Mengimpor Rektor
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 11 Juni
2016
Mengimpor rektor?
Itulah gagasan yang tiba-tiba mencuat dari Menristek dan Dikti Muhammad Nasir
seusai mengunjungi Universitas Negeri Surabaya, pekan lalu (2/6/2016). Dia
menyatakan, pemerintah mewacanakan merekrut orang asing menjadi rektor
perguruan tinggi negeri untuk mengikuti negara lain yang menerapkan kebijakan
itu sehingga menjadikan kampus perguruan tingginya berkelas dunia.
Lebih jauh menurut
Menristek-Dikti, Presiden Jokowi mengarahkan agar pendidikan tinggi Indonesia
mampu bersaing di tingkat dunia. Dia mengklaim, Tiongkok, Singapura, dan Arab
Saudi memakai orang asing menjadi rektor. ”Saudi dulu tidak diperhitungkan.
Ranking-nya di luar 500 besar dunia. Tapi sekarang sudah masuk peringkat 200
dunia. Sebut saja King Saud University yang dulu tidak diperhitungkan dunia,”
ujarnya.
Gagasan mengimpor
rektor untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN)— selanjutnya juga agaknya
mencakup perguruan tinggi swasta (PTS)—jelas merupakan cara instan dan
menerabas untuk mengangkat perguruan tinggi (PT) Indonesia ke level
internasional. Padahal, jelas sebenarnya tidak ada cara instan untuk
memajukan lembaga apa pun, termasuk PT.
Impor guru besar,
bukan rektor
Kebijakan, langkah,
atau cara memajukan PT pada dasarnya bukan terletak terutama pada rektor atau
di negara lain bisa disebut presiden atau naib-chancellor (wakil konselor, karena
chancellor-nya adalah raja atau
pejabat tinggi). Rektor atau apa pun nama jabatan setara tak lain lebih
sekadar pimpinan puncak administratif dan keuangan. Oleh karena itu, di luar
negeri, rektor atau semacamnya tidak dikenal luas oleh para pengajar, apalagi
oleh para mahasiswa. Keadaan sama juga berlaku bagi dekan; tidak banyak pihak
yang mengenal dekan fakultas.
Para mahasiswa
lazimnya lebih mengenal ketua jurusan yang juga guru besar beserta profesor
lain. Keterkemukaan PT lebih terkait nama besar para profesor dalam bidang
tertentu. Mahasiswa memilih PT bukan karena rektornya, melainkan karena nama
besar profesornya. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan adalah memperbanyak
”impor” guru besar terkemuka dari mancanegara. Pada saat yang sama juga memperbanyak
impor mahasiswa asing. Langkah inilah yang mempercepat internasionalisasi PT
Indonesia sehingga diakui secara internasional.
Dalam sistem PT di
Amerika Serikat, presiden universitas lebih banyak berperan dalam urusan
luar, khususnya penggalangan endowment—dana
abadi untuk kemajuan pendidikan dan riset. Untuk urusan ke dalam terkait
administrasi dan keuangan, presiden universitas diwakili provost,
administratur senior yang berperan sebagai chief executive officer (CEO).
Berbeda dengan
Indonesia, rektor memiliki peran ke dalam dan ke luar. Dia bukan naib-chancellor atau provost. Rektor adalah pejabat puncak
kelembagaan, khususnya administrasi dan keuangan. Rektor sekaligus
bertanggung jawab dalam hal urusan luar; penggalangan dana dan pengembangan jejaring
kerja sama dengan berbagai pihak, apakah kalangan pemerintah, swasta, atau PT
lain.
Tak kurang pentingnya,
rektor di Indonesia juga memikul peran yang diharapkan (expected role) dari masyarakat sebagai ”menara suar” (beacon) yang memberi pencerahan
masyarakat lingkungannya. Oleh karena itulah, rektor diharapkan tampil
sebagai intelektual publik yang berdiri di depan memperjuangkan kepentingan
bangsa dan negara.
Dilihat dari konteks
terakhir ini, menjadi tanda tanya besar, apakah rektor impor—jika wacana
rektor asing dilaksanakan—juga patut menjadi intelektual publik dalam hal
kebangsaan-keindonesiaan. Jelas tidak patut jika orang asing yang kebetulan
rektor PTN atau PTS Indonesia ”mengajari” bangsa kita dalam hal yang dia
sendiri boleh jadi tidak sepenuhnya pahami.
Lecehkan anak bangsa
Bukan rahasia lagi,
banyak ”ahli impor” semacam konsultan tidak memahami Indonesia; mereka lebih
banyak memakai ahli kita sendiri, yang diatasnamakannya sendiri. Di sini ahli
kita hanya menjadi semacam ”kuli” oleh tenaga yang disebut sebagai ”ahli”
asing.
Dengan begitu, kunci
memajukan PTN atau PTS atau bahkan bidang-bidang strategis lain bukan dengan
mengimpor ”ahli” asing semacam rektor. Mengimpor rektor dari mancanegara
malah bisa menjadi kontraproduktif karena merupakan pelecehan terhadap
kemampuan anak bangsa sendiri.
Jika rektor (anak
bangsa) PTN atau PTS diharapkan dapat membawa PT-nya ke tingkat
internasional, pemerintah semestinya memberikan iklim lebih kondusif. Dalam
beberapa tahun terakhir sampai sekarang, ada sejumlah masalah yang tidak
kondusif bagi munculnya rektor yang dapatmembawa PT-nya ke tingkat
internasional.
Penciptaan iklim
kondusif itu mesti dimulai dengan pemulihan kembali otonomi PT. Prinsip dan
semangat reformasi PT dengan otonomi dan demokratisasi lebih besar dalam
waktu sedikitnya sepuluh tahun terakhir justru kian menjauh. Kondisi otonomi
PT belakangan ini sering diungkapkan kalangan kampus ibarat ”ekor dilepas,
tetapi kepala tetap dipegang” (dulu oleh) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan (kini) Kemenristek-Dikti serta Kementerian Agama dalam hal perguruan
tinggi keagamaan negeri (PTKN, yang terdiri dari Islam, Kristen, Hindu, dan
Buddha).
Fenomena ini terlihat
jelas dalam hal rektor khususnya. Pemilihan dan pengangkatan rektor hampir
sepenuhnya ditentukan menteri (Menristek-Dikti dan Menteri Agama), apakah
melalui suara 35 persen yang dimiliki Menristek-Dikti atau ditentukan Menteri
Agama dari calon-calon yang diajukan Panitia Pemilihan dan Komite Seleksi
(bukan Senat PT).
Oleh karena itulah,
proses pemilihan dan pengangkatan rektor seperti ini hampir tidak mampu
menghasilkan rektor terbaik; yang memiliki kapasitas sebagai beacon bagi
masyarakat, memiliki rekam jejak baik dalam administrasi, serta mempunyai
kemampuan dan pengalaman membangun jejaring domestik dan internasional.
Pemberian otonomi yang
benar-benar, bukan sekadar retorik, mesti diikuti dengan pemberian anggaran
lebih memadai. Sampai sekarang ini, anggaran APBN untuk PT hanya berkisar
40-60 persen dari kebutuhan PT. Untuk menutupi kekurangan, PT harus
mencarinya dari masyarakat (orangtua mahasiswa) dan pihak swasta lain.
Keadaan keuangan ini tidak memungkinkan PTN mengembangkan fasilitas
pembelajaran berlevel internasional, mendatangkan profesor berkelas dunia,
dan merekrut mahasiswa internasional.
Walhasil, jika PTN dan
PTS Indonesia dapat mencapai level internasional, tidak ada cara lain bagi
pemerintah kecuali memberikan otonomi dan pendanaan lebih besar. Mengimpor
rektor dari mancanegara jelas tidak bakal membantu sama sekali, ”jauh
panggang dari api”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar