Memerangi Minol (Oplosan)
Bagong Suyanto ; Memerangi Minol (Oplosan)
|
REPUBLIKA, 30 Mei
2016
Sejumlah
daerah kini telah mengibarkan kapak perang melawan minuman beralkohol
(minol). Kehendak sejumlah daerah membatasi peredaran minol bukan karena
kebetulan momennya untuk menghormati kehadiran Ramadhan, melainkan juga
karena dampak peredaran minol sudah dianggap makin mencemaskan, terutama
oplosan.
Di
Indonesia, kasus minol oplosan yang menewaskan sejumlah peminumnya kita tahu
tidak sekali-dua kali terjadi. Tetapi, seolah tak pernah takut dan sepertinya
sengaja menantang maut, di berbagai daerah selalu saja bermunculan
orang-orang marginal yang kembali mengulang kesalahan yang sama.
Kasus
terbaru kembali terjadi di Yogyakarta. Akibat minum oplosan, setidaknya 10
orang tewas dan beberapa orang lain dirawat di rumah sakit. Sebelumnya, kasus
yang sama juga terjadi di Yogyakarta. Akibat minum vodka oplosan, dilaporkan
paling tidak 26 orang tewas. Tidak hanya membuat mabuk, racikan minol dengan menggunakan
campuran etanol 96 persen, air, sari manis, sitrun, aroma rasa buah salak
atau jeruk, dan sering kali masih ditambah para peminumnya dengan korek api
serta benda-benda aneh lain-lain, akhirnya menjadi racun maut yang menewaskan
puluhan korban.
Sama
seperti minol yang dikonsumsi kelas menengah ke atas di berbagai pub,
diskotek, bar, atau di restoran mewah, oplosan pada dasarnya adalah salah
satu bentuk representasi dan reproduksi dari gaya hidup kelas masyarakat
borjuis yang ditransplantasikan menjadi bagian dari gaya hidup kelompok
masyarakat marginal. Kelompok masyarakat marginal, sama seperti kelas
borjuis, mengonsumsi oplosan untuk mendemonstrasikan keberanian dan sikap
ngejago (sikap berani mati) yang membuat sesuatu yang dilarang dan berbahaya
justru menjadi tantangan tersendiri.
Ketika
di media massa sering kali diberitakan bahaya minum oplosan karena
bahan-bahan dicampur jauh dari kelayakanan prasyarat kesehatan, bagi kelompok
masyarakat marginal justru di situlah letak tantangannya. Sekelompok anak
muda, seperti anak punk atau anak-anak geng, ketika lolos dari maut dan
berani mengonsumsi minol oplosan yang disebut media berbahaya, justru di
situlah mereka lolos dari proses inisiasi untuk diakui sebagai pimpinan geng
atau anggota yang pemberani. Subkultur anak-anak marginal seperti inilah yang
menjelaskan mengapa kasus kematian peminum oplosan telah berulang kali
terjadi.
Seperti
dikatakan Ken Gelder (2005), subkultur pada dasarnya adalah konsep yang
menyangkut perbedaan antara kelompok nonnormatif di satu sisi dan marjinal di
sisi lain. Sekelompok anak muda yang mengembangkan subkultur marginal, mereka
bukan saja akan diidentifikasi dan diberi label sebagai kelompok yang
menyimpang, melainkan juga perlu dipahami sebagai kelompok marginal yang
mengembangkan gaya hidup tersendiri yang memberontak pada tatanan sekaligus
berkeinginan untuk tampil beda.
Minum
oplosan bukan hanya merupakan perwujudan perilaku menyimpang. Perilaku ini
juga tidak bisa dipahami hanya sebagai bentuk ketegangan psikologis atau
penyimpangan, tapi harus dimengerti sebagai bentuk perlawanan kolektif
terhadap hegemoni budaya yang selama ini diperlihatkan kelompok borjuis.
Sama-sama
minum minuman keras beralkohol, tetapi dalam konstruksi sosial masyarakat
marginal apa yang mereka lakukan adalah melampaui ketakutan dan sikap sok
kelas borjuis yang dinilai hanya berani minum minol bermerek yang sama sekali
jauh dari sikap macho. Hebdige (1979), misalnya, salah seorang dari peneliti
Cultural Studies Mazhab Birmingham, menyatakan bahwa apa yang dilakukan
anak-anak punk di Inggris yang suka minum-minuman keras, berkelahi, dan lain
sebagainya bukan sekadar suatu bentuk perlawanan semiotik terhadap tatanan
yang dominan. Apa yang ingin diperlihatkan anak-anak punk adalah bagaimana
mendramatisasikannya.
Minol
oplosan bagi anak-anak marginal bukanlah sarana untuk mabuk, melainkan
instrumen yang mereka pergunakan untuk menunjukkan bentuk perlawanan mereka
terhadap gaya hidup kelas borjuis. Makin tidak masuk di akal benda-benda yang
dicampur ke dalam minol oplosan, hal itu dinilai sebagai simbol untuk
menunjukkan identitas diri mereka.
Mencegah
agar kelompok masyarakat marginal lain tidak mengulang kesalahan yang sama
dan menjadi korban minol oplosan, selama ini yang dilakukan aparat penegak
hukum adalah dengan melakukan berbagai razia minol. Cara lainnya adalah
melalui kebijakan yang melarang peredaran minol di toko atau supermarket yang
dengan mudah diakses masyarakat.
Di
atas kertas, strategi dan cara kerja yang bersifat punitif, mengancamkan
sanksi, dan membatasi ruang gerak peredaran minol seperti di atas mungkin
akan terkesan efektif. Minimal, akan dapat mengurangi peredaran resmi minol
di masyarakat. Tetapi, perlu disadari bahwa membatasi peredaran minol dan
mencegah perilaku masyarakat marginal yang gemar mengonsumsi minol oplosan
adalah dua hal yang berbeda.
Langkah
ketat razia dan pembatasan peredaran minol perlu dijalankan dengan dibarengi
pendekatan budaya yang memahami subkultur masyarakat marginal. Tanpa sinergi
kedua langkah tersebut, dapat dipastikan kasus-kasus kematian akibat oplosan
akan tetap terjadi di berbagai tempat.
Selain
pendekatan yang sifatnya represif dan punitif, sesungguhnya akan lebih bijak
jika upaya untuk mengurangi atau mengeliminasi kasus kematian akibat oplosan
juga dibarengi dengan pendekatan budaya yang berbasis subkultur anak-anak
marginal. Mengajak anak-anak marginal lomba melukis mural, lomba band indie,
dan lain sebagainya sesungguhnya adalah tawaran alternatif yang mungkin
menarik dan efektif--di samping melakukan berbagai kegiatan razia atau
membatasi peredaran minol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar