Multilateralisme dalam Kepentingan RI
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
Ada dua pernyataan
Presiden Joko Widodo ketika berbicara di Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di
Ishe-Shima, Jepang, yang bisa dibilang normatif, tidak menjelaskan langkah
yang akan dijalankan dalam kebijakan luar negeri sesuai kepentingan nasional
Indonesia. Presiden menekankan perlunya penghormatan hukum internasional
serta kesiapan Indonesia menjadi motor perdamaian dan kesejahteraan.
Secara tidak langsung,
Jokowi menekankan persoalan klaim tumpang tindih Laut Selatan antara RRT dan
empat negara ASEAN, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia, harus sesuai
dengan norma dan nilai hukum internasional. Artinya, Indonesia akan mendukung
penuh hasil sidang arbitrase internasional (PCA) di Den Haag, Belanda,
terkait persoalan hukum laut internasional di kawasan tersebut.
Artinya juga, ASEAN
harus mempersiapkan pernyataan terkait keputusan PCA dengan seruan
menghormati hukum internasional yang selama ini dijunjung semua anggota.
Keputusan PCA akan mengubah paradigma tentang sembilan garis putus-putus di
Laut Selatan, serta status dan fitur pulau, karang, dan beting di kawasan ini
tentang hak-hak wilayah teritorial ataupun wilayah zona ekonomi eksklusif
(ZEE).
Kita berharap,
keputusan PCA mengakhiri berbagai sengketa tidak hanya klaim kedaulatan di
Laut Selatan, tetapi juga antar-ASEAN, termasuk klaim ZEE Indonesia-RRT.
Akhir pekan lalu, kembali terjadi insiden pencurian ikan oleh kapal nelayan RRT,
Gui Bei Yu 27088, yang kemudian ditangkap TNI AL.
Masalah lain, kesiapan
apa yang dilakukan Indonesia menjadi motor perdamaian dan kesejahteraan Asia?
Apa yang telah dan akan dilakukan Indonesia menghadapi persaingan pengaruh
negara-negara besar di kawasan? Apakah ASEAN ataupun pranata multilateralisme
melalui KTT Asia Timur (EAS) dan Forum Regional ASEAN (ARF) masih menjadi
kepentingan nasional Indonesia?
Dalam sistem
multikompleks dan dinamis secara politik dan ekonomi, Indonesia sebagai
kekuatan menengah perlu memikirkan ulang strategi cordon sanitaire (penyangga
steril) seperti era Perang Indochina ke-3 (1978-1991). Penyangga modern
memiliki beragam bentuk, sesuai kebutuhan politik, ekonomi, sosial budaya,
ataupun pertahanan dan keamanan.
Sejak berdirinya
Indonesia, Asia Tenggara selalu menjadi cordon
sanitaire utama melayani kepentingan nasional dan regional sebagai
kesatuan konsep pemikiran ASEAN. Peran diplomasi dan motor yang dijanjikan
Presiden Jokowi harus memahami, ASEAN menjadi efektif ketika gerak diplomasi
regionalnya sesuai dengan kepentingan negara-negara adidaya. Penyelesaian
konflik Kamboja adalah salah satu contohnya.
Kita tidak boleh gagal
paham membalikkan realitas geopolitik yang dihadapi. Stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN menjadi kontribusi penting bagi stabilitas
dan kesejahteraan domestik. Ancaman kepentingan nasional RI akan selalu
berada di kawasan Asia Tenggara, daratan dan lautan, akibat pertikaian
lingkup pengaruh negara besar.
Ini yang menjelaskan tingginya
total perdagangan RI-ASEAN (72,14 miliar dollar AS tahun 2015) dibandingkan
dengan RI-RRT (44,45 miliar dollar AS), RI-AS (23,83 miliar dollar AS),
RI-Jepang (31,27 miliar dollar AS), atau RI-India (14,45 miliar dollar AS).
Multilateralisme perimbangan kepentingan nasional RI harus menjadi penggerak
penting membentuk desentralisasi kekuatan negara besar, terutama terkait
dalam diplomasi trilateral RI-RRT-AS, RI-RRT-Jepang, ataupun RI-AS-Jepang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar