Grand Corruption di Negara Drakula
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTNHAN);
Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 11 Juni
2016
Pada umumnya kita baru
mendengar istilah grand corruption
setelah Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief
melemparkannya kepada publik. Ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan
terhadap M Sanusi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta,
Laode menyebut bahwa penangkaptanganan Sanusi adalah bagian awal dari
tindakan dalam mengungkap sebuah grand
corruption. Tidak ada definisi atau arti stipulatif-yuridis tentang
istilah grand corruption itu di
dalam ilmu hukum.
Tetapi ketika Laode
memberikan ilustrasi atas kasus yang dikenal sebagai kasus ”Raperda
Reklamasi” tersebut, kita menjadi agak paham apa yang dimaksudkannya. Laode
mengatakan bahwa kasus reklamasi itu berkaitan dengan upaya penyuapan
pengusaha kepada anggota DPRD agar dibuat sebuah rancangan peraturan daerah
(raperda) yang isinya sesuai dengan kehendak pengusaha atau perusahaan yang
menyuap. Gambarannya begini.
Satu atau beberapa
perusahaan ingin membuat proyek reklamasi dan memerlukan peraturan daerah
(perda) yang selain bisa meloloskan proyek, juga bisa menetapkan biaya yang
murah. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian melakukan langkah-langkah
dengan menyuap pejabat daerah atau anggota DPRD agar perda segera dikeluarkan
dengan isi agar kewajiban pembayaran kontribusi ditekan sekecil mungkin
sesuai dengan kehendak para pengusaha tersebut.
Kalau misalnya tawaran
pertama kontribusi pengusaha adalah 15%, para pengusaha itu berusaha
menurunkannya menjadi hanya 5%. Penurunan menjadi 5% itu diminta agar,
melalui anggotaanggota DPRD, dimasukkan ke dalam perda dan anggota-anggota
DPRD tersebut bisa menerima uang sampai miliaran rupiah sebagai imbalan. Ini
disebut grand corruption atau korupsi hebat, korupsi luar biasa karena
akibatnya bisa sangat jauh.
Grand corruption dalam
konteks ini adalah korupsi dalam pembuatan hukum, yakni pembuatan perda agar
perusahaan bisa mengambil keuntungan secara terus-menerus dan rakyat
dirugikan secara terus-menerus. Dengan korupsi dalam pembuatan hukum yang
seperti itu, negara atau pemerintahan akan selamanya tersandera oleh
pengusaha-pengusaha yang menjalankan perusahaannya dengan mengisap darah atau
hak-hak rakyat.
Kalau sebuah raperda
berhasil dilahirkan sesuai dengan pesanan pengusaha alias cukong maka
korupsinya bukan hanya terjadi sekali, melainkan akan terjadi secara
terus-menerus selama objek reklamasi masih ada. Jadi, negara atau pemerintah
dikangkangi dan dikendalikan oleh cukong.
Kelengkapan negara
bukan digunakan sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, melainkan
dikangkangi untuk menyejahterakan pengusaha melalui penyuapan terhadap
pejabat dan anggota DPRD. Grand corruption dalam pembentukan hukum bukan
hanya terjadi dalam kasus Raperda Reklamasi di DKI Jakarta. Dalam pembuatan
UU di tingkat nasional pun banyak terjadi jual-beli isi UU.
Banyak anggota DPR
yang sekarang mendekam di penjara karena melakukan transaksi atas isi UU
tertentu. Caranya, para anggota DPR atau tokoh parpol yang mempunyai kursi di
DPR atau pejabat menawarkan masuknya anggaran proyek tertentu di dalam UU
APBN dengan syarat tertentu pula.
Syaratnya, anggota DPR
atau pejabat tersebut mendapat fee sekian persen atau meminta agar perusahaan
yang ditentukan oleh sang anggota DPR atau pejabat yang bersangkutan yang
nantinya menggarap proyek tersebut. Ada juga grand corruption yang berbentuk jual-beli kebijakan antara cukong
dan penyelenggara administrasi pemerintahan (eksekutif).
Ini sungguh sangat
mengerikan bagi kehidupan bernegara kita. Pejabat-pejabat yang sudah disuap
seperti itu biasanya menjadi seperti kerbau yang hidungnya dicucuki sehingga
selalu patuh kepada para cukong yang menyuapnya. Mereka tak lagi peduli pada
tugas yang mewajibkannya untuk membangun kesejahteraan rakyat sesuai perintah
konstitusi.
Mereka menjadi pejabat
negara pengisap darah rakyat sehingga negara yang diurusnya bisa disebut
sebagai negara drakula (vampire state).
Grand corruption banyak terjadi
juga di lembaga yudikatif, terbukti dari banyaknya hakim yang dijebloskan ke
penjara karena penyuapan dalam menangani perkara di pengadilan.
Yang lebih mengerikan,
kalau ada hakim-hakim dipelihara dan disandera oleh cukong seperti kambing
congek sehingga dijadikan langganan untuk memutus perkara berdasar pesanan.
Jadi, grand corruption itu sangat
mengerikan karena ia punya multiplier
effect yang tidak selesai hanya pada satu korupsi. Kalau seorang
melakukan korupsi dalam membangun gedung mewah, misalnya, maka korupsi
selesai dalam sekali perbuatan.
Tetapi kalau korupsi
dalam pembuatan hukum atau kebijakan, akibatnya akan berkelanjutan. Negara
bisa menjadi negara drakula kalau sudah begitu. Mengerikannya, grand corruption adalah munculnya rasa
tidak aman bagi semuanya. Rakyat pasti tidak aman karena haknya dirampas
secara terus menerus.
Pejabat yang menerima
suap pun merasa tidak aman dan harus mengamankan diri kalau nanti habis masa
jabatannya sehingga selalu berusaha mencari penyelamatan diri dengan cara
korupsi lagi. Penyuap pun bisa merasa tidak aman karena bisa saja tiba-tiba
ada penggantian pejabat yang berkolusi dengan pengusaha lain.
Penyuap yang demikian
merasa harus selalu berjagajaga dengan cara-cara korup, misalnya, melalui
ijon pejabat baru dengan suap juga. Jika rangkaian grand corruption tidak
diputus, jika produk hukum dalam bentuk UU, perda, dan kebijakan selalu bisa
dipesan dengan harga tertentu, jika putusan pengadilan sudah bisa diatur
melalui mafia maka yang terjadi adalah terjadinya kezaliman yang
berkepanjangan dan saling sandera di antara para koruptor.
Dan kalau itu yang
terjadi maka negara hanya menunggu kehancurannya. Tak ada hal lain yang
menunggu di ujung sana kecuali kehancuran. Maka itu, langkah-langkah serius
harus dilakukan sejak sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar