklarasikan maksud
dalil agama itu kepada publik.
Dalam
Alquran, selalu kita diingatkan untuk menggunakan bahasa santun, bijaksana,
dan penuh kearifan. Bahasa yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik.
Sebaliknya, bahasa yang buruk akan melahirkan masyarakat yang buruk. Itulah
sebabnya tidak kurang dari delapan tempat di dalam Alquran mengingatkan kita
agar menggunakan bahasa yang santun, jelas, proporsional, dan terukur.
Terhadap
kedua orang tua atau yang kita anggap sebagai senior kita, Alquran
mengingatkan kita untuk menggunakan bahasa yang mulia (qaulan kariman), '...
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia' (QS al-Isra'/17:23). Terhadap
anak-anak dan para junior, kita menggunakan bahasa yang baik dan populer
(qaulan ma'rufan), '... ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik' (QS
al-Nisa'/4:5). Untuk pengungkapan data dan fakta, kita diminta untuk
menggunakan bahasa yang tepat dan valid (qaulan sadidan): '... hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar' (QS al-Nisa'/4:9).
Terhadap
kelompok oposisi atau kaum munafik, kita diminta menggunakan bahasa yang
komunikatif (qaulan baligan), '... katakanlah kepada mereka perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka' (QS al-Nisa'/463). Terhadap orang yang kasar dan
jahat, tetap kita diminta menggunakan bahasa lemah lembut (qaulan layyinan),
'... maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut' (QS Thaha/20:44).
Terhadap
kelompok yang dianggap musuh pun, kita tetap diminta untuk menggunakan bahasa
yang pantas (qaulan maisuran), '... katakanlah kepada mereka ucapan yang
pantas' (QS al-Isra'/17:28). Tuhan meminta kita untuk menghindari bahasa yang
keras (qaulan ‘adhiman), '... Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan
kata-kata yang besar (dosanya)' (QS al-Isra'/17:40). Hanya Tuhan yang berhak
menggunakan bahasa yang berat (qaulan tsaqilan), '... Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kepadamu perkataan yang berat' (QS al-Muzzammil/73:5).
Jika
petunjuk Alquran ini diindahkan kita semua, baik sebagai pribadi, anggota
keluarga, anggota masyarakat, warga bangsa, apalagi pemimpin, ketenangan dan
ketenteraman serta kenyamanan dalam hidup kita akan terasa. Akan tetapi, jika
sebaliknya, bila semua orang sudah terbiasa dengan bahasa yang tidak santun,
bahkan cenderung kasar, mengadili, menghakimi, kurang ajar, menghina, dan
memfitnah, atmosfer kehidupan bermasyarakat akan terasa sumpek dan
membosankan. Seolah-olah tidak ada lagi space yang tenang bagi kita karena di
mana-mana sudah terjangkau oleh alat komunikasi. Di sini perlunya pengaturan
bahasa di dalam kehidupan masyarakat yang berbasis teknologi.
Sungguh
sangat menyedihkan, katanya kita bangsa yang beragama, bangsa yang santun,
bangsa yang beradab, tetapi bahasa komunikasi kita sedemikian kasarnya,
sedemikian menyakitkannya, dan sedemikian vulgarnya. Seolah-olah kita sudah
kehilangan kosakata santun, beradab, indah, dan bijaksana. Kosakata kasar
jauh lebih laris daripada kosakata santun. Apa yang salah di dalam masyarakat
kita? Mengapa di negeri yang mayoritas beragama Islam, tuntunan berbahasa di
dalam ayat-ayat Alquran yang sedemikian rigid tidak diindahkan?
Bahasa
agama mempunyai power luar biasa untuk pengembangan warga bangsa. Bahasa
agama mampu membangkitkan andrenalin yang memungkinkan seseorang bisa
mengoptimalkan kekuatan kerja yang dimilikinya. Akan tetapi, bahasa agama
juga berpotensi menjadi pemicu yang amat dahsyat di dalam masyarakat,
terutama jika salah mengutip atau mendiskreditkan dalil-dalil agama. Tentu
lebih berbahaya lagi jika orang menyudutkan ayat-ayat suatu kitab suci yang
bukan pegangan agamanya. Apa yang terjadi baru-baru ini semoga menjadi
pelajaran bagi semua pihak.
Kita harus berhati-hati menyinggung kitab
suci, apalagi kitab sucinya orang lain, demi merawat kerukunan antarumat
beragama. Kita berharap kejadian yang baru lalu itulah peristiwa pertama dan
terakhir di negeri ini. Jika seandainya ada kejadian serupa, sebaiknya
pemerintah tidak boleh terlambat menanganinya dan masyarakat juga perlu
mengendalikan diri dan mempersilakan pemerintah untuk mengambil langkah
antisipasi. Masyarakat agar tetap menahan diri serta menyerahkan sepenuhnya
kasus itu kepada pihak berwajib. Inilah arti sekaligus ciri sebuah masyarakat
modern. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar