Islam dan Indeks Bahagia
Muhamad Mustaqim ;
Dosen STAIN Kudus; Bergiat di kajian Tasamuh Institute
|
JAWA POS, 15 Juni
2016
BEBERAPA waktu lalu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis indeks
kebahagiaan dunia. Riset terhadap 157 negara itu sebenarnya sudah dimulai
pada 2012 dan dirilis setiap tahun. Melalui The Sustainable Development Solutions Network (SDSN),
diterbitkanlah laporan yang berjudul World Happiness Report 2016. Data
tersebut menunjukkan bahwa negara paling bahagia adalah Denmark, disusul
Swiss, Islandia, Norwegia, dan Finlandia. Kelimanya terletak di Benua Biru,
Eropa.
Yang
menarik, dalam sepuluh besar ranking teratas, tidak terdapat negara dengan
basis Islam, baik dasar negaranya maupun mayoritas penduduknya. Jika dirunut
ke bawah, kita baru akan menemukan Uni Emirat Arab di urutan ke-28 dan Arab
Saudi di urutan ke-34. Di mana Indonesia? Indonesia sebagai negara dengan
mayoritas penduduk beragama Islam terbesar harus puas di posisi ke-79.
Riset itu
menggunakan enam indikator sebagai parameter kebahagiaan. Penyusunan dan
pemilihan indikator tentu melalui pertimbangan dan metode ilmiah yang sudah
tidak diragukan lagi. Pertama, gross domestic product (GDP) per capita atau
pendapatan per kapita. Indikator itu merepresentasikan sektor ekonomi.
Pendapatan per kapita digunakan untuk mengukur pendapatan rata-rata penduduk
di suatu negara.
Rumusnya sederhana,
pendapatan nasional dibagi jumlah penduduk.
Kedua, social support atau dukungan sosial. Indikator itu merepresentasikan aspek lingkungan sosial dalam memberi ruang bagi individu untuk mengaktualisasikan diri. Lingkungan dalam berbagai teori sangat memengaruhi perilaku dan karakter individu. Dengan adanya sistem sosial yang mendukung seseorang untuk bahagia, individu akan mengarah ke sana.
Ketiga,
harapan hidup. Bangsa yang bahagia tentu saja mempunyai harapan hidup yang
tinggi. Secara mudah, harapan hidup itu menegasikan beberapa problem anomali
kehidupan, mulai stres, frustrasi, depresi, sampai bunuh diri.
Keempat,
kebebasan memilih. Itu merupakan aspek politik. Kebebasan politik sebenarnya
tidak hanya dimaknai dalam pemilihan suara, melainkan lebih luas sebagai
kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Semakin otoriter suatu negara,
tingkat kebebasannya semakin kecil. Ketika seseorang merasa bebas menentukan
nasibnya, di situlah kebahagiaan berawal.
Kelima,
kemurahan hati. Indikator itu mencerminkan nilai kemanusiaan yang dimiliki
oleh penduduk suatu negara. Bagaimana paradigma kasih sayang tersebut
digunakan dalam kolektivitas bermasyarakat. Budaya tepa salira, gotong
royong, kohesi sosial, barangkali mewakili nilai kemanusiaan itu.
Keenam,
persepsi korupsi. Semakin tinggi indeks korupsi suatu negara, semakin rendah
kadar kebahagiaan penduduknya.
Semua
indikator itu tentu saja tidak bisa merepresentasikan tingkat kebahagiaan
secara sempurna. Namun, secara metodologis setidaknya menjadi pembenar sebelum
diruntuhkan (baca: falsifikasi) oleh metode lain yang lebih absah.
Prinsip
Kebahagiaan dan Islam
"Saya
melihat Islam di Barat, tapi tidak menemukan kaum muslim di sana. Sebaliknya,
saya menemukan kaum muslim di Timur, tapi tidak melihat ada Islam di
sana." Begitu ungkapan populer dari tokoh pembaru Islam Muhammad Abduh.
Dalam istilah lain, al Islam mahjubun bi al muslimin, kebesaran Islam itu
tertutup oleh para penganutnya.
Dalam
kaitannya dengan indeks kebahagiaan, teks agama Islam sangat relevan dengan
enam indikator tersebut. Dalam sektor ekonomi, misalnya. Konsepsi zakat
sekiranya cukup menjadi contoh bagaimana distribusi ekonomi yang adil akan
mampu membangun kesejahteraan. Dan hal ini tentu saja berpengaruh besar
terhadap GDP per kapita.
Sistem zakat
terbukti pernah meningkatkan kemakmuran, yakni pada era khalifah Abbasiyah
Harun Al Rasyid. Saat itu kesadaran zakat telah menjadikan baitul mal
menumpuk. Tidak ada lagi orang yang mau menjadi mustahik. Setiap orang merasa
cukup sehingga harus memosisikan diri sebagai muzaki.
Dalam hal
kemanusiaan dan sosial, Islam pun sangat peduli akan nilai-nilai persamaan
dan persaudaraan. Barang siapa menolong saudaranya, Allah akan menolongnya.
Senyum kepada orang lain adalah sedekah. Allah melaknat orang yang perutnya
kenyang, sementara tetangganya kelaparan. Tidak dianggap beriman orang yang
tidak memuliakan tamu dan tetangganya.
Dalam hal
penegakan hukum dan antikorupsi, Islam juga sangat tegas. Untuk pencuri,
potong tangan -meskipun tidak cukup dimaknai secara tekstual. Untuk al rasyi
(penyuap) wal murtasyi (dan yang disuap), keduanya fi al nar (di neraka).
Secara
normatif, ajaran Islam mendukung pencapaian umatnya untuk bahagia. Hanya,
secara aplikatif, dibutuhkan sistem yang mampu memapankan implementasinya.
Realitasnya, berapa banyak negara berbasis Islam yang terjerembap pada
persoalan korupsi, arogansi dan otoritarian, konflik saudara, serta
kemiskinan dan keterbelakangan -yang semua itu menghambat indikator
kebahagiaan?
Meskipun
pada dasarnya kebahagiaan merupakan persoalan batin, di mana setiap individu
mempunyai pengalaman bahagia masing-masing, dalam dunia yang positivistik
seperti saat ini tentu saja ukuran-ukuran kuantitatif, statistik, dan angka
sangat relevan untuk menilai secara agregat. Terlepas dari itu, bisa saja
umat Islam berapologi bahwa kebahagiaan hakiki hanya dapat dicapai di akhirat
kelak, melalui surga-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar