Pelembagaan Stabilitas Harga Pangan
Bustanul Arifin ;
Guru Besar Unila; Ekonom Senior
Indef;
Ketua Perhimpunan Ekonomi
Pertanian Indonesia (Perhepi)
|
MEDIA INDONESIA,
06 Juni 2016
KENAIKAN harga-harga
pangan pokok dan strategis menjelang Ramadan dan Idul Fitri bukan fenomena
baru dan bukan pula hal unik yang terjadi di Indonesia. Kenaikan harga yang
wajar pada kisaran 5%-7% tentu masih mudah dipahami masyarakat, karena nuansa
peningkatan ekspektasi konsumsi. Pedagang dan konsumen sama-sama menganggap
akan terjadi kenaikan harga, sehingga setiap pihak melakukan tindakan yang
menciptakan tekanan khusus pada harga pangan.
Pedagang besar dan
pedagang pengecer umumnya berupaya menambah stok, karena percaya permintaan
akan meningkat pada Ramadan dan menjelang hari besar keagamaan lain. Demikian
pula konsumen berupaya menaikkan konsumsi melebihi kebiasaan, juga untuk
menambah persediaan di rumah.
Di banyak negara maju
sekalipun, eskalasi harga pangan tertentu juga terjadi, bahkan terlalu
ekstrem. Harga daging ayam kalkun (turkey) di Amerika Serikat (AS) naik
berlipat-lipat setiap menjelang November dan mencapai puncaknya pada minggu
kedua November. Pada Kamis keempat November, masyarakat AS merayakan Hari
Syukur (Thanksgiving Day) untuk mengenang para imigran awal dari Eropa
(berkulit putih) yang pertama mendarat di Benua Amerika, yang konon ditolong
warga asli Amerika (berkulit merah) atau yang biasa disebut suku Indian. Hal
yang menarik ialah para ekonom pertanian dan analis pasar lain di AS terkadang
mengeluarkan atau tidak memasukkan tingkah laku harga yang memencil (outlier)
pada masa tidak normal selama November tersebut dalam suatu pergerakan harga
yang lebih jangka panjang. Dengan kata lain, para akademisi dan masyarakat
awam telah memaklumi fenomena eskalasi harga pangan daging ayam kalkun
tersebut.
Di Indonesia, bagi
sebagian pemuka agama atau kaum alim-ulama, sikap latah--sekadar tidak
menulis kalap--untuk menambah konsumsi pangan pada masa Ramadan tentu cukup
ironis. Kaum muslimin diajarkan untuk mengelola nafsu untuk konsumsi dan
kesenangan duniawi lain dan menambah porsi ibadah dan pendekatan diri kepada
Ilahi. Hal yang lebih menarik ialah bahwa siklus kenaikan harga pangan pokok
dan strategis itu berlangsung rutin setiap tahun, bahkan dengan pola yang
nyaris sama. Pemerintah sering kali dianggap lamban memberikan respons dan
melakukan antisipasi, walaupun pola kenaikan harga telah lama diketahui.
Masyarakat akan
menjadi lebih gusar apabila pemerintah tidak terlihat satu suara dan tidak satu
pendapat untuk menambah persediaan demi mengantisipasi kenaikan harga
tersebut.
Contoh yang menarik
untuk disebutkan di sini ialah tentang perbedaan pandangan tentang penanganan
kenaikan harga bawang merah, sehingga harus berpolemik di media massa. Kementerian
Pertanian meyakini bahwa saat ini terdapat surplus bawang merah sampai 66
ribu ton, dengan perhitungan bahwa angka ketersediaan bawang merah mencapai
241.600 ton, sedangkan kebutuhan hanya diperkirakan 175.600 ton. Akan tetapi,
Kementerian Perekonomian tidak terlalu yakin terhadap data atau estimasi yang
disampaikan Kementerian Pertanian, utamanya karena harga pasar bawang merah
masih berada pada harga tinggi. Harga eceran bawang merah sempat mencapai
Rp45 ribu per kg pada pertengahan Mei di beberapa pasar tradisional di
Jakarta. Laporan data resmi dari situs Kementerian Perdagangan menunjukkan
bahwa harga rata-rata bawang merah pada 3 Juni 2016 telah menurun menjadi
Rp40.320 per kg. Jika dibandingkan dengan harga bawang merah pada awal Juni
2015 yang mencapai Rp36.580 per kg, harga saat ini telah mengalami
peningkatan 9,6% per kg.
Kementerian
Perekonomian bahkan berencana menugasi badan usaha milik negara (BUMN) untuk
melakukan impor bawang merah sebesar 2.500-5.000 ton, khusus untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi Ramadan atau menjelang Idul Fitri. Di pihak lain,
Kementerian Perdagangan juga tidak akan memberikan persetujuan rencana impor
bawang merah tersebut karena dikhawatirkan mengganggu harga jual petani
bawang merah di dalam negeri. Bahkan, Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI)
akan melakukan demo ke Jakarta jika pemerintah sampai mengimpor bawang merah.
Selama ini, Perum Bulog sebenarnya terlah terlibat pada distribusi bawang
merah di Indonesia dengan membeli langsung kepada petani dan membantu menjual
pada sentra-sentra konsumsi di kota-kota besar.
Eskalasi harga
Contoh kedua yang
menarik untuk disampaikan di sini ialah eskalasi harga daging sapi yang masih
bertengger pada harga Rp120 ribu per kg.
Di Aceh, harga eceran
daging sapi bahkan jauh melampaui Rp150 ribu per kg karena tradisi memeugang
atau budaya mengawali Ramadan dengan makan daging bersama keluarga besar. Kehormatan
sebuah keluarga di Aceh akan dipertaruhkan jika pada awal Ramadan tidak mampu
memasak daging sapi, dan menghidangkannya di dalam keluarga dan kerabat. Menurut
data dari situs Kementerian Perdagangan, harga rata-rata daging sapi tercatat
Rp114.050 per kg, atau naik 11% jika dibandingkan dengan Rp102.700 per kg
pada awal Juni 2015.
Masyarakat sebenarnya
sudah amat paham bahwa pasokan daging sapi dari dalam negeri masih belum
mencukupi untuk memenuhi permintaan.
Dengan langgam
peningkatan produksi dan produktivitas daging sapi selama Indonesia belum
mampu berswasembada daging sapi. Tim Studi Fakultas Pertanian Universitas
Lampung (2015) pernah membuat estimasi bahwa Indonesia baru akan mencapai
swasembada daging sapi pada 2022, jika mampu melakukan perbaikan strategi
peningkatan produktivitas daging sapi.
Sebenarnya, pemerintah
telah melakukan antisipasi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri
dengan meningkatkan rencana impor sapi bakalan pada 2016, sampai mencapai
setara 600 ribu ton daging sapi.
Pemerintah mungkin
belajar dari lonjakan harga daging sapi pada 2015 yang lebih banyak
disebabkan terhambatnya pasokan daging sapi yang masuk ke Indonesia. Menariknya,
dari hambatan pasokan impor sapi dan upaya untuk menanggulangi rantai nilai
yang agak tertutup, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan
investigasi pada beberapa industri penggemukan sapi (feedloter). Setelah
melalui debat publik yang cukup panjang, akhirnya KPPU memutuskan untuk
menghukum 32 perusahaan penggemukan sapi dengan rentang denda Rp194 juta
sampai Rp21 miliar. Industri daging sapi itu dianggap melakukan praktik
persaingan usaha tidak sehat dengan sengaja menahan pasokan sapi. Sambil
menunggu upaya banding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi, upaya
penegakan hukum oleh KPPU itu mungkin akan menjadi preseden baru pada iklim
persaingan usaha yang sehat di Indonesia di masa depan.
Pemerintah juga telah
mengizinkan tambahan impor daging sapi beku atau secondary cut sebanyak 10
ribu ton lagi, khusus untuk mengantisipasi lonjakan permintaan daging pada
masa Ramadan dan Idul Fitri. Masyarakat mungkin tidak terlalu peduli tentang
apakah impor daging sapi beku itu mampu menurunkan harga daging sapi sampai
ke tingkat Rp80 ribu per kg sebagaimana dikehendaki Presiden Joko Widodo atau
tidak. Hal yang perlu dicatat ialah masyarakat Indonesia tidak terlalu
terbiasa melakukan konsumsi langsung daging beku, dan rantai nilai daging
beku belum mampu menembus jaringan pengecer daging di pasar tradisional.
Lembaga struktural
Berdasarkan analisis
atau gambaran kasus eskalasi harga pangan itu, kinilah waktunya untuk lebih
serius melakukan pelembagaan stabilitas harga pangan. Pelembagaan atau
aransemen kelembagaan yang dimaksud di sini dapat diartikan secara struktural
dengan mewujudkan amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pada Pasal
126-129 telah diamanatkan secara eksplisit kepada pemerintah untuk membentuk
lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga struktural itu kelak diharapkan
mampu melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.
Aransemen kelembagaan
tentang stabilisasi harga pangan secara kultural atau secara sistem nilai
sebenarnya dapat dilaksanakan apabila pemerintah memiliki kewibawaan
kebijakan di bidang pangan. Di dalam buku teks dan praktik bisnis yang lazim,
lima hal penting berikut setidaknya perlu diketahui atau dipahami pemerintah.
Pertama, penemuan harga (price
discovery) melalui negosiasi formal dan informal oleh pelaku ekonomi atau
perusahaan. Kedua, perdagangan biasa, pasar lelang, baik secara fisik, maupun
secara elektronik. Ketiga, formula pembentukan harga yang fair. Keempat, kesepakatan harga pada
kelompok produsen, koperasi, asosiasi, dan lain-lain yang melibatkan
pemerintah. Kelima, keputusan khusus oleh lembaga pemerintah karena
pertimbangan tertentu.
Implementasi dari
perumusan aransemen kelembagaan untuk stabilitas harga pangan di atas tentu
memerlukan adaptasi ke sistem dan kebijakan yang berlaku di Indonesia. Tidak
terlalu berlebihan jika Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja
Nasional (Pokjanas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang memiliki
jaringan kerja sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota perlu mulai
mengembangkan aransemen kelembagaan untuk stabilitas harga pangan di masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar