Agama
dan Ruang Publik
Otto Gusti ; Dosen
HAM dan Filsafat di STFK Ledalero, Maumere, Flores
|
MEDIA INDONESIA,
12 November 2016
AKSI
demonstrasi pada 4 November 2016 yang berlangsung damai memberikan pesan
kepada dunia bahwa tak ada relasi antagonistis antara demokrasi dan Islam.
Ketakutan akan terjadinya Arab Spring di Indonesia ternyata tak beralasan.
Justru sebaliknya yang dapat disaksikan. Peristiwa 4/11 berhasil menampilkan
sebuah keadaban publik yang luar biasa: Indonesia yang tertib, damai, dan
bersih. Para demonstran tampak memperlihatkan kepedulian terhadap kebersihan
kota dengan mengumpulkan sampah yang berserakan. Tebersit secuil optimisme
bahwa keadaban publik perlahan-lahan menjadi fundamen etis bagi demokrasi di
Indonesia yang di tangan politisi sering direduksi menjadi pertarungan
syahwat kekuasaan semata.
Tepat
sekali jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan terima kasih kepada
ulama, kiai, habib, dan ustaz yang telah memimpin umat dalam aksi damai
hingga magrib. Apresiasi itu dapat dipahami, sebab aksi 4 November merupakan
demo terbesar dalam sejarah Indonesia. Kenyataan bahwa aksi tersebut berjalan
aman menunjukkan kualitas dan kematangan berdemokrasi para tokoh agama.
Peristiwa 4 November memberikan kesaksian bahwa demokrasi dan modernitas
tidak selalu berarti peminggiran agama ke ruang privat irasional dan arkais.
Peran agama di ruang publik pun tidak perlu mengancam pluralitas pandangan
hidup, prinsip kesetaraan, dan kebebasan dasar manusia.
Privatisasi
Peminggiran
agama ke ruang privat sesungguhnya merupakan produk dari sekularisasi.
Menurut salah seorang sosiolog Jerman terpenting awal abad ke-20, Max Weber,
proses sekularisasi telah mendorong terjadinya proses personalisasi atau
individualisasi ekstrem atas kepastian-kepastian iman yang diajarkan
agama-agama. Lewat pembentukan suara hati dan askese, seluruh proses itu
berkembang menuju lahirnya individualitas dalam masyarakat modern,
terbentuknya kapitalisme sebagai sistem ekonomi mainstream, dan terbangunnya
negara birokrasi (verwaltungsstaat)
modern.
Dalam
kacamata Weber, sekularisasi tidak sekadar berarti hilangnya agama, tapi juga
proses transformasi agama menuju dimensi spiritual (innerlich) manusia. Dalam perjalanan sejarah, demikian kata
Weber, proses rasionalisasi pada seluruh ranah sosial yang diwarnai dengan
dominasi rasionalitas instrumental (ekonomi, birokrasi, dan teknik) terus
mendorong agama ke ranah privat hingga akhirnya agama dipandang sebagai
sesuatu yang irasional.
Peran
publik
Namun,
dalam studi yang lebih cermat, ternyata tesis sekularisasi Weber gagal
menjelaskan fenomena masyarakat kontemporer. Secara empiris dapat disaksikan,
baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang, proses
sekularisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban modern
tidak mampu menggerus relevansi agama, pandangan hidup, atau doktrin-doktrin
komprehensif. Secara normatif, peran publik agama dalam masyarakat
kontemporer terasa mendesak tatkala arah perjalanan proyek modernitas
berhadapan dengan krisis atau dalam bahasa Juergen Habermas 'terancam
melenceng dari rel yang seharusnya' (Entgleisung
der Moderne).
Dalam
kondisi krisis, agama-agama dapat tampil sebagai agen pemberi makna dan
pembawa obor cahaya yang memberikan orientasi etis bagi manusia. Peran publik
agama merupakan antitesis atas cara beriman yang cenderung mendomestifikasi
Allah di ruang privat. Allah yang dijinakkan dan dikurung di dalam ruang
privat ialah Allah yang tidak diberi kemungkinan untuk mengganggu atau menggugat
kemapanan dan kenyamanan hidup manusia. Di sini agama dipandang sebagai
urusan privat semata minus relevansi sosio-politis.
Spiritualitas
direduksi menjadi kesalehan ritualistis personal minus keterlibatan dan
pertanggungjawaban sosial. Maka tak mengherankan jika sejumlah fenomena
paradoksal bertebaran di ranah sosial seperti 'surplus agama' di tengah
maraknya perilaku koruptif, budaya kekerasan, intoleransi, dan lemahnya
kesetiakawanan sosial. Agama tanpa peran publik tak lebih dari obat penghibur
batin tanpa pesan pembebasan bagi umat manusia. Dalam bahasa seorang teolog
Katolik asal Jerman abad ini, JB Metz, agama tanpa keterlibatan sosial untuk
pembebasan sesungguhnya tidak lebih dari sekadar nama untuk impian akan
kebahagiaan tanpa penderitaan, obsesi mistis jiwa atau khayalan
psikologis-estetis tentang ketidakbernodaan manusia.
Kebinekaan
Peran publik agama hanya mendatangkan
kebaikan bersama (bonum commune)
jika ia tetap menghargai prinsip kebinekaan dalam tatanan sosial. Artinya, di
ruang publik pesan agama-agama tetap taat pada roh pencerahan dan ilmu
pengetahuan dengan menunjukkan sikap terbuka terhadap filter kritik publik.
Kiprah publik agama dalam masyarakat plural juga harus tetap berpijak pada
prestasi-prestasi yang telah dicapai sekularisasi, seperti diferensiasi
sistem-sistem sosial dalam masyarakat modern (agama, ilmu pengetahuan, seni,
budaya, dan hukum), pengakuan paham hak-hak asasi manusia, pemisahan antara
hukum dan negara konstitusional demokratis di satu sisi dan agama di sisi
lain. Tanpa taat pada prinsip-prinsip itu, kehadiran agama di ruang publik
lebih banyak mendatangkan kutuk ketimbang berkat bagi kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar