Merevolusi Cara Kerja Pegawai Negeri
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 09 Juni
2016
Di Jakarta, heboh
rasionalisasi pegawai negeri sipil (PNS) terus bergulir. Awalnya simpang siur
dan sempat membuat suasana menjadi panas. Untungnya belakangan arahnya kian
jelas.
Mulanya yang mencuat
penyataan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemenpan-RB) soal pemangkasan jumlah PNS dari total 4,5 juta menjadi tinggal
3,5 juta. Ini baik di tingkat pusat maupun daerah. Jadi bakal ada 1 juta PNS
yang dirumahkan. Mereka adalah PNS yang dinilai tidak kompeten, tidak profesional,
dan tidak disiplin. Maklum, harus diakui, masih banyak yang bekerja dengan
metode 804. Maksudnya?
Masuk pukul 8, pulang
pukul 4 petang, di tengah-tengah kosong alias tidak tampak batang hidungnya.
Untuk mengidentifikasi, Kemenpan-RB akan melakukan audit kinerja. Sesuai
dengan hasil audit, para PNS akan dikelompokkan dalam empat kategori.
Pertama, yang berkinerja baik dan kompeten. Ini tentu kelompok masa depan,
harus diganjar promosi. Kedua, yang kinerjanya baik, tetapi tidak kompeten.
Kelompok ini akan dikirim ke lembaga pendidikan.
Ketiga, yang
kinerjanya buruk, tetapi kompeten. Walaupun lebih baik mengambil program
karier kedua, katanya kelompok ini bakal dirotasi. Keempat, sudah kinerjanya
buruk, tidak kompeten pula. Jelas, ini bakal dipensiundinikan. Bagaimana
prosesnya? Mulanya, itu tadi, direviu, lalu dipangkas. Belakangan Presiden
Joko Widodo mengoreksi. Pemerintah tidak akan memangkas, melainkan menerapkan
kebijakan negative growth. Jadi kalau ada 120.000 PNS yang pensiun,
pemerintah hanya akan merekrut 60.000. Berkurang separuhnya.
Minat Jadi PNS
Kalau isu pemangkasan
PNS heboh di tingkat pusat, di daerah lain lagi. Masih banyak anak muda yang
ingin menjadi PNS. Mereka bahkan disokong orang tuanya. Saya ajak Anda ke
Pangkalan Kerinci di Kabupaten Pelalawan, Riau. Di sana saya bertemu dengan
beberapa petani kelapa sawit yang awalnya hanya punya 1 petak kebun seluas 2
hektare. Berkat ketekunannya mereka bisa membeli petak-petak sawit milik
tetangganya yang kurang tekun.
Alhasil, dari 1 petak,
kini sebagian punya 4-5 petak. Dengan hasil jerih payahnya, mereka mengirim
anak-anaknya bersekolah di kota, termasuk ke Jawa. Setelah lulus, mereka
tidak berharap anaknya kembali ke Pangkalan Kerinci. “Untuk apa kembali ke
sini? Mau jadi petani? Biarlah mereka bekerja di kota. Kalau bisa menjadi
pegawai negeri,” ujar mereka. Nah! Bukti lain, saya kira bisa dengan mudah
kita temukan di berbagai berita di media massa.
Contohnya, di
Kemenpan-RB pernah ada 50 posisi PNS yang lowong. Anda tahu berapa banyak
yang melamar? Lebih dari 17.000. Di Kementerian Keuangan pun serupa. Dari
2.700 posisi kosong, lebih dari 120.000 pelamar yang berebut. Di daerah,
tingginya minat anak-anak muda untuk menjadi PNSmalahkerapberbuahpetaka.
Contohnya di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Di sana ada seorang guru yang
begitu ingin dua anaknya menjadi PNS.
Lalu bertemulah dia
dengan seorang oknum. Kata si oknum, harga satu kursi Rp200 juta. Deal!
Kemudian pak guru tadi mentransferuangsebesarRp315juta. Sisanya bakal
dilunasi kalau dua anaknya sudah mengantongi SK sebagai PNS. Anda sudah bisa
menebak ujungnya, bukan? Iya, dua anak pak guru tadi gagal menjadi PNS. Lalu
ributlah. Memprihatinkan, bukan? Ini sekaligus paradoks, apalagi banyak
daerah tak ada industrialisasinya sama sekali. Jangankan industri, UKM saja
tak dibangun pak gubernur, eh pak bupati.
Mereka anggap itu
urusan masing-masing. Akibatnya, kalau bukan kedai kopi, anak-anak muda cuma
bisa menjadidosen( karenakampusselalu adadi kota mereka), ulama, guru, atau
itu tadi: PNS. Saya agak mengerti soal ini karena saya ikut membangun
wirausaha-wirausaha muda di kabupaten tertentu. Hasilnya, kini banyak bupati
yang senang. Urusannya tak lagi diganggu para pemeras yang berkedok LSM,
wartawan atau pendemo bayaran.
Sebab itu juga profesi
para penganggur yang tak punya ide untuk menafkahi dirinya. Dan PNS bukan
lagi satu-satunya profesi yang tersedia. Ekonomi pun bergerak. Tanpa
wirausaha, infrastruktur yang baik tak akan menghasilkan kegiatan ekonomi
seperti yang diharapkan banyak ekonom. Kalau Anda tak percaya, pergilah ke
Aceh yang memiliki sarana infrastruktur terbaik di negeri ini. Atau ke
pelosokpelosok Kalimantan yang juga mulai bagus. Yang ada hanya pendatang
dengan alat-alat berat yang hanya datang sebentar lalu pergi bersama hasil
tambang dan pindah lagi entah ke mana.
Evaluasi Kinerja
Baiklah itu sisi lain.
Di tengah hiruk-pikuk soal PNS di negara kita, saya ingin menyampaikan
beberapa catatan. Pertama, soal mindset. Saya kira ini pekerjaan besar yang
masih harus kita benahi. Saya tentu kenal banyak PNS profesional yang
kerjanya jauh melebihi orang swasta. Betulan. Merekaluarbiasa. Sudah pandai
bekerja, santun, beretika bagus, dan tahu kapan harus bertindak.
Ini membanggakan.
Namun mereka juga mengeluh, masih sangat sedikit yang memiliki mindset
melayani masyarakat. Jangan lupa, paradigmanya sudah bukan PNS lagi. UU
Pelayanan Publik sudah ada (UU No 25/2009), demikian juga UU ASN (UU No
5/2014). Ya, paradigmanya kini adalah aparatur sipil negara yang basisnya
bukan lagi pangkat, jabatan atau golongan, melainkan kompetensi dan integritas.
Tugasnya adalah melayani, bukan mempersulit masyarakat.
Mengubah mindset bukan
pekerjaan mudah. Saking tidak sabarnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok”
Tjahaja Purnama akhirnya memilih cara dengan “memaksa” para PNS di lingkungan
pemerintah provinsinya untuk melayani warga. Kalau tidak suka dipaksa,
silakan angkat kaki. Heboh, ribut, ia dianggap kurang santun, didongkel
banyak politisi. Tapi rakyatnya puas dengan pelayanan publik baik di tingkat
kelurahan, kecamatan sampai ke DKI.
Kalinya mulai bersih,
pungli mulai hilang. Maka kalau mau menggantikan, rakyatnya minta pemimpin
yang lebih galak, bukan yang lebih ganteng atau lebih punya banyak gelar.
Bukan itu. Well, cara Ahok mungkin bukan yang terbaik. Saya juga kenal cara
Abdullah Azwar Anas (Banyuwangi), Kang Yoto (Bojonegoro), dan IB Rai
Dharmawijaya Mantera (Denpasar) serta Abdullah Abu Bakar (Kediri), Airin
Rachmi Diany (Tangerang Selatan), Kang Emil (Bandung) atau yang baru mulai
bekerja, Emil Dardak (Trenggalek).
Mereka juga hebat dan
berada di tempat yang tepat. Tapi, bukankah kita mengenal pepatah “tak ada
gading yang tak retak”? Semua orang yang bekerja pasti ada omongan
negatifnya. Apalagi yang melakukan perubahan dan perform. Sudahlah! Catatan
kedua, soal penilaian kinerja. Bicara soalini, pemerintah sebetulnya tinggal
meniru saja perusahaan-perusahaan swasta kita, termasukBUMN, yangsudah
menerapkannya sejaklama.
Intinya sederhana.
Setiap tahun perusahaan tentu memiliki target yang harus dicapai. Itu target
besar. Lalu target tersebut dipecah-pecah lagi menjadi target-target yang
harus dicapai oleh para direkturnya. Kemudian turun lagi menjadi target para
general manager, manajer, supervisor, dan akhirnya menjadi target setiap
orang yang ada di perusahaan. Bagaimana cara mencapainya?
Setiap pegawai mesti
memiliki program kerja, rencana aksi, termasuk time frame dan biayanya.
Jangan dibalik ya. Sebab PNS biasanya money follow function. Anggarannya
berapa, baru mikir apa yang mau dilakukan dengan uang itu. Akibatnya, ya apa
lagi kalau bukan buat dibagi-bagi? Lalu rakyatnya tak dapat apa-apa dan
bupatinya dicaci-maki. Memang tidak mudah mengorganisasi hal ini. Apalagi
kalau melibatkan 4,5 juta PNS— meskipun kelak tinggal 3,5 juta.
Untungnya teknologi
terus berkembang. Ada banyak solusi untuk ini, termasuk solusi yang berbasis
teknologi informasi. Misalnya, balanced scorecard dan smart city atau smart
kampung. Aplikasi semacam ini bukan hanya merekam kinerja setiap PNS, tetapi
juga sekaligus menepis peluang terjadinya like and dislike yang masih dominan
dalam pengukuran kinerja para PNS. Jadi, saya kira Presiden Joko Widodo
tinggal menginstruksikan menteri-menteri dan lembaga pemerintahan lainnya
untuk menerapkan aplikasi semacam itu.
Kalau hal tersebut
bisa dilakukan, saya kira, pemerintah kita akan memiliki PNS dengan kinerja
ala pegawai swasta. Ini, saya yakin, akan menjadi modal penting bagi
terbentuknya entrepreneurial government. Pemerintahan yang perilakunya bak
korporasi, yang selalu melihat masalah bukan sebagai ancaman, tetapi peluang.
Kalau ini terwujud,
saya kira, itulah legacy besar Jokowi-JK dan para kepala daerah bagi negara
ini. Ingat lho, Indonesia tengah dilanda sindroma megacities di mana kaum
muda masih terus meninggalkan desa menuju kota yang makin meraksaksa. Lalu
kabupaten terpinggir akan makin sulit bergerak, makin miskin. Itu sebabnya
kita butuh leadership dan ASN yang tangguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar