Menjemput Siswa, Membebaskan Penyandera
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
06 Juni 2016
HARI-hari belakangan ini, sejak 31 Mei 2016,
delapan guru Sekolah Sukma Bangsa (SSB) bergabung dengan delapan tenaga
volunter asal Mindanao untuk berusaha membebaskan para penyandera dari
kegelapan pikiran dan hati melalui pendidikan. Enam belas tenaga perekrut
siswa tersebut akan menyebar setidaknya ke lima daerah yang dikenal sebagai
pusat gerakan Abu Sayyaf Group, yaitu Cotabato, Zamboanga, Basilan, Sulu, dan
Tawi-tawi. Mereka sedang mencoba menjemput impian sebagian kecil remaja
Mindanao yang mulai kehilangan harapan karena konflik berkepanjangan.
Yayasan Sukma telah berkomitmen untuk
memberikan sedikit lesson learned
kepada semua pihak yang tidak mencintai perdamaian, dan lebih memilih
cara-cara kekerasan dalam penyelesaian masalah, melalui sebuah program
beasiswa Menjemput Siswa Mindanao kepada 30 remaja yang akan bersekolah di
SSB Aceh selama 4 tahun. Saat ini, proses rekrutmen masih berlangsung, dan
hingga hari ketujuh setidaknya 18 siswa sudah menyatakan ke sediaan mereka
untuk menerima harapan itu dengan suka cita. Akan ada banyak cerita di balik
proses penjemputan siswa Mindanao itu, karena Yayasan Sukma sebelumnya juga
telah memiliki kerja sama dengan Autonomous Region of Moslem Mindanao (ARMM)
dalam bidang pendidikan. Sebanyak delapan pejabat ARMM pernah berkunjung ke
SSB di 2012, dan baru sekarang kesepakatan untuk meneruskan kerja sama itu
dilakukan secara strategis dan dengan kesamaan pandangan.
Siklus 10 tahun
Salah seorang yang juga terlibat dalam proses
rekrutmen siswa 10 tahun lalu di Aceh, dan kini membantu rekrutmen siswa di
Mindanao, ialah Saudara Tongky, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie. Dalam
catatannya setelah mengunjungi Zamboanga, Basilan, dan Sulu dalam 7 hari
terakhir, Tongky setidaknya mengalami atmosfer yang sama ketika melihat
fakta-fakta akibat konflik yang berkepanjangan. Dalam situasi konflik,
pendidikan jelas merupakan korban yang paling tersakiti. Itu disebabkan
ketiadaan pendidikan sungguh merusak tatanan masyarakat, sehingga menghargai
perilaku sesama menjadi hampa dan tiada. Hampir sulit menemukan sesuatu yang
positif di tengah ketiadaan harapan, apalagi lingkungan pendidikan yang
positif bagi anak-anak di Sulu dan Basilan.
Tawaran beasiswa ibarat oase bagi anak-anak
Basilan dan Sulu, juga di Cotabato dan Tawi-tawi. Bayangkan, saat ini di
daerah tersebut rasio siwa guru ada pada angka rata-rata 1-60 dengan
fasilitas belajar-mengajar yang sama sekali kurang mendukung kemampuan anak
untuk berkembang. Mereka sangat takjub ketika melihat foto-foto aktivitas
belajar-mengajar di SSB, dan bahkan bangunan State University of Mindanao
setara dengan kualitas bangunan SD di Indonesia era 80-an.
Belum lagi
persoalan keamanan dan kemiskinan yang kasatmata sangat jauh dari layak,
sehingga rata-rata orangtua yang mendaftarkan anak mereka lebih banyak
berkata `mau' dan `terima kasih' daripada bertanya hal-hal teknis yang mereka
perlu ketahui.
Bayangan mereka untuk belajar di tengah
situasi yang positif dan kondusif merupakan impian rata-rata anak Mindanao
saat ini. Bahkan sebagian dari mereka malah bertanya soal kuota yang hanya
30, kenapa tidak 90 dan masih adakah kesempatan di tahun-tahun berikutnya
untuk adik-adik mereka? Tentu saja para penjemput siswa itu tidak bisa
memberi janji yang muluk, kecuali menerangkan sekaligus menenangkan hati para
orangtua bahwa untuk tahap awal jumlah 30 siswa sudah merupakan langkah awal
yang berani dari Yayasan Sukma.
Dalam catatan Tongky, “Orangtua berharap anak
mereka dapat merasakan pendidikan yang lebih baik dan bisa kembali memberi
kontribusi ke masyarakat mereka sendiri. Mereka begitu antusias dengan
sedikit rasa takut, tetapi selebihnya ialah mereka mulai berani untuk
bermimpi besar; masa depan yang lebih baik. Saya melihat beasiswa Yayasan
Sukma akan menjadi tumpuan harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik,
dan kita tidak boleh mengecewakan mereka.“
Bagi Yayasan Sukma, peristiwa penjemputan siswa
untuk menerima beasiswa seperti mengulang cerita 10 tahun lalu, ketika Tim
Sukma melakukan proses rekrutmen siswa dari 21 kabupaten/kota se-Aceh. Saat
ini, tujuan Yayasan Sukma ialah ingin memastikan bahwa penerima beasiswa
ialah benar-benar siswa yang mengalami trauma akibat konflik dan tsunami,
serta fakir miskin. Kualifikasi itu menjadi lebih diutamakan ketimbang
melihat nilai akademik siswa semata, tanpa mempertimbangkan situasi sosial
dan ekonomi calon penerima beasiswa.
Hal yang sama juga saat ini terjadi
dalam proses perekrutan siswa di Mindanao, yaitu lebih mengutamakan siswa
yang mengalami trauma akibat konflik berkepanjangan dan juga miskin.
Pendidikan damai
Dalam naskah kerja sama antara Yayasan Sukma
dan Basulta Contacting Group dan ARMM, disepakati bahwa tujuan pemberian
beasiswa itu ialah agar anak-anak Bangsamoro dapat menyelesaikan pendidikan
menengah mereka dengan proses belajar-mengajar yang disesuaikan dengan ragam
bakat dan minat siswa selama 4 tahun.Selain itu, program itu juga seperti
mengulang peristiwa 10 tahun lalu, saat Aceh, sebagaimana Mindanao hari ini,
membutuhkan sebuah program pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap menghargai
antarsesama warga bangsa baik secara budaya, agama, maupun perbedaan bahasa
dan suku bangsa.
Hal lain yang juga menarik ialah kesadaran
untuk belajar dari sejarah Aceh, yakni `Bangsamoro
students enhanced their peace education, Islamic Leadership and governance
and are able to translate such knowledge into practice at their immediate
localities'. Kata kunci tentang pendidikan damai, gaya kepemimpinan
berdasarkan ajaran Islam dan tata cara berkepemerintahan merupakan hal yang
juga akan dipelajari dalam lansekap Aceh secara keseluruhan. Tidak untuk
menempatkan Aceh sama dengan Mindanao, tapi Mindanao harus belajar dari
sejarah Aceh bagaimana mengelola konflik dengan cara-cara yang damai agar
semua tujuan pembelajaran dapat terlaksana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar