Kunjungan
Jokowi ke Papua
Neles Tebay ;
Pengajar pada STF Fajar Timur;
Koordinator Jaringan Damai Papua
di Abepura
|
KOMPAS, 05 November
2016
Setelah dilantik sebagai
Presiden RI yang ketujuh tahun 2014, Presiden Joko Widodo bertekad mengunjungi
Papua sebanyak tiga kali per tahun. Selama dua tahun kepemimpinannya, Jokowi
sudah lima kali mengunjungi Papua. Suatu hal yang tak pernah dilakukan enam
presiden sebelumnya. Banyaknya kunjungan ini memperlihatkan besarnya
perhatian Presiden untuk Papua. Pemprov Papua dan Papua Barat pun memberikan
penghargaan yang tinggi. Rakyat Papua, terutama yang hidup di tempat-tempat
yang dikunjungi Jokowi, menyambut kedatangannya dengan gembira.
Dalam kunjungannya ke Papua, Jokowi dinilai
lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur, seperti, jalan raya, rel KA,
jembatan, pelabuhan udara, dan pelabuhan laut guna mempercepat pembangunan
ekonomi tetapi kurang memberikan perhatian pada penanganan masalah HAM.
Padahal, justru pelanggaran HAM yang berlangsung sejak 1963 merupakan masalah
yang mendasar bagi rakyat Papua.
Mereka belum pernah mendengar dari Presiden
tentang bagaimana pelanggaran HAM masa lalu di Papua akan diselesaikan.
Lima kali kunjungan Presiden ke Papua belum
mampu mengurangi, apalagi menghentikan, pelanggaran HAM. Kenyataan di
lapangan memperlihatkan, pada masa pemerintahan Jokowi pun orang Papua masih
menjadi korban pelanggaran HAM dalam bentuk penembakan, pembunuhan,
penganiayaan, penyiksaan, penangkapan, serta larangan kebebasan berekspresi.
Pelanggaran HAM akan terus berlangsung di
tanah Papua karena akar penyebabnya belum diidentifikasi dan diatasi. Rakyat
Papua menyadari perhatian yang serius terhadap pelanggaran HAM justru datang
dari Pasifik. Hati mereka tersentuh ketika negara-negara Pasifik mengangkat
isu pelanggaran HAM Papua dalam forum Melanesian Spearhead Groups, Pacific
Island Forum, dan Sidang Umum PBB 2016.
Banyak rakyat Papua melihat manfaat
kunjungan Presiden Jokowi ke Papua dari perspektif HAM. Mereka senang
dikunjungi Presiden, tetapi kunjungannya dirasa kurang bermanfaat karena
belum memperhatikan penanganan masalah HAM. Sebagai akibatnya, rakyat Papua
belum percaya pemerintah mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu,
termasuk tiga kasus yang sedang diupayakan penyelesaiannya, yakni Wasior
2001, Wamena 2004, dan Paniai 2014.
Rakyat juga belum percaya pemerintah mampu
mengakhiri pelanggaran HAM di tanah Papua. Dengan demikian, pemerintahan
Jokowi menghadapi suatu tantangan besar, yakni ketidakpercayaan rakyat Papua.
Pemerintah masih perlu berusaha membangkitkan kepercayaan rakyat Papua agar
mereka dapat mengarahkan perhatiannya ke Jakarta, bukan ke Pasifik.
Dialog
sebagai fondasi
Presiden Jokowi masih punya kesempatan tiga
tahun masa pemerintahannya untuk membangkitkan kepercayaan rakyat Papua
kepada pemerintah. Bagaimana caranya? Seraya Presiden melanjutkan
kunjungannya ke Papua, pemerintah perlu melakukan dialog dengan rakyat Papua.
Jokowi tak perlu dinasihati tentang
pentingnya dialog dengan rakyat Papua. Sebab, sejak kunjungan pertamanya ke
Papua, Desember 2014, Presiden mengakui dialog sebagai suatu kebutuhan rakyat
Papua.”Rakyat Papua tak hanya butuh pendidikan, kesehatan, pembangunan jalan
dan pelabuhan, tetapi mereka juga butuh didengar dan diajak bicara,” kata Jokowi
di Jayapura. Presiden bahkan menjadikan dialog sebagai fondasi untuk
membangun Papua.
Presiden Jokowi telah memilih jalan dialog
dalam membangun Papua. Rakyat Papua masih menantikan saat berdialog dengan
Presiden. Dalam dialog, rakyat Papua diberikan kesempatan menyampaikan
masalah, kebutuhan, dan harapannya.
Dengan berdialog, pemerintah menghormati
rakyat Papua sebagai manusia bermartabat dan warga negara Indonesia.
Dilibatkan dalam dialog, rakyat Papua akan merasa harga dirinya dihormati dan
pandangannya didengarkan pemerintah. Rakyat Papua akan kian percaya kepada
pemerintah. Mereka akan punya rasa memiliki terhadap proses dan hasil dialog
serta bertanggung jawab atas implementasinya.
Dialog dengan rakyat Papua perlu dirancang
dan dipersiapkan. Guna mengatur dan mewujudkan dialog antara pemerintah dan
rakyat Papua, Presiden perlu mengangkat satu pejabat sebagai person
in charge yang ditugaskan khusus menangani penyelesaian konflik
Papua, termasuk mengurus dialog dengan rakyat Papua. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar