RT-RW dan Korporasi Negara
Hanif Nurcholis ;
Guru Besar Ilmu Pemerintahan
dan
Kebijakan Publik di Pascasarjana
PPS-UT
|
KOMPAS, 09 Juni 2016
Konflik
ketua RT dan RW dengan gubernur DKI Jakarta saat ini menunjukkan masih
kentalnya implementasi korporasi negara di negara kita.
Korporasi
negara adalah metode yang dipakai suatu negara yang, dalam mencapai tujuan
politik dan ekonominya, menggunakan korporasi sipil yang dibentuk sebagai
wadah tunggal partipasi. Di Indonesia, model korporasi negara dimulai
pemerintah kolonial. Raffles menjadikan kepala komunitas petani (lurah desa):
pemungut pajak tanah. Untuk penyuksesan kebijakan tanam paksa, Belanda
menjadikan desa korporasi inlandsche gemeenten. Di zaman pendudukan Jepang,
untuk mobilisasi dan kontrol penduduk demi pemenangan perang Asia Timur Raya,
pemerintah di samping tetap mempertahankan inlandsche gemeenten atau ku juga
membentuk korporasi baru di desa: tonarigumi, azajokai, heiho, keibodan,
bujingkai, dan seinendan yang meniru lembaga di negara asalnya.
Jepang
berkuasa hanya 3,5 tahun, tetapi praktik tata kelola pemerintahan berbasis
korporasi negara menghunjam sangat dalam ke jantung budaya pemerintahan
komunitas di negara kita sebab dimantapkan rezim Orde Baru. Rezim Orba yang dipimpin
bekas opsir PETA bentukan Jepang meneruskannya. Ia hanya mengubah
nomenklaturnya. Ku jadi pemerintah desa, tonarigumi RT, azajokai RW, heiho
hanra, keibodan kamra, bujingkai PKK, dan seinendan karang raruna.
Sebelum
pendudukan Jepang, bangsa Indonesia tak kenal lembaga RT dan RW. Sebagaimana
di zaman Jepang, status pemerintah desa, RT, dan RW bukan organ pemerintahan
formal. Ia hanya korporasi bentukan negara. Dalam UU No 23/2014 dan UU No
6/2014, RT dan RW bukan bagian dari struktur organisasi pemerintahan daerah.
Ia juga bukan organ pemerintahan kelurahan/desa. Permendagri No 5/ 2007
tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan memasukkan RT, RW, LPMD, PKK,
dan karang raruna bagian pemerintahan kelurahan/desa.
Sebenarnya
Kementerian Penerangan (1952) sudah mengingatkan pemerintah jangan latah
meneruskan kebijakan Jepang itu. Diusulkan, tonarigumi dan azajokai
dikembalikan sebagai wadah komunitas lingkup rumah tangga dan lingkup kampung
dengan fungsi utama memecahkan masalah komunitas dengan cara gotong royong
berdasarkan semangat kekeluargaan melalui musyawarah. Namun, demi mencapai
tujuan politik dan ekonominya, Orba menggunakan model state corporatism itu.
Sebagian
besar negara penerap state corporatism adalah pemerintahan otoriter dan militer.
Bangsa Indonesia sejak Reformasi sudah sepakat meninggalkan sistem
pemerintahan otoriter militeristik. Sudah saatnya negara mendesain
pemerintahan demokrasi modern sampai ke level paling rendah.
Pelayanan
negara harus dilakukan organ negara yang diurus aparatur sipil negara yang
kompeten dan profesional, bukan oleh korporasi sipil bentukan negara (RT dan
RW) yang relawan. Konsekuensinya, pemerintah harus membentuk kantor pos
pelayanan publik modern di tingkat komunitas.
Itulah yang melaksanakan tugas negara dan memberi pelayanan publik
profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar