Mimpi
Negara Kesejahteraan
Sulastomo ;
Anggota Lembaga Pengkajian MPR;
Ketua Tim SJSN 2001-2004
|
KOMPAS, 26 Oktober
2016
Mimpi masa depan Indonesia adalahnegara
kesejahteraan,negarayang hendak mewujudkan kesejahteraan bagi semua warga negaranya.
Masyarakat seperti itu ditandai terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang
layak, yaitu setiap warga negara memiliki rasa aman sosial dan ekonomi, sejak
lahir hingga meninggal.
Cita-cita negara kesejahteraan sudah
dicanangkan pendiri bangsa ini. Ia termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD 1945, khususnya pada Bab XIV, yang berjudul ”Kesejahteraan Sosial”,
terdiri dari Pasal 33 (tentang perekonomian) dan Pasal 34 (tentang
kesejahteraan). Bab XIV ini mengindikasikan semangat untuk menempatkan segala
program perekonomian diabdikan bagi terwujudnya kesejahteraan sosial.
Namun, Amandemen UUD 1945 pada tahun 2002
telah mengubah judul Bab XIV itu menjadi ”Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial”. Dengan perubahan ini, setidaknya mengesankan untuk lebih
mengedepankan pencapaian program perekonomian dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyat.
Sebagaimana layaknya dunia perekonomian, wajar
apabila kita berusaha membangun perekonomian Indonesia sesuai kondisi
perekonomian global yang sarat saling ketergantungan dan kompetisi serta
hukum-hukum ekonomi yang menyertainya. Liberalisasi perekonomian Indonesia
menjadi tidak terelakkan sehingga berdampak tumbuhnya kesenjangan sosial.
Pasal 33 UUD 1945 agaknya perlu dilengkapi
dengan UU tentang perekonomian nasional. Hal ini agar kondisi perekonomian
kita tak melahirkan kesenjangan sosial yang melebar, yang tidak sejalan
dengan wujud negara kesejahteraan, yang mencita-citakan terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat. Dalam kaitan ini, kehadiran negara diperlukan
untuk mencegah tumbuhnya kesenjangan sosial. Selain itu, juga lebih
menyeimbangkan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 tentang perekonomian nasional
dengan Pasal 34 UUD 1945 yang menekankan kesejahteraan sosial.
Peta jalan
Peta jalan (makro) mewujudkan negara
kesejahteraan sudah termaktub dalam Pasal 34 UUD 1945. Khususnya Ayat 2 yang
berbunyi: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosialbagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat
kemanusiaan”.
Pasal ini menegaskan gambaran negara
kesejahteraan, yaitu program jaminan social diharapkan dapat dinikmati semua
warga bangsa, baik yang mampu maupun yang lemah dan tidak mampu. Bagi yang
mampu mestinya tak akan banyak persoalan. Namun, bagi yang lemah dan tidak mampu,
negara wajib memberdayakan sesuai dengan martabat kemanusiaan, termasuk dalam
hal ini pemberian subsidi.
Sebagai amanat dari UUD 1945, pada tahun 2004
telah terbit UU No40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Dalam UU No 40/2004 tersebut dicita-citakan bahwa seluruh penduduk akan
memperoleh jaminan sosialyang melindungi setiap warga negara dan keluarganya
dari risiko sosial dan ekonomi, baik yang bisa diperhitungkan maupun yang
tidak bisa diperhitungkan. Jaminan tersebut berlaku selama perjalanan
hidupnya, dari lahir hingga meninggal.
Oleh karena itu, disepakati ada program
jaminan sosial, yang terdiri dari jaminan kesehatan (JK), jaminan kecelakaan
kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), dan jaminan
kematian. Jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja dikatakan sebagai
program jaminan sosial jangka pendek dan tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya. Sementara jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian
merupakan program jaminan sosial jangka panjang, yang dalam hal ini dapat
diperhitungkan sebelumnya.
Sementara jaminan pemutusan hubungan kerja
(PHK) tidak termaktub dalam UU No 40/ 2004, disebabkan masalah ini (pesangon
PHK)telah diatur dalam UU tersendiri. Kapan semua program jaminansosial itu
dapat dinikmati seluruh warga bangsa?
Tentu saja sangat bergantung pada kemauan
politis (political will) dan
kemampuan teknis penyelenggaraan program ini. Kemauan politis, antara lain
digambarkan dengan kenyataan, bahwa lima tahun setelah UU No 40/2004
disahkan, sampai tahun 2009, ternyata tidak ada langkah yang nyata, baik
berupa terbitnya peraturan pemerintah maupun kebijakan untuk
mengimplementasikanUU No 40/2004.
Kita patut bersyukur bahwa DPR periode
2009-2014 mengambil inisiatif mengajukan RUU terkait rencana pembentukan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sehingga baru pada tahun 2014—10
tahun setelah UU-nya terbit—program jaminan sosial mulai diimplementasikan
melalui terbentuknya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pertanyaannya,
bagaimanapeta jalan secara rinciagar semua program jaminan sosial itu dapat
diwujudkan sebagai mimpi negara kesejahteraan?
Harapan
Tentu, kita semua berharap agar mimpi negara
kesejahteraan tersebut dapat segera terwujud. Pada saat itu, semua warga
negara akan memiliki rasa aman sosial dan ekonomi (social security dan economic
security) sejak lahir hingga meninggal. Dapatkah semua itu akan terwujud
pada tahun 2030 atau 2045 setelah Indonesia merdeka selama 100 tahun?
Agaknya masih diperlukan pemahaman yang sama di
antara kita—termasuk penyelenggara negara—agar komitmen politik tetap terjaga
merujuk cita-cita pendiri bangsa ini sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945
dan peraturan perundangan yang menyertainya, yaituUU No 40/ 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Selain
itu, sudah tentu juga bergantung pada kemampuan teknis BPJS untuk merumuskan
sebuah peta jalan secara rinci dan mewujudkan perluasan cakupan program
jaminan sosial sehingga secara bertahap dapat melindungi seluruh warga
negara.
Meskipun ada-tidaknya kemauan politik sangat
penting, implementasi program jaminan sosial juga memerlukan profesionalisme
yang tinggi, yang lepas dari keinginan politik golongan agar jalannya jaminan
sosial semakin mantap. Sampai di sini, ada kesan bahwa pemahaman itu belum
sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar