Krisis Integritas Hakim
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Bosowa, Makassar
|
KOMPAS, 06 Mei 2016
Kalau sudah lebih dari dua orang,
apalagi puluhan, yang tergerus integritasnya, tidak bisa lagi disebut
”oknum”. Tidak bisa pula diaminkan bahwa banyaknya hakim yang terjerat
korupsi, yang kemudian ditangkap tangan KPK, bukan sebagai gambaran umum
sosok hakim dan dunia peradilan sudah rusak.
Begitulah gambaran yang bisa
disetarakan dengan realitas hakim Indonesia saat ini. Beragamnya fakta soal
para hakim yang menerima suap di ruang-ruang gelap dari mereka yang sedang
beperkara di pengadilan mengonfirmasi jika hakim di negeri ini bisa dibeli.
Putusan hakim jadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, apakah diringankan
vonisnya atau justru divonis bebas. Padahal, di tangan hakimlah proses hukum
mengakhiri perjalanannya untuk mencapai tujuan asasi hukum.
Alih-alih menghukum berat terdakwa
korupsi, justru dua hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) dan panitera
Pengadilan Tipikor Bengkulu, Senin (23/5), terjerat operasi tangkap tangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat sedang menerima suap dari terdakwa
korupsi. Diduga kuat, uang suap Rp 650 juta yang diterima sehari sebelum
keduanya membacakan putusan itu terkait upaya para terdakwa agar majelis
hakim menjatuhkan putusan bebas.
Celakanya, dari berbagai
pemberitaan, kedua hakim Tipikor itu ditengarai memiliki reputasi buruk
lantaran acap kali menjatuhkan putusan bebas. Sebelum ditangkap, keduanya
telah membebaskan 11 terdakwa perkara korupsi dalam berbagai persidangan.
Malah Janner Purba, salah satu hakim Tipikor tersebut, punya posisi terhormat
sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu.
Makna
integritas
Bicara integritas, nilai-nilai
utama yang hendak diimplementasi adalah kejujuran dengan menempatkan
kepentingan bangsa dan masyarakat di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan. Apa pun iming-iming yang disodorkan tidak akan memengaruhi
keyakinan hakim dengan mengubah kebenaran menjadi keburukan.
Makna penting integritas tak lain
sebagai keteguhan sikap dan konsistensi seseorang memegang nilai-nilai luhur
kejujuran dalam berperilaku. Dalam dunia etika, keberadaan integritas
seseorang jadi penting dalam melaksanakan amanah yang dipercayakan. Lawan
kata integritas adalah munafik atau hipokrit, yang selalu merusak tatanan
kehidupan sosial dan bernegara.
Seorang hakim dianggap memiliki
integritas yang tinggi apabila dalam berperilaku, memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara hukum senantiasa sesuai dengan nilai-nilai hukum, keyakinan,
dan prinsip sebagai pengadil. Konkretnya, ciri seorang hakim yang
berintegritas ditandai oleh satunya kata dan nilai-nilai hukum yang dianut
dengan perbuatan melalui putusannya.
Integritas harus senyawa dengan
profesionalitas sebagai dua kata kunci dalam menegakkan hukum. Apalagi kalau
ditambahkan dengan ”keberanian” memutuskan sesuai dengan prinsip hukum
sehingga mendapatkan kepercayaanmasyarakat. Reputasi hakim-hakim di negeri
ini yang tidak layak lagi disebut ”oknum” jika terjerat korupsi, tidak akan
pernah membuat koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi
negara menjadi takut melakukan korupsi.
Selalu diperdebatkan keberadaan
peradilan yang lebih sering melahirkan hakim-hakim pecundang. Yang paling
sering dituding punya masalah adalah proses perekrutan yang buruk, kemudian
tidak disertai pengawasan dan pembinaan yang baik setelah diangkat menjadi
hakim. Apakah para penyeleksi calon hakim, selain Komisi Yudisial (KY) yang
menyeleksi hakim agung, juga belum memiliki integritas yang mumpuni?
Pertanyaan itu penting. Sebab,
seharusnya kalau integritas mereka terpuji, perekrutan calon hakim juga
menghasilkan sumber daya hakim berintegritas,intelektual, dan profesional.
Bukan setelah ditangkap KPK barulah menyoal proses perekrutan dan pembinaan.
Padahal, sejak awal mereka yang dipercaya menyeleksi calon hakim, sepertinya
juga punya masalah. Akibatnya,calon hakim yang terjaring akhirnya menjadi
hakim yang berkualitas rendah.
Perubahan
radikal
Banyaknya hakim yang terjerat korupsi
telah mengonfirmasi bahwa peradilan kita semakin krisis integritas. Mahkamah
Agung (MA) selaku puncak peradilan tidak bisa lagi mengelak dari pandangan
sinis publik. Otoritas MA yang melakukan perekrutan calon hakim, membina, dan
melakukan pengawasan internal berada pada titik nadir dalam menjalankan
fungsi tersebut.
Memang ada KY yang melakukan
pengawasan eksternal, menjaga, serta menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat perilaku hakim. Namun, KY tidak diberikan kewenangan mengeksekusi
temuannya, selain mengajukan rekomendasi kepada MA untuk ditindaklanjuti.
Keluhan KY selama ini, rekomendasi yang disampaikan kepada MA soal adanya
temuan hakim nakal tidak mendapat sanksi sesuai dengan pelanggarannya.
Boleh saja petinggi MA mendebat
penangkapan hakim dan pegawai MA bukan sebagai cermin krisis integritas hakim
dan lembaga peradilan. Akan tetapi, bisakah publik diyakinkan bahwa rangkaian
sejumlah pengadil dan pegawai administrasi MA yang diduga terlibat korupsi
bukan kegagalan pembinaan dan pengawasan internal? Maka, perlu perubahan
radikal dalam perekrutan calon hakim, pembinaan, dan pengasawan internal.
Caranya, antara lain melibatkan KY
melakukan dalam perekrutan calon hakim pengadilan negeri dan pegawai
administrasi, termasuk kewenangan mengeksekusi sendiri temuan pelanggaran.
Berbagai upaya MA mengawasi dan membina moralitas hakim tak ubahnya
menggarami lautan. MA belum mampu membangun integritas hakim yang betul-betul
membumi dalam menjalankan fungsinya sebagai pemutus terakhir. Malah ada usulan
dari Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, agar memotong satu generasi
hakim sebagai langkah radikal menghadirkan sosok baru yang terbebas dari
warisan budaya masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar