Pancasila, BI, dan Ekonomi
Fachry Ali ; Salah satu pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
|
KOMPAS, 14 Juni
2016
Saya setuju penetapan
1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Walaupun urut-urutan silanya berbeda ketika
dirumuskan secara resmi dan tercantum dalam Mukadimah Konstitusi pada 18
Agustus 1945, nama dan gagasan besar ideologi negara itu sepenuhnya milik
Soekarno.
Masalahnya adalah
seliweran gagasan menjelang dan setelah 1 Juni tentang Pancasila tahun ini-seperti
juga tahun-tahun lalu, juga mungkin tahun depan-selalu bersifat normatif:
anggapan bahwa semua kesalahan di Indonesia terletak pada absennya
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tak ada pertanyaan apakah
Pancasila itu terlalu "agung" hingga sulit diterjemahkan ke dalam
"realitas konkret" Indonesia?
Hemat saya, analisis
atas "realitas konkret" Indonesia inilah yang dilakukan pencetus
Pancasila, Soekarno, dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Kolonial pada
1930. Sambil melihat bahkan Sriwijaya dan Majapahit sebagai wujud
imperialisme, dalam pembelaan berjudul "Indonesia Menggugat" itu
Soekarno mengesankan pemerintah kolonial juga korban kekuatan besar pembentuk
"realitas konkret" itu: kapitalisme dan imperialisme.
Ujarnya,
"Sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau
pemerintah... adalah salah sama sekali." Sebab, dalam pandangan
Soekarno, kapitalisme adalah "sistem pergaulan hidup yang timbul dari
cara produksi yang memisahkan kaum buruh dengan alat-alat produksi, yang
karenanya menjadi sebab nilai lebih tidak jatuh ke tangan kaum buruh,
melainkan... ke tangan majikan. Kapitalisme menyebabkan akumulasi kapital...
dan industrielle reserve army
(kelompok penganggur). Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung".
Yang terakhir ini
berarti memelaratkan kaum buruh.
Dengan definisi ini, Soekarno menyimpulkan: "Kapitalisme itu
bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa." Dan
dilanjutkannya: "Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau
mempengaruhi ekonomi bangsa lain... mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa
lain." Dan imperialisme adalah anak modern kapitalisme, yaitu
"usaha meluaskan milik jajahan secara tidak terbatas.... untuk
keuntungan industri dan kapital bank mereka sendiri".
"Commercial society"
Kecuali
pernak-perniknya, 86 tahun setelah pidato pembelaan Soekarno itu, struktur
pengaruh kekuatan global tidak berubah, bahkan kian dalam dan rumit. Benar,
kemerdekaan Indonesia cetusan Soekarno-Hatta (1945) adalah subyektivisme
bangsa membentuk "realitas politik" sendiri. Akan tetapi, secara
struktural kemerdekaan tersebut terpaksa tergelar di atas "realitas
konkret" bentukan kapitalisme dan imperialisme. Di sini, negara sebagai
pemegang kedaulatan politik harus terus-menerus bernegosiasi dengan kekuatan
abstrak ciptaan kapitalisme dan imperialisme itu. Sebagai konsekuensinya,
manuver menerapkan Pancasila menjadi "sempit". Bagaimana ceritanya?
Salah satunya adalah
karena terbentuknya gabungan consumer
society dan market society
(masyarakat konsumen dan masyarakat pasar) yang bertransformasi menjadi
masyarakat komersial (commercial
society). Mengikuti logika Niall Ferguson dalam bukunya, Civilization: The West and the Rest
(2011), keberadaan kedua masyarakat inilah alasan utama kerja sama erat
teknologi dan modal. Kemunculan industri tekstil abad ke-18 di Inggris, bukan
saja tanda mulainya Revolusi Industri, melainkan juga tercipta kemampuan daya
beli masyarakat.
Melalui penciptaan
pabrik tenun, produksi meningkat berkali lipat. Ini mendorong harga barang
lebih murah dan terjangkau masyarakat. Semakin luas masyarakat pembeli,
semakin merangsang investasi modal dan temuan-temuan teknologi baru lebih
lanjut. Inilah proses terciptanya commercial society, yakni himpunan sosial
yang mendasari kesintasan hidup melalui mekanisme transaksional. Di sini,
konsumen dan produsen menyatu dengan lainnya tanpa, menurut Pierre Manent,
filosof Belanda abad ke-18, "harus berbagi pandangan hidup".
Ucapan Manent yang
dikutip Samuel Gregg dalam The
Commercial Society (2007) ini menyiratkan aspek struktural perluasan
masyarakat ini ke tingkat global, yakni ketika kelebihan produk industrial
tak mampu terserap pada tingkat domestik melahirkan kebutuhan ekspansi ke
luar Eropa. Struktur usaha merkantilisme lahir melalui proses ini, ketika
tambahan investasi modal dan temuan-temuan teknologi lanjutan mendapat
proteksi politik otoritas kekuasaan negara bersangkutan dalam memperluas
pasar bagi produk industrinya. Lahirnya masyarakat konsumen global dengan
metode inilah yang dimaksud Soekarno sebagai "imperialisme".
Dengan fakta dan
logika itu kita bisa menyimpulkan bahwa kemunculan masyarakat konsumen di
Indonesia telah berlangsung lebih dari 100 tahun sebelum kemerdekaan. Sebab,
peredaran uang dalam jumlah tak berpreseden telah berlangsung sejak 1830,
ketika sistem tanam paksa diterapkan negara kolonial di Jawa. Mengutip
Cornelis Fasseur dalam The Politics of
Colonial Exploitation: Java, the Dutch and the Cultivation System (1992),
diketahui telah beredar dana 10 juta gulden pada 1840 dan 14,5 juta gulden
pada 1860 di Jawa untuk memenuhi seluruh keperluan sistem tanam paksa. Sudah
tentu, dari jumlah itu, hanya sebagian kecil tersangkut kepada petani dan
elite pribumi Jawa. Hanya saja, sistem pembayaran tunai kepada petani atas
tanaman-tanaman ekspor yang dipaksakan negara kolonial itu membuat cash economy (ekonomi uang) mulai kian
terasa.
Peredaran uang kian
terjadi melalui kebijakan "liberal" sejak 1870. Mulai saat itu,
Jawa dan Indonesia secara keseluruhan dibanjiri modal swasta mancanegara yang
ditanamkan ke dalam sistem perkebunan bertujuan ekspor. Sifat
"liberal" ini secara tidak langsung mendorong rakyat kian menjadi
anggota commercial society. Berbeda
dengan sistem tanam paksa, melalui UU Agraria 1870 itu para investor swasta
dapat menyewa tanah rakyat secara langsung selama 70 tahun. Secara kasatmata,
proses ini adalah tambahan aliran uang ke tangan rakyat. Namun, secara
teoretis, ini adalah proses transformasi mental. Mengikuti Robert Heilbroner
dalam The Making of Economic Society
(1962), tanah yang sebelumnya dihayati sebagai wilayah pertuanan (great lord), melalui proses penyewaan
itu berubah menjadi komoditas.
Dan andai tuntutan Van
Derventer terpenuhi, perputaran uang di Jawa kian besar. Melalui tulisannya, "Een Eereschuld" (Utang
Budi) pada 1899, tokoh politik etis ini menuntut negara induk (Belanda)
mengembalikan uang 187 juta gulden plus 100 juta gulden ke Jawa. Ini tak
terkabul. Tetapi, parlemen Belanda mengalokasikan 40 juta gulden bagi
pembangunan pertanian sebagai bagian pelaksanaan politik etis pada 1901.
Bergabung dengan modal tertanam kaum kapitalis swasta sejak 1870, dana
pemerintah kolonial itu jelas kian menambah "likuiditas" masyarakat
kolonial. Ujungnya, kian menguatkan sifat komersial masyarakat di Indonesia.
Peranan BI
Apa hubungan semua ini
dengan penerapan Pancasila? Melihat sejarah kapitalisme di atas, tak perlu
Marxisme untuk mengetahui, sejak awal realitas dan landasan material
Indonesia bukanlah bentukan dan dikontrol bangsa sendiri. Sebab, akar sejarah
commercial society lebih panjang dari proses pembentukan bangsa. Ini
menyebabkan negara, pemegang otoritas politik, harus selalu menyesuaikan diri
di dalam proses ekonomi. Judul berita utama Kompas (6/6), "Antisipasi Pemerintah Lambat",
penyebab harga beberapa barang naik menjelang dan hari pertama bulan puasa
2016 dengan terang menunjukkan hal ini. Ini disambung berita utama The
Jakarta Post (7/6): "Food Price
Controls Failing" (Pengendalian Harga Pangan Gagal).
Keinginan Presiden
Jokowi bahwa harga daging tetap pada Rp 80.000 per kilogram selama bulan
puasa bertujuan mengurangi beban (ekonomi) rakyat. Gagasan Presiden itu
sebenarnya menekankan sistem ekonomi Pancasila dalam versi Mubyarto, yaitu
seperti diungkap dalam Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (1987),
selain rangsangan ekonomi, proses transaksi harus mempertimbangkan
"rangsangan sosial dan moral". Namun, seperti tecermin dalam berita
Kompas di atas, "hukum permintaan dan penawaran" alias "rangsangan
ekonomi" tampak lebih kuat. Dalam arti kata lain, niat
"Pancasilais" negara harus berhadapan dengan realitas yang tidak
dibentuknya.
Dalam konteks inilah
kita harus melihat Bank Indonesia (BI), bank sentral, pemegang otoritas
moneter. Berbeda dengan Kementerian Keuangan pemegang otoritas fiskal,
sebagai bank sentral, BI dihadapkan secara langsung pada commercial society
yang bukan saja sangat dinamis, melainkan telah lahir jauh hari sebelum
kemerdekaan. Sebagaimana terbaca dalam wawancara Deputi Senior BI Mirza
Adtyaswara di The Jakarta Post (6/6), langkah BI menenangkan publik
memerlukan pemahaman jitu dan kemampuan teknikal atas dinamika commercial
society yang "tak bertepi" itu.
Bayangkan, walau
secara geografis The Federal Reserve,
bank sentral AS, sangat jauh dari Indonesia, rencana rapat Komite Pasar
Terbuka Fed tentang kemungkinan naiknya suku bunga yang akan berlangsung pada
14-15 Juni ini segera memengaruhi persepsi aktor-aktor utama commercial society Indonesia.
Kondisi semacam ini
kian rumit karena penyakit perekonomian AS yang memengaruhi Indonesia itu
juga belum teridentifikasikan. Mengutip Greg IP dalam artikel "Rewriting US Economic History"
(The Wall Street Journal, 2/6),
perekonomian itu dihinggapi anomali. Sementara belanja masyarakat (consumer spending) meningkat, bisnis
investasi justru sebaliknya. Dalam pandangan Greg, fakta ini bukan saja
memperlihatkan belum berakhirnya Resesi Besar yang dimulai 2009, melainkan a
deeper malaise (penyakit lebih parah) yang mendahului atau bahkan mendorong
krisis finansial itu.
Implikasinya penting
kita lihat untuk menunjukkan betapa daya bujuk teknikal dalam pembuatan
kebijakan lebih dibutuhkan daripada tindakan politik. Mengapa? Karena bahkan
teori pertumbuhan dalam kepungan psikologi malaise itu belum terpecahkan.
Yang bisa dilakukan adalah mendiagnosis mengapa pertumbuhan tak terjadi,
yaitu karena resesi dengan latar belakang malaiseitu menimbulkan keraguan
akan masa depan. Inilah yang terjadi pasca-2009. Kendatipun suku bunga turun
drastis, investasi tak kunjung menaik. Akibatnya, pertumbuhan melambat. Keburaman masa depan
itu menurunkan semangat berbelanja. "Businesses'
and households' anticipation of less growth in the future," tulis
Greg, "explains lackluster
spending", Dan, seperti lingkaran setan, turunnya spending atau
belanja mengancam pertumbuhan.
Ironisnya,
"campur tangan politik", yaitu menggunakan resep stimulus fiskal
dan moneter, bukan saja tidak efektif, tetapi justru menimbulkan persoalan
baru. Di sini, Greg mengutip Gubernur The Fed Jay Powell: "Masa panjang
suku bunga rendah bisa mengarah kepada spekulasi (risk taking) berkelebihan dan memperpanjang tingginya harga-harga
aset dan pertumbuhan kredit."
Apa yang kita lihat di
sini? Yang jelas, commercial society
mempunyai logika kalkulasi tersendiri dan hanya tunduk pada mekanisme itu.
Maka, jangankan "menaklukkan", negara seadidaya AS pun masih harus
berjuang untuk "memahami"-nya. Persoalannya adalah bahwa teka-teki
atau ketidakpastian perekonomian AS yang lahir dari psikologi malaise itu,
seperti disebut di atas, berpotensi memengaruhi perekonomian Indonesia. Di
sini, dalam posisi terbalik, rumusan Soekarno pada 1930 tentang kapitalisme
dan imperialisme tetap mengaum. Jika pada masa itu, dana negara-negara
kapitalis menjadi pancingan menyedot sumber daya ekonomi Indonesia, kini,
melalui kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed, dana dalam mata uang AS
berpotensi lari dari negeri ini. Seperti telah ditegaskan, landasan realitas
material Indonesia tidak dibentuk oleh kekuatan-kekuatan dalam negeri.
Kerumitan yang lahir
dari landasan "realitas material" bentukan kekuatan-kekuatan global
commercial society inilah yang
dihadapi BI sehari-hari. Sesuai logika kalkulatif aktor-aktor commercial society, kenaikan bunga The
Fed mempunyai pengaruh panjang. Dimulai dengan pelarian modal, diikuti
depresiasi rupiah. Yang terakhir ini melahirkan imported inflation dan pengurangan cadangan devisa. Ujungnya,
lahirnya defisit neraca transaksi berjalan dan, sebagai akibatnya, hilangnya
kepercayaan investor. Secara normatif, Pancasila adalah ideologi politik.
Tetapi, "realitas material"-nya yang memengaruhi nasib ekonomi
bangsa dibentuk oleh kekuatan-kekuatan suprabangsa. BI berada di garis
terdepan menghadapinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar