Harga Daging Sapi
F Rahardi ;
Pemerhati Sapi
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
Dalam Rapat Terbatas
Persiapan Idul Fitri, di Kantor Presiden, Jakarta, 26 April 2016, Presiden
Joko Widodo minta harga pangan bisa turun pada Ramadhan dan Lebaran 2016 ini.
Harga daging sapi yang sekarang sekitar Rp 120.000 per kilogram diminta
Presiden bisa turun di bawah Rp 80.000 per kg.
Kemungkinan besar
permintaan Presiden itu sulit terpenuhi. Sebagai gambaran, pada triwulan
I-2014, sebanyak 125.000 ekor sapi bakalan dan 22.500 sapi siap potong dari
Australia masuk ke Indonesia akibat pembebasan kuota. Selama 2014, pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan, atas rekomendasi Kementerian Pertanian,
memberi izin impor sebanyak 720.000 ekor sapi dari Australia. Rinciannya, 70
persen sapi bakalan untuk digemukkan dan 30 persen sapi siap potong. Padahal,
pada 2013, realisasi impor sapi Indonesia hanya 262.000 ekor, dan pada 2012
sebanyak 283.000 ekor.
Dampak dari
membanjirnya sapi impor ini, pada triwulan II-2014 harga sapi potong jatuh dari Rp 35.000 per kg menjadi Rp
30.000 per kg bobot hidup. Ternyata,
penurunan harga sapi hidup tak berdampak terhadap harga daging sapi di pasar.
Bulan Januari 2014, harga daging sapi rata-rata Rp 98.317 per kg. Bulan
Februari 2014, harganya naik jadi Rp 98.975 per kg, Maret 2014 turun jadi Rp
98.477 per kg, Mei 2014 turun lagi ke Rp 97.945 per kg, dan pada Juni 2014 Rp
98.447 per kg.
Namun, dengan stok
sapi potong hidup berlebih itu, pada Juli 2014 harga daging sapi nasional
justru naik menjadi Rp 100.879 per kg, Agustus 2014 Rp 100.835 per kg. Bulan
September, harganya turun ke Rp 99.896 per kg, tetapi pada Oktober naik lagi
menjadi Rp 100.148 per kg, November 2014 turun lagi Rp 99.797 per kg, dan
Desember 2014 Rp 101.411 per kg.
Sejak itu, selama
2015, harga daging sapi tak pernah turun di bawah Rp 100.000 per kg. Bahkan,
pada awal 2016, harga daging sapi tembus Rp 120.000 per kg sampai sekarang. Kenaikan harga
daging sapi nasional ini dipicu berbagai sebab, tetapi yang paling utama
karena harga sapi hidup di pasar dunia memang naik tajam.
Sapi NTT 2014
Kenaikan harga sapi
hidup ini disebabkan banyak negara yang mengalami gagal panen jagung dan
kedelai sebagai pakan ternak, termasuk sapi. Gagal panen disebabkan iklim
yang tak menentu akibat pengaruh pemanasan global. Awal 2014, harga daging
sapi di Australia naik dari sekitar Rp 1,8 dollar AS per kg menjadi Rp 2,5
dollar AS per kg. Harga sapi bakalan di tingkat global juga merayap naik dari
sekitar rata-rata 1,25 dollar AS menjadi 1,5 dollar AS per kg.
Bukan hanya sekarang
Jokowi menaruh perhatian besar terhadap harga daging sapi. Pada 14 April
2014, saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia terbang ke Kupang, Nusa
Tenggara Timur, untuk bertemu Gubernur Frans Lebu Raya. Mereka berdua menandatangani kesepakatan kerja sama pasokan daging sapi
dari NTT ke Jakarta dalam jangka waktu lima tahun dengan nilai investasi Rp 2
triliun. Dalam
kesempatan tersebut, Jokowi melontarkan pernyataan ke media massa, bahwa
sebenarnya Indonesia tak kekurangan sapi, "Ini buktinya, di NTT banyak
sekali. Tinggal masalah transportasinya saja yang harus diperbaiki."
Tampaknya, Jokowi tak mendapat informasi akurat dari anak buah bahwa sudah
sejak zaman Orde Baru Indonesia defisit daging sapi.
Informasi tak akurat
tentang sapi juga diperoleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada 16 September
2015, saat berkunjung ke Kementerian Pertanian, ia menyatakan swasembada
daging sapi harus diupayakan mulai sekarang, hingga bisa dicapai pada 2019
yang akan datang. Padahal, Presiden Soeharto juga sudah mengupayakan hal yang
sama sejak 1980-an, dengan membangun pembibitan sapi unggul di Tapos,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada 2012, Direktorat Jenderal Peternakan juga
telah mencanangkan program swasembada daging sapi pada 2014 melalui
inseminasi buatan. Tanda-tanda swasembada yang dicanangkan belum tampak, pada
30 Januari 2013 Luthfi Hasan Ishaaq, anggota DPR, dan juga Presiden PKS,
ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus suap impor
daging sapi.
Impor sebenarnya hanya
bisa menjadi solusi jangka pendek mengatasi defisit sapi potong di negeri
ini. Pada dekade 1990-an, defisit induk betina sapi potong sudah mendekati
satu juta ekor. Hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan, populasi sapi potong
Indonesia 14,2 juta ekor. Angka ini lebih rasional dibandingkan hasil
Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau pada 2011, yang mencatat
populasi sapi potong Indonesia 16,7 juta ekor.
Dari total populasi
sapi potong 14,2 juta ekor itu, sekitar 6,6 juta ekor merupakan sapi betina
produktif. Dengan asumsi induk sapi betina beranak tiga tahun sekali, dari
6,6 juta induk produktif itu akan
dihasilkan 2,2 juta anak sapi per tahun. Rasio jantan betina 50 persen-50
persen hingga kapasitas produksi sapi potong dan sapi bakalan induk
masing-masing 1,1 juta ekor per tahun.
Selain mengimpor
283.000 sapi hidup, Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo)
mencatat, pada 2012 Indonesia mengimpor 35.000 ton daging. Dengan konversi
ideal 50 persen karkas dari bobot hidup; dan rata-rata bobot sapi jantan siap
potong 400 kg, maka sebanyak 35.000 ton daging yang kita impor itu setara
175.000 ekor sapi potong, hingga total impor sapi hidup untuk menutup defisit
458.000 ekor. Dengan asumsi seekor induk akan beranak tiga tahun sekali,
defisit 458.000 ekor sapi potong itu setara 1.374.000 ekor induk betina. Pertanyaannya, ke
mana larinya 1,1 juta ekor pedet betina yang lahir setiap tahun? Tampaknya
penambahan 1,1 juta ekor bakalan betina tiap tahun hanya cukup untuk
mengganti induk betina yang diafkir karena tua.
Sistem industri agro
Tingginya harga sapi
di Indonesia juga disebabkan cara budidaya. Sapi feedlot modern yang kita
impor 458.000 ekor hanyalah 29,4 persen dari total konsumsi sapi nasional.
Sementara sapi rakyat 1,1 juta ekor
atau 70,6 persen. Pembenihan (breeding farm) sapi paling murah dengan cara
digembalakan, bukan dikandangkan. Namun, sebagian besar pembenihan sapi di
Indonesia, terutama di Jawa, dengan cara dikandangkan. Hanya sebagian di
Sumatera, NTT, dan Sulawesi pembenihan sapi dengan digembalakan di alam
terbuka. Dampak dari pembenihan sapi rakyat dengan cara dikandangkan, harga
sapi bakalan menjadi terlalu tinggi. Rata-rata harga sapi impor lebih murah
Rp 2.500 per kg bobot hidup dibandingkan sapi rakyat. Selain karena biaya
pembenihan lebih tinggi, penambahan bobot hidup per hari sapi rakyat hanya
0,5 kg, sementara sapi impor rata-rata 1 kg per hari.
Di Indonesia, struktur
dan sistem industri agro juga masih timpang, termasuk industri (produksi)
sapi potong, yang ditopang perusahaan feedlot besar dengan populasi puluhan
ribu ekor per perusahaan; kemudian peternakan rakyat dengan populasi sapi di
bawah lima ekor per peternak. Para pelaku bisnis sapi di tingkat atas yang
hanya menghasilkan 29,4 persen produksi sapi potong nasional sudah tertata
cukup baik. Selain Apfindo, ada juga Asosiasi Pengusaha Importir Daging
Indonesia (Aspidi), Asosiasi Rumah Potong Hewan Indonesia, Asosiasi Pengusaha
Pemotongan Hewan Indonesia, Asosiasi Pembibitan Sapi, Asosiasi Peternakan Indonesia
(Aspeter), dan Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia. Sementara
peternak rakyat yang menguasai 70,6 persen produksi sapi potong hanya
terhimpun dalam kelompok peternak tak
berbadan hukum.
Karena ego sektoral di
tingkat kementerian, sampai sekarang pembentukan Koperasi Peternak Sapi
Pedaging belum memasyarakat. Yang sudah berkembang baru Koperasi Peternak
Sapi Perah. Andaikan koperasi peternak bisa terbentuk, sistem industri agro
peternakan sapi potong bisa berimbang, antara perusahaan skala besar,
koperasi skala menengah, dan peternak kecil yang tak tergabung dalam
koperasi. Selama ini, pengusaha peternakan sapi potong skala menengah masih
relatif kecil dibandingkan perusahaan besar, dan peternak rakyat. Peternakan sapi rakyat yang memasok 70,6 persen kebutuhan
daging sapi nasional berbiaya on farm dan off farm sangat tinggi.
Informasi sekitar industri agro di Indonesia masih ibarat
malam yang gelap gulita. Sebagian besar rakyat, bahkan Presiden dan Wakil
Presiden, tak diberi informasi akurat. Presiden tentu tak perlu tahu
seluk-beluk dunia persapian secara detail dan mendalam. Namun, minimal ia
harus tahu bahwa sebenarnya sejak zaman Orde Baru Indonesia sudah defisit
sapi potong. Defisit itu tak kunjung dibenahi karena para pengambil keputusan
berharap impor berjalan terus, hingga keuntungan juga terus mengalir ke
pengusaha dan pengambil keputusan. Andaikan sebelum Ramadhan dan Lebaran 2016
ini pemerintah menggelontor pasar dengan subsidi, hingga harga daging dan
sapi hidup turun, peternak yang menguasai 70,6 persen produk sapi potong
nasional akan menahan stok. Lalu harga akan kembali stabil pada angka di atas
Rp 100.000 per kg. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar