Simposium 65 dan Rehabilitasi Kemanusiaan
Bonnie Setiawan ; Direktur Eksekutif
Resistance
and Alternatives to Globalization (RAG) di Jakarta
|
INDOPROGRESS, 02
Mei 2016
SIMPOSIUM
65 yang berlangsung tanggal 18-19 April 2016 kemarin, telah membuka kotak
Pandora permasalahan dari apa yang disebut pemerintah sebagai Tragedi 1965,
atau yang oleh banyak kalangan disebut sebagai genosida 1965-66. Ini adalah
kulminasi terakhir dari tidak selesai-selesainya masalah 65 dalam sejarah
bangsa Indonesia setelah 50 tahun berlalu.
Mengapa
demikian hebatnya sensor terhadap 65? Tentu saja karena peristiwa 65 adalah
fondasi dasar kekuasaan Orde Baru (Orba). Rezim militeristik Orba dibangun
dari klaim sepihak mereka atas transfer kekuasaan dari Sukarno kepada Jendral
Suharto, dengan mengkambing-hitamkan PKI sebagai pelaku kudeta. Sejak itu
dibangun segala macam propaganda bagi keabsahan rezim Orba yang tidak boleh
dipertanyakan lagi, karena klaim kebenaran ini sekaligus dasar keberadaan
rezim tersebut. Bila kita mempertanyakan peristiwa 65, dengan sendirinya akan
membongkar permufakatan jahat yang terjadi di balik peristiwa 65, yang telah
disembunyikan terus menerus dari publik. Meskipun logikanya terbalik-balik,
tetapi narasi 65 versi Orba telah mampu membius dan mencuci otak sebagian
besar masyarakat.
Kita
pakai logika anak kecil saja untuk bertanya. Mengapa yang menculik dan
membunuh 6 jendral adalah tentara (resimen Tjakrabirawa), tetapi yang
disalahkan PKI? Mengapa pimpinan-pimpinan PKI langsung dibunuhi dan tidak
diseret ke pengadilan? Mengapa kalau terjadi kudeta terhadap Sukarno,
kemudian Sukarno juga ditahan? Mengapa tidak ada proses pengadilan terhadap
seluruh korban? Mengapa sejak itu terjadi pembasmian terhadap seluruh anggota
PKI, anggota ormas-ormasnya, pengikut Sukarno dan rakyat yang dikait-kaitkan
dengan peristiwa 65 yang tidak bersalah? Berkaca dari pemberontakan DI/TII,
Permesta dan lain-lain yang pengikut-pengikutnya tidak pernah dihabisi,
mengapa untuk PKI ada pembasmian secara terencana? Siapa yang diuntungkan
dari peristiwa 65 tersebut? Suharto sudah tahu informasi tentang G30S dari
Latif di malam 30 September 1965, tetapi mengapa dia diam saja? Mengapa
Suharto yang naik jadi presiden berikutnya?
G30S
adalah satu masalah besar yang belum juga diungkap dengan baik. Lalu
pembasmian atau genosida 65 adalah masalah besar lainnya. Juga pembuangan dan
penahanan di kamp-kamp seluruh Indonesia, utamanya di Pulau Buru adalah
masalah besar lain. Lalu ada masalah besar lain lagi, yaitu setelah mereka bebas
masih juga mendapat berbagai diskriminasi sebagai warga Negara kelas dua
berikut keluarganya dan keturunannya. Dan diskriminasi ini terus berlangsung
sampai sekarang tanpa upaya penyelesaian apapun. Sehingga keturunan ketiganya
(cucu-cucu mereka) tetap juga diselimuti kengerian dan kewaspadaan tentang
peristiwa tersebut tanpa penjelasan apa-apa dari pemerintah. Dan cucu-cucu
ini juga masih khawatir untuk membuka identitas dirinya sebagai keturunan 65.
Sungguh absurd! Atau memang inikah yang dimaui orang-orang tersebut? Atau
karena mereka dihantui rasa bersalah, karena mereka adalah bagian dari pelaku
ketika penjagalan berlangsung; termasuk anak-anak para penjagal juga dihantui
rasa bersalah dari orang-tuanya, sehingga selalu menutup sejarah 65 yang sebenarnya?
Dulu
di paspor Indonesia selalu disebutkan, “berlaku kecuali untuk Afrika Selatan
dan Israel”. Artinya pemerintah Indonesia mengecam rezim apartheid Afrika
Selatan saat itu yang rasialis. Lalu apa bedanya dengan Indonesia, kalau juga
melakukan rezim apartheid (diskriminasi) terhadap golongan politik tertentu
dan keluarganya? Ini disebut sebagai politicide, yaitu pembasmian dan
permusuhan sistemik serta perlakuan diskriminatif terhadap sebuah kelompok
politik tertentu. Betapa parahnya bila demikian. Dan apa lalu kita semua
harus diam saja? Dan apakah pemerintah akan terus diam saja?
50
tahun peristiwa 65 pada tahun 2015 berlalu tanpa pemerintah memberikan
pengakuannya. Jokowi ke Pulau Buru tanpa menjelaskan maknanya. Orang-orang
yang sama terus-menerus berkata bahwa pemerintah tidak boleh meminta maaf
terhadap PKI, sambil terus meng-agitasi massa akan munculnya komunisme gaya
baru (KGB). Apakah maksudnya para keturunan peristiwa 65 akan meneruskan
komunisme tersebut? Kembali kegilaan hadir, absurditas diamini. Setiap
pertemuan arisan atau reuni korban/penyintas 65 yang kadang juga diikuti
anak-anaknya (yang tentu saja sekarang sudah dewasa), selalu saja digerebek
dan diganggu ormas-ormas preman. Bahkan Ibaruri, anak DN Aidit yang sering
pulang ke Indonesia, selalu dikuntit dan diawasi intelijen. Padahal dia hanya
menjalankan proyek sosial untuk membantu ekonomi keluarga penyintas. Mau
sampai kapan kegilaan (madness) ini terus berlangsung?
Parahnya,
kegilaan atau ketidakwarasan itu mulai dianggap sebagai kenormalan atau
logis. Bahkan seorang jendral yang moderat sekalipun mengatakan berkali-kali
bahwa nggak usahlah anggota Gerwani itu berkumpul atau arisan. Nggak usahlah
mereka-mereka (mantan tapol) berkumpul. Mengerikan sekali. Sedemikian
parahnya wabah kegilaan itu melanda.
Simposium
65 ini sebenarnya sebuah upaya baik. Digagas oleh FSAB (Forum Silaturahmi
Anak Bangsa) yang dipimpin Letjen (purn.) Agus Wijoyo, putra dari Jendral
Sutoyo, pahlawan revolusi korban 65. Gagasan ini kemudian dikomunikasikan ke
kawan baiknya Jend. (purn.) Luhut Panjaitan yang juga Menkopolhukam.
Kemenkopolhukam menyambut baik dan jadilah simposium ini didanai dan
dijalankan oleh pemerintah. Akhirnya menggandeng juga Komnas-HAM dan
Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) lewat Irjen Pol. (purn.) Sidarto
Danusubroto. Komnas-HAM tentu diikutsertakan karena upaya judicial-nya
melalui laporan penyelidikan peristiwa 65 telah mengalami kemandegan di
tangan kejaksaan Agung. Sementara pak Darto karena beliau mantan ketua Pansus
UU-KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang UU-nya kandas di tangan
Mahkamah Konstitusi.
Karenanya
Simposium Nasional 1965 ini sebenarnya semacam upaya terakhir untuk mencoba
menyelesaikan peristiwa 65. Inilah pertama kalinya dalam sejarah Indonesia,
sebuah simposium nasional tentang 1965 diadakan oleh pemerintah. Karenanya
respons masyarakat terhadap simposium ini juga luar biasa. Luar biasa, karena
muncul penolakan dari ormas-ormas anti komunis yang menamakan dirinya Front
Pancasila, yang orang-orangnya memang sudah sering menjalankan agitasi anti
komunis di masyarakat, termasuk menggerebek dan melakukan kekerasan terhadap
pertemuan-pertemuan penyintas 65. Mereka menuduh simposium ini adalah
simposium PKI. Bahkan dalam demonstrasi mereka di depan hotel berlangsungnya
simposium, mereka juga meneriakkan polisi PKI kepada pasukan polisi yang
berjaga. Bahkan juga menuduh Menkopolhukan Luhut Panjaitan maupun Ketua
simposium Agus Wijoyo sebagai PKI. What a madness! Sementara di balik layar,
sebenarnya juga terjadi penolakan keras terhadap simposium 65 dari beberapa
jenderal garis keras anti komunis. Beberapa jenderal yang semula diundang
sebagai pembicara, juga urung hadir karena mereka menolak simposium tersebut.
Sementara
itu simposium ternyata berlangsung dengan meriah dan disesaki yang hadir.
Para penyintas/korban banyak yang hadir, lewat saluran organisasi YPKP65
(Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) ataupun LPRKROB (Lembaga
Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru). Beberapa eksponen Angkatan
66 juga kelihatan hadir, seperti Harry Tjan Silalahi, dr. Sulastomo, Taufik
Ismail, Christianto Wibisono dan lainnya. Juga banyak akademisi hadir, karena
memang semula simposium dirancang sebagai forum akademis. Juga dari kalangan
Ornop/LSM dan pendamping penyintas. Paling banyak adalah wartawan, tercatat
sekitar 120 orang yang datang. Karenanya liputan media atas simposium ini
cukup besar.
Apa
yang didapat dari simposium ini? Adalah dialog dan pertemuan terbuka tentang
peristiwa 65 yang sebelumnya selalu mendapat gangguan atau pembubaran. Dialog
dan diskusi terbuka inilah yang sebenarnya sangat berharga dari simposium
resmi yang dijalankan pemerintah ini. Dari simposium ini terlihat kembalinya
harapan bagi penyelesaian segera atas peristiwa 65 oleh pemerintah. Terutama
tuntutan dasar para penyintas/korban 65, adalah Rehabilitasi Umum atas status
kewarganegaraan mereka yang sampai saat ini tetap didiskriminasi dan
dicurigai. Penyintas yang umurnya rata-rata sudah 70-80 tahun ini hanya
berharap di sisa-sisa usianya, mereka bisa kembali menjadi warga Negara yang
penuh, yang normal; dipulihkannya harkat dan martabat mereka sebagai manusia
merdeka, tanpa diskriminasi. Inilah harapan sederhana mereka, sehingga mereka
bisa meneruskan kehidupannya bersama anak cucunya sebagai warga negara biasa
kembali.
Itulah
inti dari Rehabilitasi, yaitu mengembalikan orang-orang yang tadinya dalam
status terhukum (di masyarakat) menjadi orang-orang merdeka yang menikmati
hak-hak warga-negaranya secara penuh, seperti sebelum terjadinya peristiwa.
Itu berarti juga memulihkan hak-hak sipil dan politik, serta sosial, ekonomi
dan budaya mereka. Tidak lagi ada diskriminasi, pembubaran pertemuan,
kecurigaan, dan lainnya. Juga pengembalian nama baik mereka di masyarakat,
yang selama ini akibat propaganda Orde Baru, mencap mereka sebagai
pemberontak dan pelaku kejahatan, bahkan dianggap tidak beragama atau atheis.
Inilah harapan utama mereka. Kembali menjadi manusia Indonesia yang
bermartabat dan merdeka.
Mudah-mudahan
inilah yang akan segera diberikan oleh Presiden Jokowi, pemulihan para
penyintas/korban menjadi manusia kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar