Masa
Depan Transparansi Pajak
Adrianto Dwi Nugroho ; Dosen
Fakultas Hukum UGM;
Mahasiswa Doktoral di University
of Helsinki, Finlandia
|
KOMPAS, 10 November
2016
Optimisme
mengiringi implementasi pengampunan pajak yang sedang berjalan. Kesimpulan
ini tidak hanya didasarkan pada jumlah harta yang dideklarasikan yang hampir
mencapai Rp 4.000 triliun, tetapi juga jumlah wajib pajak yang
mendeklarasikan hartanya yang mencapai lebih dari 400.000 wajib pajak
(http://www.pajak.go.id/amnestipajak, 1 November 2016).
Data
dan informasi mengenai wajib pajak yang diperoleh melalui pengampunan pajak
ini merupakan aset bagi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dalam
menyongsong era transparansi penuh di bidang perpajakan.
Pengamat
menilai, pengampunan pajak merupakan langkah awal dari transparansi sistem
perpajakan di Indonesia (Darussalam: 2016). Dengan kata lain, pengampunan
pajak yang sedang berjalan merupakan pengampunan pajak transisional
(transitional tax amnesty, Urinov: 2015).
Komitmen
Indonesia untuk melaksanakan keterbukaan informasi antarnegara G-20 telah
dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada G-20 Hangzhou Summit
(http://presidenri.go.id, 5 September 2016). Pernyataan tersebut merujuk pada
kerja sama automatic exchange of information (AEoI), yang akan dijalankan
mulai tahun 2018 di semua negara G-20. Namun, bagaimanakah transparansi
perpajakan dalam bentuk AEoI itu dijalankan?
Pertukaran
informasi
Secara
normatif, kerja sama AEoI didasari pada kesepakatan induk berupa Konvensi tentang
Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, yang telah ditandatangani
oleh Indonesia pada 3 November 2011. Konvensi ini juga sudah diratifkasi
dengan Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014. Konvensi ini selanjutnya
diimplementasikan melalui kerangka normatif berupa common reporting standard
(CRS) dan multilateral competent authority agreement (MCAA).
Dokumen
CRS mewajibkan negara partisipan mengatur tentang kewajiban lembaga keuangan
yang berada di wilayahnya untuk melaporkan data dan informasi yang menjadi
obyek pertukaran informasi dengan negara mitra kerja sama. Di Indonesia,
kewajiban lembaga keuangan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No
60/2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No 125/2015.
Sementara
itu, MCAA merupakan model perjanjian bilateral antarnegara partisipan yang
digunakan untuk mengimplementasikan kerja sama pertukaran informasi. Dalam
model perjanjian itu, diatur hal-hal mengenai komitmen negara-negara pihak
dalam perjanjian untuk memberi dan menerima data dan informasi di bidang
perpajakan, jangka waktu dan metode pemberian dan penerimaan data dan
informasi di bidang perpajakan, dan kerahasiaan serta perlindungan data dan
informasi yang ditransmisikan ke negara mitra. Sifat kerja sama ini adalah resiprokal.
Resiproksitas
menyebabkan kerja sama AEoI yang dilaksanakan Indonesia memiliki dua dimensi,
yaitu Indonesia sebagai negara pemberi informasi dan Indonesia sebagai negara
penerima informasi. Dalam dimensi yang pertama, Ditjen Pajak dapat memberikan
data dan informasi mengenai pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas subyek
pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Data dan informasi ini diperoleh langsung dari wajib pajak yang melakukan
pemotongan dan pelaporan PPh atas penghasilan tersebut.
Selain
itu, Ditjen Pajak juga dapat memberikan data dan informasi keuangan nasabah
lembaga keuangan, termasuk perbankan. Data dan informasi mengenai identitas
nasabah perbankan berupa nama, nomor rekening, alamat di dalam negeri, dan
saldo akhir tahun kalender dapat menjadi obyek AEoI dengan negara mitra.
Namun, data dan informasi tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan nasabah, untuk selanjutnya disampaikan oleh bank kepada otoritas
lembaga keuangan, yang selanjutnya akan menyampaikan data dan informasi
tersebut kepada Ditjen Pajak.
Dalam
dimensi yang kedua, Ditjen Pajak dapat menerima data dan informasi dari
negara mitra secara otomatis sebagai dasar untuk melakukan upaya penegakan
hukum yang diperlukan. Sifat otomatis dari AEoI dapat menjadi tanda bahaya
bagi Ditjen Pajak dalam menangkal kegiatan penghindaran dan pengelakan pajak
oleh wajib pajak dalam negeri di wilayah negara mitra.
Selain
bertindak pasif, Ditjen Pajak juga dapat mengajukan permintaan informasi
kepada negara mitra mengenai aktivitas wajib pajak dalam negeri di wilayah
negara mitra. Permintaan informasi tersebut harus dilakukan dalam kerangka
penegakan hukum yang sedang dijalankan Ditjen Pajak terhadap wajib pajak
tersebut, misalnya pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan.
Instrumen
hukum
Akhirnya,
kerja sama AEoI menjadi instrumen penegakan hukum terbaru negara-negara G-20
dalam menangkal dan memberantas praktik penghindaran dan pengelakan pajak.
Keberhasilan kerja sama ini ditentukan pula keikutsertaan negara-negara surga
pajak (tax haven), seperti Panama, Kepulauan Virgin Britania Raya, dan
Kepulauan Cayman. Setelah penerapan penuh AEoI, wajib pajak tidak lagi
memiliki ruang untuk tidak melaporkan kepemilikan hartanya di luar negeri.
Data dan informasi hasil kerja sama AEoI
dapat menjadi alat bukti penegakan hukum terhadap pengelakan pajak yang
sedang atau telah berlangsung. Namun, Ditjen Pajak juga wajib melindungi data
dan informasi di bidang perpajakan dari penyalahgunaan wewenang oleh
aparatnya dan upaya peretasan oleh pihak yang tidak berwenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar