Kerelawanan Berbangsa dalam Puasa
Abdul Munir Mulkhan ; Guru besar, Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta; Komisioner Komnas HAM 2007–2012; Wasekjen PP Muhammadiyah
2000–2005
|
JAWA POS, 04 Juni
2016
FENOMENA menarik dalam
kehidupan negeri ini ialah kerelawanan politik (baca: keikhlasan) sebagai
kritik kinerja partai muncul bersama demokrasi transaksional. Ketika banyak
pihak ragu, sebagian calon berbasis kerelawanan menang dalam pilkada.
Kemarakan hidup
hedonis, narkoba, korupsi, dan kekerasan seksual terhadap anak-anak muncul
bersama antrean panjang naik haji. Juga, maraknya siaran agama di TV,
membeludaknya jamaah masjid, dan pengajian, terutama di bulan Ramadan.
Bagaimana menempatkan
praktik keagamaan sebagai jalan revolusi mental kerelawanan berbangsa?
Bagaimana menempatkannya dalam kerangka meredam kejahatan demoralisasi bagi
kesejahteraan warga berkeadilan sebagai praktik ber-Pancasila?
Pertanyaan tersebut
cukup menggoda, sekaligus kritik teologis yang bisa mengundang perdebatan
panjang. Puasa, selain kewajiban ilahiah, adalah tanggung jawab kemanusiaan
bagi pendidikan moral dan rekayasa sosial berbangsa yang warganya mayoritas
muslim.
Kita saksikan
intensitas pendidikan agama di semua tingkatan sekolah, dakwah, taklim,
tablig di semua lorong kampung hingga hotel berbintang. Pesawat televisi
secara reguler menyiarkan dakwah dalam durasi panjang.
Hampir 24 jam penuh
saat puasa. Kejahatan dan kekerasan meluas menjarah semua arah bagai jalan
setan menandingi jalan malaikat. Apa yang salah dengan praktik pendidikan dan
dakwah?
Penjelasan masuk akal
gejala tersebut ialah hilangnya otentisitas diri, ketika manusia diperlakukan
bagai benda mati, seperti kritik Erich Fromm. Sebelumnya, kritik
eksistensialis atas ketiadaan kebebasan aktualisasi diri dalam modernitas.
Dari sini, praktik
pembelajaran lebih sebagai penggelontoran segudang materi ilmu sepanjang
hari. Sosialisasi ajaran agama lebih sebagai ancaman. Bersama ’’penebusan
dosa’’ dengan tindakan saleh, bukan meredam hasrat setan.
Akibatnya, anak-anak
kehilangan ruang ke-kanakan-nya dalam dunia bermain. Pembelajaran sekolah
dikemas bukan sebagai bagian dari bermain yang menyenangkan.
Sementara praktik dan
dakwah keagamaan dikemas sebagai rumus jalan masuk surga, baku matematika pahala-dosa.
Kehadiran Tuhan sekadar peta matematis tindak malaikat dan setan yang baku,
pasti, dan material.
Gadget baru yang
tumbuh tiap detik membuat dunia kehidupan selebar dan setebal pesawat
smartphone. Dalam pesawat, yang akrab bagi anak seusia 10 tahun, bahkan lebih
muda itu, info setanis hadir bersama aura malaikat.
Kehadiran sosok setan
lebih menarik, dinamis, indah, dan memenuhi hasrat natural. Sebaliknya, aura
malaikat lebih kering, sepi, dan nestapa. Situasi kultural demikian justru
membuat peluang surgawi semakin terbuka, saat Tuhan melihat perilaku manusia
secara progresif.
Besaran peluang
surgawi justru berada dalam besaran desakan setan. Namun, situasi demikian
justru bisa membuat manusia mengalami kepribadian terbelah. Saat menjalani ritual,
aura malaikat tampil nyaris sempurna.
Sementara nafsu
serakah dan hasrat hewani bagai kuda liar merajalela, begitu usai ritual.
Seperti filsafat mutasi genetik hierarkis dari jasad renik, pelikan,
tumbuhan, hewan, dan manusia, tiap tahap lanjut secara dialektik membawa
serta unsur dan karakter tahap sebelumnya.
Sementara manusia
sebagai puncak hierarki membawa serta unsur dasar binatang dari tahap
sebelumnya. Hanya jika manusia mampu mengelola hasrat hewaninya secara
cerdas, karakternya lebih manusiawi.
Sebaliknya, manusia
bisa menjadi lebih ganas dari binatang. Sebab, pemenuhan hasrat hewaninya
dikelola berdasar kemampuan nalar tanpa bimbingan norma spiritual-religius.
Ruang spiritual
tersebut bisa terbuka saat mutasi puncak pada manusia, Tuhan melibatkan diri
dengan meniupkan roh kepadanya. Gagasan Islam memungkinkan manusia memasuki
ruang rohaniah, yang antara lain ditempuh melalui ritual puasa.
Penyucian jiwa melalui
ritual puasa memungkinkan tumbuhnya pribadi dengan karakter setengah malaikat,
lebih dari sekadar manusia. Puasa adalah jalan dan metode pembelajaran
sehingga seseorang bisa tumbuh melampaui hasrat manusiawi menyentuh aura
malaikat.
Melalui proses ini,
seseorang rela berkorban bagi kepentingan orang lain, yang bahkan bisa membuat
dirinya menderita. Syaratnya ialah bersedia menempatkan diri pada titik nadir
manusia otentik yang tiap saat bisa jatuh tersungkur hanya oleh penyebab
sederhana.
Hasrat kuasa dalam
pandangan Friedrich Nietzsche digunakan bagi upaya menguasai diri, bukan
sebaliknya. Inilah makna puasa yang sering hilang saat dipahami sebatas tidak
makan minum dan tidak melampiaskan hasrat biologis bagi istri atau suami pada
siang hari.
Puasa otentik adalah
jalan revolusi mental kerelawanan berbangsa bagi promosi kesejahteraan
seluruh umat manusia yang terlukis dalam nilai luhur Pancasila. Berbagi bagi
sesama.
Materi pembelajaran
agama dan dakwah perlu dikemas menembus batas regulasi fikiah halal-haram.
Metode pembelajaran dirancang lebih sekadar operasi kognisi, melainkan
menembus ruang bawah sadar tentang kesadaran ketuhanan.
Di sinilah kesalehan
menjadi bekerjanya kecerdasan spiritual superkreatif, menembus batas
kemampuan manusia menjadi setengah malaikat, kadang disebut wali. Revolusi
mental terkait aksi radikal-revolusioner, menembus memasuki ruang malaikat
yang dalam dunia pewayangan terlukis dalam sosok Semar Brodonoyo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar