Menimbang
Cagub-Cawagub DKI
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 28 Oktober
2016
Warga Jakarta pantas merasa beruntung memiliki
calon gubernur (cagub)-calon wakil gubernur (cawagub) yang masih muda,
energik dan cerdas. Semuanya berkualitas dan memiliki komitmen untuk membuat
Jakarta, ibu kota negara, bebas dari banjir, macet, kumuh dan memberikan
layanan birokrasi yang baik.
Dalam pandangan masyarakat, antara sesama
calon terjalin komunikasi yang baik. Hal itu sangat dimungkinkan karena
semuanya figur basis pendidikannya bagus serta berpengalaman sebagai aktivis
sosial.
Mereka bukan anak kandung ideologis yang
senang berkonflik. Mereka menaiki jenjang karier sosial dan politik bukan
hasil karbitan, tetapi karena ditopang oleh kekuatan pribadinya dan semangat
untuk berprestasi mengabdi pada bangsa.
Saya kira, siapapun pemenangnya mereka adalah
putra terbaik bangsa yang mesti didukung untuk memajukan Jakarta. Masyarakat
tentu lebih senang melihat cagub-cawagub yang rukun saling canda, dibanding
melihat para elite politik terkesan tidak rukun dan tidak kompak. Yang cukup
mengganggu dan membuat justru lelah masyarakat adalah munculnya serangkaian
demonstrasi tertuju pada Ahok garagara penyebutan Surah Al-Maidah.
Di luar proses hukum yang tengah ditangani
oleh polisi, saya cukup khawatir jika demo dan kemarahan umat itu tidak
terkendali sehingga berpotensi menciptakan keresahan dan kerusuhan sosial.
Jika ancaman itu benar terjadi tentu sangat
merugikan bangsa yang tengah merangkak membangun di tengah kelesuan ekonomi
global saat ini. Sekali konflik vertikal dan horisontal meledak, akan sulit
diredam. Ongkos sosial politiknya amat mahal. Kondisi Timur Tengah merupakan
contoh nyata. Peradaban yang dibangun ratusan tahun hancur hanya dalam
hitungan bulan dan tahun oleh perang saudara.
Tak terbayang, berapa lama dibutuhkan waktu
untuk membangun kembali. Itu pun kalau bisa. Dalam situasi demikian, peran
aktif tokoh-tokoh pers, televisi, ulama, cendekiawan sangat diharapkan ikut
serta menciptakan kedamaian dan edukasi sosial. Bahwa berbeda pendapat dan
demonstrasi itu hal yang lumrah saja di alam demokrasi, asal terkendali dan
tidak destruktif. Di sini tugas polisi memang cukup berat.
Polisi tengah diuji untuk menegakkan hukum dan
menjaga tertib sosial. Sebaiknya pers ikut menyejukkan suasana, jangan malah
jualan sensasi dan memanaskan situasi. Masyarakat pun perlu bersikap kritis
terhadap berbagai berita yang datang setiap saat. Banyak masyarakat yang
tidak bisa membedakan antara berita valid dan hoax.
Sedemikian bebasnya orang melemparkan hoax
yang hanya akan menambah sampah di dunia maya. Ironisnya, masyarakat ada yang
doyan sekali dengan hoax demi sensasional. Dalam sebuah kompetisi pilkada,
sekalipun masing-masing kontestan menyatakan siap menang dan siap kalah, tapi
pasti semuanya menargetkan untuk menang.
Terlebih mereka yang sudah mengeluarkan biaya
besar, pasti harapan untuk menang juga besar. Kompetisi menjadi lebih seru
dan bisa memanas ketika unsur emosi dan ideologi primordialisme, yakni etnis
dan agama ikut terlibat. Orang mendukung calon tidak saja berdasarkan
pertimbangan rasional, tetapi juga ideologis emosional.
Di sini tugas polisi, KPU, Bawaslu dan peran
serta ulama serta cendekiawan tengah diuji. Bisakah mengawal pilkada dengan
damai dan berkualitas? Saya percaya bahwa semua cagub-cawagub mendambakan
terselenggaranya pilkada yang damai dan berkualitas.
Sebelum pilkada berlangsung, para calon itu
secara moral sudah menjadi pemenang. Terlebih lagi jika mereka tampil secara
cerdas, santun dan elegan, maka semuanya akan dikenang sebagai
politisinegarawan yang telah melakukan edukasi politik pada rakyat, terlepas
siapa yang nantinya akan jadi pemenang.
Satu catatan kecil namun amat penting adalah,
parpol dan pemerintah selama ini kurang memberikan apresiasi pada panitia
penyelenggara yang juga selaku wasit. Coba perhatikan acara pertandingan
sepak bola atau tenis berkelas internasional, wasit akan mendapat apresiasi
terlebih dahulu sebelum penghargaan terhadap pemenangnya.
Wasit itu disegani oleh pemain dan penonton.
Di sini wasit sering jadi sasaran amuk suporter yang jagonya kalah. Dan
dilupakan oleh pemenangnya. Begitu pun dalam pilkada dan pemilu. KPU dan
Bawaslu berjasa besar untuk mengantarkan pemenangnya. Ironisnya, setelah
menang malah terjadi beberapa anggota KPU masuk penjara. Sungguh ironis,
menyakitkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar