Satelit BRI di Kurva Kedua
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 02 Juni
2016
Siklus
perusahaan selalu begini. Mulai dari bawah, lalu bergerak naik dan mencapai
titik puncaknya. Setelah itu mulai turun. Ini alamiah. Kita mengenal fenomena
tersebut dengan istilah Kurva Sigmoid, sebuah kurva yang bentuknya menyerupai
huruf S tertidur.
Meski
itu gejala alamiah, kita perlu hati-hati. Jika tidak dikelola dengan cermat,
penurunan tadi bisa berlanjut dan membawa perusahaan ke titik nadir. Ini
berbahaya. Jika sampai ke titik nadir, kerap kali sulit bagi perusahaan untuk
bangkit lagi. Maka penting bagi perusahaan untuk mengelola perubahan semacam
ini. Bergerak jauh sebelum ia turun dan mengalami kesulitan.
Kata
Charles Handy, “The secret of constant
growth is to start a new Sigmoid Curve before the first one moves to decline.”
Dalam buku Change, saya mengategorikan siklus perubahan tersebut dalam tiga
kelompok strategi, yakni transformasi, turn
around, dan manajemen krisis. Baiklah saya uraikan sekilas satu per satu.
Di
sini yang saya maksud transformasi adalah lompatan kurva yang dilakukan
ketika perusahaan sedang sukses, kinerjanya masih dalam kondisi prima.
Perubahan yang dilakukan pada saat tersebut adalah perubahan antisipatif.
Artinya perubahan dilakukan sebelum terjadi sesuatu—munculnya pesaing baru,
perubahan lingkungan bisnis, dan sebagainya—yang menuntut kita untuk berubah.
Sementara
itu turn around adalah lompatan
kurva yang kita lakukan ketika kondisi mulai turun. Perubahan yang kita
lakukan ini merupakan perubahan yang bersifat reaktif. Kita melakukannya
setelah terjadi suatu perubahan yang menuntut kita berubah. Adapun manajemen
krisis adalah lompatan kurva yang kita lakukan setelah kondisi perusahaan
sudah sangat kritis. Penurunan sudah terjadi dan perusahaan berada di titik
nadir.
Lompatan Bersejarah
Beranjak
dari tiga kelompok perubahan tadi, saya mengajak Anda menimba pengalaman dari
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI). Untuk itu sekilas saya mengajak
Anda ke Guyana Prancis. Di sana pekan mendatang akan terjadi lompatan penting
dalam sejarah BRI. Bahkan lebih dari itu, menurut saya, peristiwa tersebut
akan menjadi lompatan penting dalam sejarah industri perbankan Indonesia.
Pada
pekan itu satelit milik BRI atau BRIsat akan diluncurkan ke orbitnya oleh
perusahaan asal Prancis, Arianespace,
dari pusat peluncurannya di Guyana. Setelah itu, sekitar tiga bulan kemudian,
BRIsat mulai beroperasi. Mengapa ini menjadi lompatan penting dalam sejarah
industri perbankan Indonesia?
Untuk
Anda ketahui, bank-bank ternama di dunia seperti JPMorgan-Chase, Wells Fargo
atau Citigroup (ketiganya dari Amerika Serikat) pun tidak memiliki satelit
sendiri. Begitu pula dengan Industrial
& Commercial Bank of China (ICBC), China Construction Bank atau Agricultural
Bank of China (ketiga bank terkemuka dari Tiongkok), atau DBS Bank asal
negeri jiran Singapura. Jadi BRI adalah satu-satunya bank di dunia, juga yang
pertama, memiliki satelit sendiri.
Bahkan
kelak mereka akan mengoperasikan sendiri satelit tersebut. (BRI sudah
mengirimkan sejumlah teknisinya untuk menjalani pelatihan di Space Systems/Loral di Palo Alto,
California, AS, perusahaan yang membuat satelit tersebut.) Bukankah ini
lompatan penting dalam sejarah perbankan nasional?
Lalu,
apa kaitan BRIsat dengan tiga strategi perubahan tadi? Saya ajak Anda untuk
melihat kinerja BRI di 2015. Pendapatan dari suku bunga meningkat 13,5% dari
Rp72,46 triliun menjadi Rp82,22 triliun. Lalu pertumbuhan kreditnya juga naik
13,8%—meski ini membuat rasio non-performing
loan (NPL) kotor naik tipis dari 1,69% menjadi 2%. Begitulah bisnis. Kian
ekspansif, risiko juga meningkat.
Data
lainnya, laba bersih BRI juga bergerak naik. Kalau tahun 2014 masih Rp24,17 triliun,
pada 2015 menjadi Rp25,2 triliun. Jadi, naik lebih dari 4%. Ini menunjukkan
kinerja BRI tidak flat, tetapi melandai. Dengan kinerja semacam ini, selagi
masih berada di puncak, saya kira sudah sewajarnya kalau untuk membangun
Kurva Sigmoid kedua, seperti kata Charles Handy tadi, BRI perlu melakukan
transformasi.
Bukan
melakukan turn around, apalagi menerapkan manajemen krisis. BRI jauh dari
krisis. Peluncuran BRIsat, menurut saya, adalah salah satu lompatan penting
dalam penciptaan Kurva Sigmoid yang kedua tadi. Melalui lompatan yang
berbasis teknologi ini, saya mencatat BRI menyelesaikan beberapa masalah
sekaligus. Persis seperti ungkapan “sekali mendayung dua-tiga pulau
terlampaui”.
Apa
saja? Pertama, Anda tahu, cabangcabang BRI tersebar di manamana, tetapi
kebanyakan di desa-desa, kecamatan atau kabupaten. Sebagian bahkan berlokasi
di daerah-daerah terpencil. Sebab di sanalah nasabah BRI berada. Selama ini
dengan teknologi komunikasi yang ada, yang berbasis GSM atau CDMA, BRI sulit
untuk melayani nasabah- nasabah tersebut.
Maka
harus ada terobosan dari sisi teknologi. Hadirnya teknologi satelit menerobos
kendala tersebut. Ini sekaligus juga meningkatkan inklusi perbankan kita.
Kedua, ini soal antisipasi ke depan. Kita mungkin bisa membaca hal ini dari
tingkat penetrasi di industri telekomunikasi yang sudah mencapai 120%.
Artinya
setiap orang di Indonesia sekarang ini punya lebih dari satu nomor ponsel.
Kondisi semacam inilah yang membuat profil nasabah perbankan masa depan bakal
berubah total. Ke depan, akan semakin banyak nasabah membutuhkan layanan
perbankan yang berbasis ICT (information
and communication technology).
Masyarakat Bebek
Di
negara-negara maju, ini sudah terjadi. Di sana hampir 60% nasabah bertransaksi
dengan perangkat mobile-nya. Mereka bisa bertransaksi 20-30 kali per bulan.
Sangat aktif. Berapa banyak di antara mereka yang masih pergi ke bank? Hanya
tinggal 3%. Itu pun mereka hanya bertransaksi 1-2 kali per tahun.
Ingat,
per tahun, bukan per bulan. Akankah fenomena serupa terjadi Indonesia? Iya
dan menurut saya segera terjadi. Perubahan profil nasabah seperti inilah yang
harus diantisipasi BRI. Betul, saat ini profil nasabah perbankan kita masih
terbelah dua, yakni digital immigrant dan digital native. Anak-anak kita
adalah digital native. Mereka sejak
kecil sudah akrab dengan produk-produk berbasis ICT.
Sementara
para orang tuanya adalah digital
immigrant. Anak-anak menjuluki mereka dengan istilah generasi gaptek
alias gagap teknologi. Mengurus masalah ini adalah tantangan bagi BRI. Digital native adalah profil nasabah
masa depan, sementara digital immigrant
adalah nasabah masa kini. Mereka inilah yang harus diajak menatap ke masa
depan. Sulitkah? Rasanya tidak juga.
Masyarakat
kita itu kadang seperti itik atau bebek. Mulanya mereka kadang tidak percaya
bahwa dirinya bisa berenang. Tapi kalau kita sedikit memaksa dengan mendorong
mereka masuk ke kolam, nyatanya mereka bisa juga berenang. Itulah, saya kira,
yang perlu dilakukan BRI kalau mereka mau kinerja BRIsat optimal.
Dan
memang harus dioptimalkan karena investasinya tidak murah. Tapi penghematan
yang dicatat dan inovasi yang dihasilkan saya lihat akan sangat berarti bagi
perbankan Indonesia. Nanti, sekembalinya dari Guyana, saya ingin bercerita
lebih banyak lagi soal BRIsat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar