Profesor Kebudayaan
Acep Iwan Saidi ;
Dosen Desain dan Kebudayaan
Sekolah Pascasarjana ITB
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
Tulisan saya bertajuk
”Profesor dan Absurditas” di Kompas (17/11/2015) ternyata mendapat apresiasi
yang positif dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Sekadar mengingatkan,
dalam tulisan itu dipersoalkan penyeragaman persyaratan menjadi guru besar
(profesor) pada semua disiplin ilmu, antara lain semua pelamar harus memenuhi
syarat memasukkan tulisan yang dimuat di jurnal internasional terindeks
scopus.
Syarat ini, pada hemat
saya,akan menghambat dosen yang mengajar praktik (seni rupa, desain, musik,
tari, dan lain-lain) yang keahliannya menciptakan karya budaya, bukan
berteori atau meriset ilmiah tentangnya.
Atas persoalan tersebut,
Dikti melakukan upaya positif terkait penyetaraan nilai karya seni dengan
karya ilmiah. Karya seni yang dipamerkan di tingkat internasionaldengan
lembaga penyelenggara pameran yang kredibel, misalnya, dapat disetarakan
dengan karya ilmiahpada jurnal dengan level yang setara, demikian untuk
tingkat nasional, dan seterusnya. Ikhtiar ini, meskipun belum diterapkan
dalam sebuah regulasi, patut mendapat apresiasi.
Dalam kerangka itu,
melalui esai ini, saya coba kemukakan ”alasan-alasan referensial” yang
menegaskan bahwa penyetaraan tersebut dapat dibenarkan secara akademis.
Namun, sebelumnya perlu diletakkan garis pembatas otoritas disiplin: bahwa
saya berbicara dalam ranah kajian budaya, cultural studies, yang di dalamnya
berkelindan, sekaligus saling bertegangan, berbagai disiplin (interdisiplin).
Ini penting disampaikan karena dalam sebuah kesempatan pertemuan ilmiah masih
ada pihak yang berpendapat interdisiplin, yang menjadi pisau analisis kajian
budaya, berarti tidak berdisiplin.
Dalam kaitan dengan
gugus kerja di Dikti, penegasan ini menjadi bertambah penting karena sebagai
lembaga negara, Dikti, mau tidak mau memang berada dalam kerangkeng sistemik
negara. Hal-hal teknis di dalam sistem selalu saja merupakan tembok yang
lebih kokoh ketimbang hal-hal ideal dalam ranah akademik, juga dalam ranah
praktik kehidupan keseharian. Pada titik ini, nilai-nilai keprofesoran
sebenarnya bertentangan dengan aturan administratif mengenainya. Yang pertama
menuntut mimbar kebebasan akademik, sedangkan yang kedua justru menolak
kebebasan tersebut.
Perdebatan panjang
Keprofesoran adalah
wilayah penelitian, penciptaan, dan secara umum pemikiran. Sementara itu,
sejarah pemikiran tidak pernah sepi dari perdebatan. Ia bahkan bisa dibilang
sebagai kisah perdebatan itu sendiri. Ketegangan antara filsafat, sains, dan
seni, misalnya, tidak pernah tuntas hingga kini, dan justru ia memang hidup
di dalam ketidaktuntasan tersebut.
Saya tidak ingin masuk
ke dalam kompleksitas perdebatan tersebut karena ruang yang sempit di rubrik
ini sangat tidak memungkinkan. Alih-alih memadai untuk elaborasi, ia justru
akan mendangkalkan.Untuk itu, saya memotongnya pada bagian termutakhir
perdebatan—yang di Barat sebenarnya sudah terjadi sejak awal abad XX. Pada
fase ini, perayaan ilmu pengetahuan tidak dilakukan dalam sebuah tembok
demarkasi yang disebut disiplin, tetapi justru di dalam interval
penghubungnya.
Fakta ini dengan
sendirinya meruntuhkan berbagai konsep, postulat, teori, dan lain-lain yang
telah mapan sebelumnya. Situs berbagai ilmu pengetahuan mencair, saling
bertemu di dalam fleksibilitasnya masing-masing.
Dalam ranah
kebudayaan, fenomena demikian sejalan dengan pergeseran yang terus-menerus
terjadi di dalam upaya memahami kebudayaan itu tersendiri. Kebudayaan kini
tidak lagi dilihat sebagai institusi otonom yang merumuskan nilai-nilai
secara elitis. Kebudayaan adalah problema keseharian, sesuatu yang
biasa-biasa saja (Barker, 2004). Kebudayaan merupakan entitas yang hidup di
dalam pengalaman, takterdefinisikan kecuali jika definisi itu diposisikan
sebagai persinggahan sementara dari makna-makna tertentu.
Instabilitas
kebudayaan sedemikian, pada sisi lain, menjadikan kebudayaan sebagai
kompleksitas. Di dalamnya terdapat berbagai relasi, pertentangan, tegangan,
serta konflik yang rumit. Dan konflik seruncing apa pun tidak bisa dilihat
melalui perspektif tunggal: bahwa dengan itu sedang dan akan terjadi
kekacauan atau keterputusan hubungan kultural, misalnya. Alih-alih disikapi
demikian, konflik justru mesti dilihat sebagai sebuah mekanisme pembentukan
tatanan baru. Seperti gunung api yang meletus, akhir letusannya justru
menciptakan tanah yang subur.
Situasi
konflik-konsensus adalah kodrat kebudayaan. Sebab itu, kebudayaan tidak
pernah mengenal puncak (puncak-puncak kebudayaan) sekaligus tidak mengenal
jurang (degradasi kebudayaan) kecuali dua lokus itu hanya titik penghentian
sementara. Di dalam kebudayaan, manusia tidak lain adalah Sisifus dalam
mitologi Yunani: mendorong batu ke bukit untuk kemudian batu itu
menggelinding ke jurang. Demikian seterusnya, ia bangkit dan jatuh lagi. Dan
hal itu bukanlah kutukan, melainkan sebuah perjuangan, yang karena demikian
kita bisa membayangkan bahwa dengannya Sisifus berbahagia (Camus, 1999).
Subyek kognitariat
Karena demikian
halnya, profesor kebudayaan bukan subyek eksistensial yang dipasak atau
memasak diri dalam disiplin yang kaku. Beranalogi kepada Franco Berardi
(2001), profesor kebudayaan adalah subyek kognitariat. Subyek ini bukan
pemegang teguh tongkat komando disiplin.
Alih-alih demikian, ia
justru memiliki kesadaran bahwa pada hakikatnya disiplin hanyalah sebuah
sudut pandang. Merujuk kepada Kellner (2010) yang berbicara soal fungsi
teori, disiplin adalah peranti yang menerangi fenomena tertentu di satu sisi,
tetapi di sisi lain memiliki titik buta sebagai konsekuensi dari fokus yang
membatasinya.
Lebih jauh, sebagai
sang kognitariat, profesor kebudayaan adalah sosok yang terlibat dalam
kompleksitas kebudayaan tadi. Artinya, ia bukan sekadar pakar ilmu dan
pengetahuan budaya, melainkan, yang lebih penting adalah pengguna dan
penggagas dalam praktik berbudaya. Profesor kebudayaan yang paripurna bisa
jadi pemilik keduanya. Namun, para perupa, desainer, penari, musisi, dan
praktisi-akademis lain tidak selamanya—mungkin juga tidak pernah—meriset dan
menulis sebagaimana ilmuwan melakukannya. Bagi mereka, meriset adalah
tindakan melakukan/menghasilkan yang konkret. ”Melukis Itu Menulis”, kata
perupa AD Pirous (2003).
”Mengucapkan”, kata
Umberto Eco (1979), tidak selamanya dalam bentuk bahasa verbal, tetapi juga
dalam bahasa visual, gerak,dan seterusnya. Di samping itu, menurut pakar
semiotika ini, tindakan mengucapkan berbanding lurus dengan menafsirkan.
Dengan kata lain, memproduksi tanda memiliki derajat yang sama dengan
menganalisis tanda. Hal ini berarti mencipta karya budaya berkedudukan sama
dengan meneliti kebudayaan. Singkatnya, posisi karya budaya setara dengan
karya ilmiah. Perbedaannya hanya terletak pada wujud produknya: yang satu
konkret (material culture), yang lain abstrak (nonmaterial culture).
Fakta inilah yang
harus dipahami oleh Dikti sebagai pemegang kuasa kualifikasi. Melahirkan
profesor kebudayaan tidak cukup dengan pekerjaan administratif mencontreng
kolom isian pada formulir kualifikasi, tetapi dibutuhkan kerja intelektual
yang meluas dan mendalam. Sangat dimungkinkan dibutuhkan ”perdebatan
kualitatif”. Logika sederhananya: bagaimana mungkin kebudayaan yang memiliki
karakter dinamis, progresif, dan kompleks sebagaimana telah diuraikan, guru
besarnya dilahirkan melalui persalinan yang rigid dan mekanis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar