Hiruk Pikuk Penilaian Kurikulum 2013
NG Tirto Adi MP ; Doktor Manajemen Pendidikan;
Dosen
Program Pascasarjana Unipa Surabaya
|
JAWA POS, 03 Juni
2016
TAHUN 2016 ini adalah
tahun pertama ujian nasional (unas) dengan menggunakan Kurikulum 2013 (K-13)
dilakukan. Mengutip Permendikbud Nomor 57 Tahun 2015, kisi-kisi unas disusun
dan ditetapkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) berdasar kriteria
pencapaian standar kompetensi lulusan, standar isi, dan kurikulum yang
berlaku.
Mengingat kurikulum yang
berlaku sekarang -untuk jenjang SMP/MTs sederajat maupun SMA/MA/SMK
sederajat- adalah dua kurikulum, yakni Kurikulum 2006 dan K-13, dalam
Peraturan BSNP Nomor 0034/P/BSNP/ XII/2015 dijelaskan bahwa kisi-kisi unas
tahun pelajaran 2015-2016 adalah interseksi atau irisan dari Kurikulum 2006
dan K-13.
Sekalipun tidak lagi
dipergunakan sebagai penentu kelulusan, unas wajib diikuti peserta didik.
Sebab, berdasar pasal 27 Permendikbud 57/2015 tersebut, dinyatakan bahwa
kelulusan peserta didik dari SMP/MTs/ SMA/ MA/SMK sederajat ditetapkan oleh
setiap satuan pendidikan (sekolah/madrasah) yang bersangkutan dalam rapat
dewan guru setelah pengumuman hasil unas.
Kelulusan
Peserta Didik
Berdasar pasal 24
Permendikbud 57/2015, kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan
ditentukan oleh sejumlah kriteria. Yaitu, menyelesaikan seluruh program
pembelajaran, memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik, dan lulus
US/M/PK.
Menyelesaikan seluruh
program pembelajaran bagi SMP/MTs sederajat yang dimaksud adalah telah
menyelesaikan pembelajaran mulai kelas VII sampai dengan kelas IX dengan
bukti nilai rapor. Sementara itu, untuk SMA/MA/SMK sederajat, dibuktikan
dengan nilai rapor kelas X sampai dengan kelas XII. Mengingat satuan
pendidikan, terutama sekolah, telah menjalankan dua kurikulum -Kurikulum 2006
dan K-13-, dari sinilah awal persoalan itu muncul.
Penilaian pada Kurikulum
2006 berdasar Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 menggunakan skala 0-100.
Sementara itu, pada awal berlakunya K-13, berdasar Permendikbud Nomor 66
Tahun 2013 dan diperbarui dengan Nomor 104 Tahun 2014, penilaian terhadap
peserta didik menggunakan skala 1-4 sebagaimana penilaian pada mahasiswa di
perguruan tinggi.
Skala penilaian 1-4 untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah belum familier. Perlu sosialisasi dalam
implementasi. Baik kepada siswa, guru, maupun orang tua/wali di samping pihak
lain yang berkepentingan.
Regulasi tentang skala
penilaian 1-4 itu tidak berumur panjang. Dalam praktiknya di lapangan, banyak
ditemui kendala. Hingga keluarlah Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 tentang
Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan pada Pendidikan
Dasar dan Menengah yang mencabut Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014.
Alasannya, tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hasil belajar
peserta didik.
Hiruk
Pikuk Penilaian
Hiruk pikuk penilaian K-13
menemukan klimaksnya setelah keluar panduan penilaian untuk SMP/SMA/SMK
sebagai penjelasan teknis dari Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015. Dengan
keluarnya Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 sa¬ja, sekolah dibuat kelabakan.
Bagaimana tidak, guru, siswa, dan orang tua/wali murid belum jenak untuk
mengadaptasikan diri dengan perubahan skala penilaian, dari skala 0-100 ke
skala penilaian 1-4, sejak 15 Desember 2015 -tanggal diundangkannya
Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015- harus kembali kepada skala penilaian 0-100
lagi.
Perubahan tersebut oleh
penentu kebijakan di tingkat pusat bisa saja dianggap biasa dan tidak
berdampak. Bagi sekolah, terutama wali kelas dan guru, implikasi perubahan
itu tidak bisa dikatakan kecil. Sebab, secara administratif pengaruhnya
menjalar ke pengisian buku induk, buku legger, dan rapor.
Hiruk pikuk atau kegaduhan
penilaian di sekolah itu juga terjadi karena beberapa hal. Pertama, terbitnya
panduan penilaian jauh mendahului, sedangkan keluarnya Permendikbud Nomor 53
Tahun 2015 begitu terlambat.
Kedua, salah satu latar
belakang keluarnya panduan penilaian adalah pendidik mengalami kesulitan
dalam penilaian menggunakan angka dengan skala 1-4 dan masyarakat kurang
memahami makna nilai hasil belajar.
Ketiga, panduan penilaian
disusun secara tidak cermat, kurang koordinasi antardirektorat, dan terkesan
sekadar memenuhi target proyek.
Penentuan KKM (kriteria
ketuntasan minimal) berbeda antara jenjang SMP/SMK dan SMA. Di panduan
penilaian SMP/SMK, KKM ditentukan oleh satuan pendidikan (sekolah/madrasah)
dengan batas minimal yang sama, yakni 60. Hal ini tentu tidak logis karena
KKM ditentukan berdasar kemampuan awal siswa, kerumitan kompetensi, dan
keadaan sumber daya pendidikan di satuan pendidikan. Tiap mata pelajaran memiliki
karakter yang beda dan yang paham kerumitan kompetensi (materi ajar) adalah
guru.
Pada panduan penilaian
SMA, nilai KKM merupakan nilai minimal untuk predikat cukup. Penetapan
interval predikat untuk KKM yang berbeda dibuat tabel interval predikat yang
nisbi (sangat baik, baik, cukup, dan kurang), sehingga fleksibel dan
aplikatif.
Sebab, KKM menjadi patokan
bagi naik kelas atau tidaknya siswa. Sementara itu, panduan penilaian SMP dan
SMK, capaian kompetensi diberi predikat absolut: sangat baik - A (86-100);
baik - B (71-85); cukup - C (56-70); dan kurang - D (<= 55) yang dalam
praksisnya tidak logis dan unfungsional. Karena dengan predikat yang absolut
itu, siswa dengan kategori baik (karena KKM-nya 75, misalnya) bisa tidak naik
kelas. Dan, itu menjadi tidak rasional.
Untuk itulah, dalam
menyusun suatu regulasi, diperlukan pemikir dan penentu kebijakan visioner
yang realistis, berwawasan luas, dan menguasai konten secara paripurna. Itu
dilakukan agar regulasi yang dikeluarkan tidak membingungkan.
Sebab, regulasi yang
dikeluarkan oleh Kemendikbud di tingkat pusat akan dipedomani oleh jajaran
yang ada di bawah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar