Gagal Paham Masa Jabatan Kapolri
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua
Asosiasi Advokat Konstitusi; Advokat;
Konsultan Hukum BUMN
|
KOMPAS, 02 Juni 2016
Riak pertarungan politik kian berkembang, bahkan memanas,
menjelang batas usia pensiunKepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti.
Sesuai ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
RI (UU Kepolisian RI), ia akan memasuki usia pensiun pada 24 Juli 2016.
Paralel dengan itu, secara keliru khalayak umum memahami
bahwa Presiden harus mengangkat personel baru untuk mengisi jabatan Kapolri.
Padahal, kalau diperiksa secara teliti, rezim hukum Indonesia tentang
kepolisian—UUD 1945, TAP MPR No VI, dan No VII Tahun 2000, UU Kepolisian RI
(UU No 2/2002)—sesungguhnya tidak mengharuskan Kapolri diganti karena alasan
telah memasuki usia pensiun. Justru hukum mengatur bahwa satu-satunya alasan
Kapolri (petahana) berhenti dari jabatannya karena diberhentikan Presiden
atas persetujuan DPR eks Pasal 11 Ayat (1) UU Kepolisian RI. Kapolri
(petahana) tidak boleh berhenti karena alasan mengundurkan diri.
UU Kepolisian RI tidak pula mengharuskan bahwa Kapolri
harus dijabat oleh jenderal aktif. UU Kepolisian RI juga tidak mengatur masa
jabatan Kapolri secara pasti (fixed term). Karena itu, konstitusi memberi
wewenang prerogatifkepada Presiden untuk memberhentikan atau mempertahankan
Kapolri (petahana) sesuai kebutuhan obyektif dan subyektif Presiden selaku
atasan Kapolri.
Pengisian jabatan Kapolri
Secara konstitusional, Presiden memiliki dua opsi untuk mengisi
jabatan Kapolri,yaitu mengangkat personel baru atau tetap mempertahankan
Kapolri (petahana) dengan komplementari memperpanjang masa dinas aktifnya
melebihi usia 58 tahun.Kendati hal tersebut sebetulnya menurut hukum tidak
diperlukan. Sebab, sejatinya UU Kepolisian RI tidak mengatur bahwa Kapolri
harus anggota kepolisian aktif. Yang harus berstatus anggota kepolisian aktif
sebagaimana maksud Pasal 11 Ayat (6) UU Kepolisian RI adalah calon Kapolri
yang hendak diangkat Presiden dengan persetujuan DPR.
Menurut UUD 1945, opsi Presiden mengangkat personel baru
Kapolri atau tetap mempertahankan Kapolri (petahana) memiliki validitas
keabsahan hukum yang setara. Faktor penentunyaadalah, pertama, kebutuhan
obyektif dan subyektif Presiden sebagai pengguna personel Kapolri dalam
rangka melaksanakan tugas pemerintahan sebagai pelaksanaan Pasal 4 Ayat (1)
UUD 1945. Kedua, proses pengisian jabatan Kapolri harus sesuai aturan hukum
yang berlaku.
Secara obyektif tentunya Presiden membutuhkan figur
Kapolri yang profesional, yaitufigur yang memiliki keterampilan teknis
kepolisian, memiliki kapasitas dan kualitas kepemimpinan mumpuni yang mampu
menggerakkan potensi lembaga untuk mencapai tujuannya, serta siap
mendedikasikan pengabdian tanpa kenal waktu. Kriteria obyektif ini tentu
telah disandang para jenderal Polriyang dicalonkan menjadi Kapolri.
Hukum
mengatur bahwa wewenang menilai aspek obyektif profesionalitas calon Kapolri
(dapat) didelegasikan oleh Presiden kepada Dewan Kepangkatan dan Jabatan
Tinggi Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Nasional. Dalam konteks ini,
Presiden menerima penilaian dan usulan nama calon Kapolri.
Adapun secara subyektif, aturan hukum memberi wewenang
kepada Presiden untuk menentukan kriteria tertentu terhadap figur yang akan
mengisi jabatan Kapolri. Kriteria subyektif tersebut umumnya meliputi
kedekatan emosional, loyalitas, dan karakteristik personel Kapolri.
Wewenang Presiden untuk menentukan kriteria subyektif
personel Kapolri itulah yang secara ketatanegaraan disebut wewenang
prerogatif Presiden.
Dengan demikian, dalam konteks pengisian jabatan Kapolri,
wewenang Wanjakti, Kompolnas, atau partai pendukung Presiden hanyalah sebatas
menyampaikan kriteria obyektif personel yang dapat mengisi jabatan Kapolri.
Untuk mengisi jabatan Kapolri, Presiden dapat memilih opsi
kedua:”meneruskan” masa jabatan Kapolri (petahana). Opsi ini dapat ditempuh,
sebab hukum kepolisian tidak membatasi atau mengatur bahwa Kapolri harus
berstatus sebagai polisi aktif. Namun, Presiden berwenang memperpanjang usia
dinas Kapolri sampai melebihi usia 58 tahun sebagaimana diatur Pasal 30 Ayat
(2) UU Kepolisian RI.
Isu perpanjangan masa dinas Kapolri (petahana) ternyata
sama sekali tidak diatur dalam UU Kepolisian RI (UU No 2/ 2002). Artinya,
Presiden berwenang untuk mengisi dan melengkapi kekosongan hukum (rechtvacuum)
tentang perpanjangan masa dinas aktif Kapolri (petahana).
Adanya rechtvacuum pengaturan soal
perpanjangan masa dinas aktif Kapolri (petahana) sebetulnya sesuatu yang
aneh, bahkan dapat diartikan adanya gagal pahampembentuk UU memahami
substansi jabatan Kapolri. Pembentuk UU Kepolisian RI telah gagal memahami
sejarah lembaga kepolisian yang sedari awal telah menoreh pengalaman
perpanjangan masa jabatan Kapolri sampai tiga kali.
Pada masa awal sejarahlembaga kepolisian, jabatan Kapolri
pertama,Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto yang menjabat periode
1945-1959, mengalami perpanjangan masa jabatan sampai tiga kali oleh Presiden
Soekarno. Dengan merujuk preseden tersebut, kendati terdapat rechtvacuumbukan
berarti Presiden tidak boleh meneruskan masa jabatan Kapolri (petahana).
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden berwenang membuat diskresi, dalam
rangka mengatur dan menetapkan sistem dan prosedur penerusan masa jabatan
Kapolri petahana.
Isu krusial
Ada beberapa isu krusial yang perlu diatur dalam lingkup
pengaturan penerusan masa jabatan Kapolri (petahana). Isu tersebut paling
tidak mencakup, pertama, isu masa dinas aktif Kapolri. Pengaturan isu masa
dinas aktif harus diatur secara baik dan tepat, sebab ada ketentuan Pasal 30
Ayat (2) UU Kepolisian RI terkait batas usia pensiun anggota Polri. Harus ada
ketegasan pengaturan apakah norma tersebut berlaku untuk Kapolri (petahana)
atau hanya untuk anggota Polri.
Menurut nalar hukum, isu batas usia pensiun tidak mengikat
Kapolri (petahana), sebab UU Kepolisian RI tidak mengatur bahwa Kapolri harus
berstatus anggota kepolisian aktif. Yang harus berstatus anggota kepolisian
aktif adalah calon Kapolri sebagaimana ditentukan Pasal 11 Ayat (6) UU
Kepolisian RI.
Isu krusial kedua adalah tentang persetujuan DPR.Pasal11
Ayat (1) dan (2) mengatur, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dengan
persetujuan DPR. Namun tak mengatur apakah perpanjangan masa jabatan Kapolri
(petahana) memerlukan persetujuan DPR atau tidak.
Dalam konteks nalar hukum, sebetulnya untuk meneruskan
masa jabatan Kapolri (petahana), Presiden cukup menyampaikan pemberitahuan
perpanjangan masa dinas aktif Kapolri. Persetujuan DPR hanya diperlukan dalam
konteks pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Ini sesuai sistem ketatanegaraan
Indonesia yang mengaturmasa jabatan Kapolri tidak bersifat tetap. Artinya,
Presiden memegang wewenang prerogatif untuk meneruskan masa jabatan Kapolri
petahana sesuai pertimbangan obyektif dan subyektif Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar