Presiden Ramah Anak
Susanto ;
Wakil Ketua Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI)
|
KOMPAS, 31 Mei 2016
Kejahatan seksual
terhadap anak merupakan kasus serius. Kasusnya terus meningkat, baik
kuantitatif maupun kualitatif. Modusnya pun kian tak berperikemanusiaan:
mulai dari bujuk rayu, paksaan, hingga perkosaan, disertai pembunuhan bahkan
mutilasi. Opsi pidana mati bagi pelaku dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, disambut gembira sebagian masyarakat.
Anak merupakan
kelompok rentan. Sekitar 75 persen korban kekerasan seksual adalah usia anak.
Komitmen Presiden Joko Widodo yang memasukkan kejahatan seksual sebagai
kejahatan luar biasa layak diapresiasi. Selama ini, tak sedikit kasus
kejahatan seksual hanya dipandang sebagai pelanggaran kesusilaan, bukan
kejahatan kemanusiaan.
Merebaknya kejahatan
seksual terhadap anak bukan semata dipengaruhi minimnya pidana terhadap
kejahatan seksual. Ada faktor lain, seperti rentannya ketahanan keluarga yang
berujung pada kerentanan anak menjadi korban dan pelaku, mudahnya akses
terhadap materi pornografi yang menginspirasi seseorang melakukan kejahatan
seksual. Kecenderungan korban kejahatan seksual yang tak tertangani dan
mendapat rehabilitasi dengan baik juga menyebabkan ia rentan melakukan
kejahatan yang sama.
Dalam Pasal 22 Ayat
(1) UUD 1945 disebutkan: ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Penetapan
perppu oleh Presiden juga tertulis dalam Pasal 1 (4) UU No 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: ”Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Subyektivitas Presiden
dalam menafsirkan ”hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar
diterbitkannya perppu, akan dinilai DPR. Persetujuan DPR ini dimaknai
memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak).
Komitmen Presiden
Penyelenggaraan
perlindungan anak yang efektif memang memerlukan paket reformasi sistem yang
terpadu. Konsekuensianya, perlu sejumlah komponen: pendekatan norma dan
kebijakan, pendekatan kelembagaan dan layanan, pendekatan pendidikan
keluarga, pendekatan perubahan perilaku berbasis masyarakat.
Penerbitan perppu
merupakan subsistem reformasi perlindungan anak yang fundamental. Norma dan
kebijakan bukan jurus tunggal menyelesaikan masalah kejahatan seksual pada
anak yang ruwet dan kompleks. Namun, hadirnya kebijakan yang berpihak
kepentingan terbaik anak, pilar penting yang memengaruhi perubahan perilaku
publik.
Terbitnya Perppu No
1/2016 secara inheren telah menandai terjadinya perubahan paradigma besar
dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pertama, perlindungan anak menjadi
prioritas isu yang mendesak ditangani, kompleksitas masalah yang ada dapat
dikategorikan masuk stadium ”genting” sehingga perlu diambil langkah segera.
Kedua, norma hukum yang ada belum memberikan efek jera. Untuk menekan
tingginya kasus kejahatan seksual anak perlu pemberatan hukuman bagi pelaku.
Ketiga, ketertarikan
kepada lawan jenis melakukan hal natural, karena setiap manusia memiliki
”insting seksual” sebagaimana insting mencari makan dan juga rasa lapar.
Insting ini dalam dunia sains disebut ”libido”. Namun, hasrat seksual yang
liar dan tak terkendali dan dilampiaskan kepada anak merupakan bentuk
kejahatan dan tak bisa dibiarkan.
Liarnya perilaku
seksual yang menjadikan anak sebagai obyek, merupakan masalah serius karena
membahayakan hak hidup dan tumbuh kembang anak, sehingga perlu perlakuan
khusus sebagai bentuk perlindungan hak asasi anak. Memang, tak semua yang
memiliki nafsu liar dan perilaku seksual menyimpang, karena dorongan biologis.
Sebagian efek domino dari pikiran dan mental yang sakit. Sehingga, treatment
terhadap pelaku kejahatan seksual berulang tak hanya hukuman tambahan. Jika
teridentifikasi masalah kejiwaan, perlu rehabilitasi psikis secara tuntas.
Spirit hukuman
tambahan (salah satunya) dalam bentuk kebiri, sejatinya bukan semata-mata
berperspektif hukuman, tetapi inheren sebagai rehabilitasi.
Keempat, hasrat
seksual tak boleh dihilangkan, karena bersifat given dan bagian dari HAM.
Penyiksaaan terhadap pelaku juga tak dapat dibenarkan karena bertentangan
dengan komitmen konstitusional. Namun, perilaku seksual yang liar dan
membahayakan anak perlu ada intervensi agar ada perubahan perilaku, pulih,
normal, dan terkendali sebagaimana manusia umumnya.
Pekerjaan rumah
Sikap sebagian
eksponen pegiat HAM yang kurang sependapat dengan perppu perlu dihormati,
tetapi semangat Presiden juga perlu diapresiasi. Apalagi mazhab HAM Indonesia
merupakan mazhab HAM konstitusional. UUD 1945 mengenal ”HAM pembatasan”.
Pasal 28J menyebutkan: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain...”
Sementara, Pasal 73 UU
No 39/1999 tentang HAM menyebutkan: ”Hak dan kebebasan yang diatur dalam
undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang- undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa”.
Berkaca pada
konstitusi dan regulasi tersebut, tafsir HAM harus berimbang. Korban
kejahatan seksual umumnya mengalami efek negatif jangka panjang dalam sejarah
kehidupannya. Masa depannya porak poranda, sebagian cacat seumur hidup bahkan
meninggal dunia. Kondisi ini tentu perlu keberpihakan dalam menafsirkaan HAM
dan bukan condong sebelah ke HAM pelaku.
Pekerjaan rumah
terbesar adalah menyegerakan penerbitan PP sebagai tindak lanjut perppu, agar
tak menimbulkan kegamangan, kebingungan, dan kesalahpahaman masyarakat,
terutama terkait hal teknis eksekusi hukuman tambahan.
Prinsipnya, perppu
merupakan bentuk perlindungan terhadap HAM anak yang rentan jadi korban dan
anak sebagai korban. Bagi pelaku yang bukan vonis mati dan seumur hidup,
intervensinya tak semata-mata pendekatan pemidanaan. Perlu pendekatan
rehabilitasi, agar kelak seusai menjalani masa pidana, tak rentan melakukan
kejahatan seksual berulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar