Penjara Bahasa dan Titik Temu Agama-Agama
M Arief Hakim ; Penghayat
Religiositas dan Spiritualitas;
Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa
(YHNB)
|
SATU HARAPAN, 16
Mei 2016
Semua agama pada
dasarnya mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan cinta kasih. Cuma, dalam
sejarah kadang agama dipakai sebagai alat untuk melakukan teror dan
kekerasan. Terorisme atas nama agama dan Tuhan pun muncul di berbagai tempat.
Klaim keabsolutan ajaran agama dan watak para pemeluknya yang merasa paling
benarlah yang memberi ruang bagi munculnya terorisme dan kekerasan.
Sisi-sisi primitif dan
destruktif yang ada pada jiwa manusia lalu bersentuhan dengan klaim kebenaran
suatu agama (atau aliran tertentu dalam suatu agama) yang dianggap absolut.
Muncullah kemudian hal yang menyedihkan: terorisme dan kekerasan yang
dilakukan oleh pemeluk agama atau pemeluk aliran tertentu dalam suatu agama.
Dalam sejarah, agama pun lantas tampak ambivalen dan paradoks; di satu sisi
menebarkan cinta dan kedamaian, namun di sisi lain memicu teror dan
kekerasan.
Persoalannya kemudian
adalah berpulang kepada para pemeluknya. Oleh seorang pemeluknya, suatu agama
bisa menjadi energi untuk menebarkan cinta kasih dan kedamaian; namun oleh
pemeluk lainnya bisa saja justru sebaliknya, menjadi kekuatan untuk
menebarkan teror dan kekerasan. Oleh seorang pemeluknya, agama bisa
diekspresikan dengan sejuk dan toleran, tapi oleh pemeluk lainnya bisa
diekspresikan dalam wajah yang sangar dan penuh pemaksaan kehendak. Klaim
kebenaran yang absolut, merasa diri paling benar dan yang lain salahlah yang
menyebabkan teror dan kekerasan yang tak kunjung usai antarpemeluk agama atau
antarpenganut aliran tertentu dalam suatu agama. Hal ini telah lama terjadi
dalam sejarah, bahkan hingga kini, dan entah sampai kapan.
Penjara Bahasa dan Egoisme Atas Nama Agama
Pertikaian dan
kekerasan antarpemeluk agama atau antarpenganut aliran tertentu dalam suatu
agama juga disebabkan oleh semangat (atau nafsu?) untuk mencari pengikut
sebanyak-banyaknya. Seorang pemeluk agama atau aliran tertentu dalam suatu
agama merasa bahwa keyakinan dirinyalah yang paling benar dan yang lain
salah. Dia lantas memaksa orang yang dianggap “salah” itu untuk masuk ke
keyakinan yang “benar”.
Bahkan lebih parah
lagi, pemeluk agama tertentu yang merasa paling benar, merasa mewakili Tuhan,
dan memonopoli tafsir, sering memvonis sesat, kafir, dan halal darahnya pada
orang yang berkeyakinan lain. Lalu, terjadilah kesalahpahaman, bahkan
pertikaian dan kekerasan.
Penyebaran agama pun
tak selalu dilakukan dengan cara yang baik dan damai. Penyebaran suatu agama,
terutama dalam awal-awal sejarahnya, acapkali diwarnai dengan perang, teror,
dan kekerasan. Penyebaran agama sering beriringan dengan invasi, penyerangan,
dan penjajahan. Penyebaran suatu agama acapkali diwarnai dengan darah, air
mata, dan pembunuhan. Ironis, memang.
Dalam kasus-kasus
kekerasan seperti itu, sangat mungkin agama hanya menjadi legitimasi dan alat
dari para pemeluknya untuk memuaskan naluri primitifnya dalam bentuk
“kehendak untuk berkuasa”. Sumber problemnya sebenarnya terletak pada jiwa
destruktif manusia. Agama hanya dijadikan cantelan, alasan, dan energi untuk
menyalurkan watak destruktif itu, sadar atau tidak. Sadar atau tidak, agama
sering menjadi sarana untuk melampiaskan ego individu. Egoisme pun lalu
menemukan ruangnya dalam rumah agama.
Tekad para pemeluk
agama untuk membela agamanya (bahkan siap mati untuk itu) lalu patut
dipertanyakan. Sadar atau tidak, mereka sebenarnya hanya mempertahankan dan
membela egonya sendiri dengan mengatasnamakan agama dan sering juga Tuhan.
Siap mati untuk mempertahankan agama, bukankah ini merupakan perbuatan yang
naif dan konyol? Di sini, seseorang siap mati karena “penjara bahasa” yang
dibuatnya sendiri. Dalam penjara bahasa ini, sekali lagi, seorang pemeluk
agama sebenarnya cuma mengekspresikan dan mewakili egonya sendiri. Tak lebih.
Perjuangan manusia dan
umat beragama yang seyogyanya dilakukan dengan sungguh-sungguh misalnya
adalah memperjuangkan keadilan dan perdamaian, serta melawan penindasan dan
kezaliman; bukan mempertahankan agama (wacana bahasa) yang tak lain
sebenarnya adalah upaya memuaskan ego sang pemeluk agama itu sendiri.
Agama Sebagai Kedok: Hipokrisi Kaum Beragama
Teror dan kekerasan
atas nama agama juga sering disebabkan oleh motif-motif politik kelompok
tertentu. Agama dan umat beragama pun diperalat, dimanipulasi, dan dijadikan
alat politik untuk mencapai target-target tertentu dari kelompok yang
berkuasa. Simbol-simbol agama yang (di)sakral(kan) lantas dimanfaatkan oleh
orang-orang yang haus kekuasaan untuk mencapai syahwat politiknya.
Dalam sejarah, sering
terjadi persekongkolan jahat antara penguasa (elit politik) dan para pemimpin
agama (elit agama). Harta dan kuasa atau materi dan jabatan memang
menyilaukan dan memabukkan. Penguasa dan pemimpin agama bersatu padu untuk
meraih harta dan kuasa itu.
Acapkali tak
terbantahkan bahwa “materi dan ekonomi sangat potensial membentuk dan
mengubah basis kesadaran seseorang”. Agama dan para pemeluknya bisa bertekuk
lutut jika berhadapan dengan “harta” dan “kuasa”. Keduanya memang menggoda
dan menggiurkan. Faktor ekonomi dan materi, dengan demikian, bisa mengubah
proses kesadaran manusia dalam beragama.
Para penceramah dan
pengkhutbah yang fasih mengutip ayat-ayat suci dan menerangkan ajaran agama,
misalnya, acapkali juga berorientasi ekonomi belaka. Mereka menjadikan agama
sebagai komoditas. Mereka pun menjadi bintang iklan produk tertentu yang
penuh kibul dan bujuk rayu yang menipu. Semua akan dilakukan oleh para ahli
agama itu asal bayaran uangnya cocok. Karl Marx memang tak terbantah: yang
menjadi basis dan fondasi adalah ekonomi, sementara hal-hal lain di atasnya
hanya akan menyesuaikan, entah itu bernama politik, ideologi, agama, dan
sebagainya.
Untuk itulah,
hipokrisi (kemunafikan) kaum beragama merupakan fenomena yang jamak.
Seseorang terlihat alim, religius, dan taat beribadah; namun ternyata juga
melakukan korupsi, berbuat jahat, melakukan hal-hal yang hina dan penuh dosa,
dan sebagainya. Agama beserta simbol-simbolnya sering dijadikan kedok dan
alat untuk menutupi kejahatan dan kebusukan seseorang.
Persoalan Sosial: Titik Temu Agama-Agama
Agama yang dipeluk
oleh milyaran umat manusia di berbagai belahan bumi sudah seharusnya menjadi
“energi cinta kasih yang melimpah” atau “rahmat bagi semesta alam”. Agama
lalu diekspresikan oleh para pemeluknya secara damai, indah, toleran. Ada
dialog dan kerjasama antarpemeluk agama atau antarpenganut aliran tertentu
dalam suatu agama. Kalau ada titik temu dan kesamaan adalah hal yang bagus.
Tetapi, jika ada hal-hal yang berbeda dan tak mungkin disatukan maka para
pemeluk agama juga harus siap “bersepakat untuk tidak sepakat”. Dalam sisi
tertentu sangat mungkin ada perbedaan; tetapi, para pemeluk agama tetap harus
saling menghormati posisi masing-masing.
Dalam aspek teologi,
doktrin, dan ajaran, mungkin ada persamaan (atau lebih tepat titik temu) dan
mungkin juga ada perbedaan antarpemeluk agama. Tetapi, ada satu hal yang
lebih penting dan kaum beragama bisa bertemu, yaitu bekerjasama untuk mengatasi
persoalan sosial dan kemanusiaan. Dalam hal yang terakhir ini, semua
(pemeluk) agama bisa dipastikan bisa bertemu. Dan, masalah yang terakhir
ini—yakni mengatasi persoalan sosial dan kemanusiaan yang nyata—tentu jauh
lebih penting daripada sekadar berdebat soal wacana agama belaka yang justru
sering karut-marut.
Mengatasi problem
sosial dan kemanusiaan merupakan hal mendasar dalam kehidupan, serta mudah
dirasakan dan dilakukan tanpa harus memakai landasan pemikiran dan konsep
(ajaran) yang ndakik dan canggih, sementara berdebat soal wacana dan ajaran
agama acapkali hanya berhenti pada akrobat kata-kata dan konsep, tak
menyentuh realitas yang nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar