Rasionalisasi 1 Juta PNS
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 08 Juni
2016
Menteri pendayagunaan
aparatur negara-reformasi birokrasi (menpan-RB) berencana merumahkan 1 juta
pegawai negeri sipil (PNS) untuk mengurangi jumlah PNS di pusat dan di daerah
dari 4,5 juta menjadi 3,5 juta orang. Mereka yang akan diberhentikan adalah
PNS yang tidak kompeten, tidak profesional, dan tidak disiplin.
Menurutmenpan-RB, jumlah PNS yang ada sekarang terlalu banyak. Selain itu,
dengan pertimbangan, pengurangan jumlah PNS bisa meringankan beban belanja
anggaran. Atas dasar itulah, rasionalisasi perlu dilakukan. Kata
rasionalisasi dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menjadikan
bersifat rasional; proses, cara, perbuatan merasionalkan (sesuatu yang
mungkin semula tidak rasional).
Ini artinya,
rasionalisasi bukan hanya dari aspek jumlah semata, tetapi juga sebagian PNS
dinilai tidak rasional karena tidak kompeten. Tentu saja rencana merumahkan 1
juta PNS ini menuai berbagai reaksi. Sepertinya berita besar ini
dipublikasikan sebelum segala sesuatunya benar-benar clear. Misalnya, jika ada yang bersedia pensiun dini, berapa
besar ”tali asih” yang bakal diterima? Ternyata belum ada bayang-bayang
angkanya.
Masih Simpang Siur
Berita soal rencana
merumahkan 1 juta PNS itu terus bergulir liar. Publik hanyut dengan tafsir
sendiri-sendiri. Berita simpang siur ini hanya dalam hitungan klik saja sudah
mendunia. Boleh jadi kabar yang menyebar hanya versi ”orang banyak saja”,
yang belum tentu sama persis dengan maunya menpan-RB. Dalam acara talkshow
salah satu TV swasta ada beberapa pernyataan kantor Kemenpan-RB yang
memunculkan multitafsir bagi publik.
Jawaban- jawaban tidak
menjawab telak pertanyaan soal mengapa perlu dilakukan rasionalisasi. Publik
mendapat jawaban, seolah-olah tujuan rasionalisasi hanyalah untuk menghemat
anggaran. Prioritas kebijakan ditafsirkan semata-mata karena negara ini
sedang kesulitan anggaran. Memang dibungkus dengan persoalan profesionalisme
dan tampilan PNS yang tidak kapabel dan tandem dengan ketidakdisiplinan
mereka.
Apalagi ketika pihak
menpan-RB, dalam dialog jam puncak sore tersebut, tidak ada jawaban pasti
ketika ditanyakan berapa uang diterima bagi para pensiun dini. Mestinya sudah
ada alternatif angka pasti sebagai daya tarik bagi mereka yang akan mengambil
paket ini. Ancer-ancer angkaini penting untuk mengurangi ”kepanikan” publik
yang memang belum begitu jelas soal kepastian rencana program.
Sorotan terhadap PNS
Rencana pengurangan
jumlah PNS merupakan isu sensitif, harus dikaji secara matang. Kelompok yang
kontra dengan rencana menpan-RB tidak juga boleh menggunakan kaca mata kuda,
semata-mata menentang kebijakan tersebut. Analisis juga secara adil atas
dasar kedua belah pihak untuk kepentingan yang lebih luas.
Jika kita berani jujur
dan bercerita apa adanya serta semata-mata untuk perbaikan PNS itu sendiri,
pastilah tidak serta-merta menumpahkan amarah atau antipati terhadap rencana
menpan-RB mengurangi jumlah PNS. Produktivitas, disiplin, kerajinan, semangat
kerja para PNS sepertinya memang problem besar bagi negeri ini. Untuk
instansi pemerintah dengan gaji PNS tertinggi sekalipun, problematika ini
masih eksis. Lulusan terbaik universitas ternama sekalipun ”tidak konsisten”
semangatnya setelah beberapa tahun bekerja.
Salah satu penyebabnya
adalah lingkungan kerja yang kurang kondusif. Jika para PNS yang bekerja di
birokrasi pemerintah dengan kesejahteraan tertinggi sekalipun tidak maksimal
tampilannya, bagaimana dengan PNS yang bekerja di lembaga yang gajinya
paspasan saja. Patut dapat diduga tampilan mereka. Memang jumlah laporan
masyarakat kepada Ombudsman Republik Indonesia terhadap pelayanan birokrasi
pemerintah tidak otomatis menggambarkan secara pasti parahnya kualitas PNS.
Laporanlaporan tersebut masih harus didalami.
Namun, jumlah laporan
masyarakat yang terus meningkat merefleksikan ada persoalan pada
profesionalitas dan kapabilitas para PNS. Pada 2015 Ombudsman menerima lebih
dari 6.500 laporan terkait kinerja PNS yang menyebar di berbagai
kementerian/kelembagaan negara. Pada 2016 jumlah laporan itu meningkat
signifikan. Baru pada Mei saja sudah lebih dari 4.000 laporan. Memang
berbagai upaya perbaikan telah dilakukan untuk mengubah wajah PNS. Namun,
berbagai praktik ”tidak karuan” juga terus berlangsung.
Hingga saat ini banyak
urusan di birokrasi yang memungut ”uang pelicin” agar lancar. Para menteri
mungkin sudah mempunyai langkah besar yang technology base. Namun, senyatanya praktik ”kacau balau” di
lembaganya masih berlangsung, corrupt
business as usual.
Dua Aspek Kepentingan
Kemenpan-RB memang
dibentuk agar ada upaya yang jelas dan terencana bagi pendayagunaan
pegawai-pegawai pemerintah. Ada juga program bagus untuk melakukan reformasi.
Publik harus memiliki kepercayaan terhadap langkah Kemenpan-RB. Inti
persoalan sesungguhnya bukan pada pengurangan 1 juta PNS semata, tetapi lebih
kepada upaya meningkatkan tampilan para PNS.
Diyakini tampilan PNS saat
ini ugly sebagai akibat jumlahnya
yang berlebih sehingga harus dikurangi. Meski demikian, janganlah atas nama
”penghematan anggaran” yang dibungkus dengan rasionalisasi mengabaikan
kepentingan dua belah pihak, yaitu para PNS dan publik. PNS adalah status
yang tidak hanya urusan orang per orang. Walau bagaimanapun, kondisi PNS
menjadi kewajiban negara untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mereka.
Tidak bisa pemerintah
”main pecat saja” walaupun dengan beberapa pembenarannya. Memang ”belakangan”
Kemenpan-RB menyebarluaskan penjelasannya soal rencana pemberhentian 1 juta
PNS ini. Mungkin setelah menyadari rencana mereka ditanggapi beragam bahkan
melenceng dari cerita sesungguhnya. Kantor menpan-RB sepertinya ingin
menegaskan ”tidak benar” jika akan ada kebijakan ”main pecat” begitu saja
terhadap satu juta PNS.
Ada langkah hati-hati
dengan mekanisme dan tolok ukur yang jelas soal rencana pemangkasan ini.
Ditegaskan juga bahwa PHK/pemecatan/ dirumahkan itu adalah istilah yang
dikembangkan oleh media. Kejadian yang benar adalah rencana rasionalisasi PNS
yang kualifikasi dan kompetensinya rendah. Pelaksanaannya diawali dengan
sosialisasi dan pembentukan tim percepatan penataan PNS di tiap-tiap instansi
pemerintah.
Ruang lingkup pemetaan
meliputi kompetensi, kualifikasi, dan kinerja. Hasil pemetaan dibagi dalam
empat kuadran. Kuadran 1 bagi PNS dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
baik. Masuk kuadran 2, mereka yang kualifikasi dan kompetensinya rendah,
tetapi berkinerja baik. Masuk kuadran 3, bagi PNS yang kualifikasi dan
kompetensinya baik, tetapi kinerja rendah. Kategori kuadran 4 bagi PNS yang
kualifikasi, kompetensi, dan kinerjanya rendah. Hanya PNS kategori 4 ini yang
dirasionalisasi.
Selain aspek PNS yang
dipertimbangkan, Kemenpan-RB juga harus memperhitungkan aspek kedua, yaitu
kepentingan publik. Harus ditegaskan benar bahwa rasionalisasi jumlah PNS
bukan sematamata untuk menghemat anggaran. Apabila yang dikedepankan
semata-mata untuk menghemat anggaran, pemikiran publik seringkali melenceng
dan tidak menyatu dengan kebijakan pemerintah. Adalah benar jika dialaskan
bahwa PNS terlalu boros menyedot anggaran negara dengan prestasi minim.
Benar juga bahwa
belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota saat ini rata-rata lebih besar dari
belanja publik. Ada 244 kabupaten/ kota yang belanja pegawainya di atas 50%.
Sebaiknya alokasi belanja pegawai diturunkan menjadi 28% dan itu setara
dengan rasionalisasi 1 juta PNS. Namun, selama ini keluhan atau laporan
justru pada rendahnya kualitas pelayanan publik ditujukan kepada pemerintah
daerah.
Pemda menduduki urutan
terbanyak diadukan ke Ombudsman pada 2015 terkait pelayanan publiknya. Peningkatan
kualitas PNS itu sudah merupakan keniscayaan agar birokrasi pelayanan publik
Indonesia setara dengan negara-negara utama di dunia. Jumlah PNS di Indonesia
tidak sepadan dengan karya yang dihasilkan. Jika dibatasi dengan alasan ini
saja, sepertinya beralasan untuk merasionalisasi jumlah PNS. Namun, bagi
publik adalah soal kepastian kualitas pelayanan PNS yang sejak negara ini
merdeka belum mampu sejajar dengan beberapa negara tetangga.
Saat KPK sudah
menangkap dan memidana banyak orang ternyata efek jera itu bahkan tidak
membekas. Korupsi dalam berbagai bentuknya itu masih eksis. Rasionalisasi
jumlah PNS harus dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Masih
banyak yang meragukan efektivitas rencana ini. Belum lagi lagu lama, berganti
menteri berubah pula kebijakannya. Tidak ada jaminan kebijakan menteri saat
ini pasti dipertahankan pada masa mendatang.
Ada yang meyakini
bahwa persoalan kita pada distribusi PNS yang tidak merata, bukan pada
jumlahnya. Ada ketimpangan penempatan antara satu daerah dan daerah lain.
Begitu juga ketimpangan jumlah pada profesi tertentu. Rasionalisasi jumlah
PNS sudah digulirkan, menteri sepertinya tidak mungkin membatalkan
rencananya. Publik sebaiknya mempercayai menpan-RB yang memang diamanahkan
untuk mereformasi birokrasi. Jika memang ending-nya
dengan cara ”merumahkan” 1 juta PNS, haruslah atas dasar data akurat. Publik
sebaiknya memberikan trust kepada
menpan-RB.
Sebaliknya, pemerintah
harus menjamin bahwa rasionalisasi jumlah PNS itu dengan keyakinan pelayanan
publik akan meningkat secara signifikan. Jika tidak terbukti, ke depan
pastilah kebijakan rasionalisasi ini memunculkan kekesalan dan penyalahan
tidak berkesudahan kepada Menpan-RB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar